Kadis Minta Pemutihan, Soni Bilang Tak Setuju
Soal Tunggakan Sewa Flat
JAKPUS – Relokasi warga bantaran kali yang digusur ke flat masih belum menjadi solusi terbaik. Sebab, masih banyak penghuni flat yang menunggak biaya sewa. Berdasar data di Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI, jumlah tunggakan mencapai Rp 1,3 miliar.
Itu adalah jumlah sewa tunggakan pada 2011–2013. Padahal, saat itu rata-rata sewa flat pelat merah bertarif Rp 234–281 ribu per bulan untuk masyarakat terprogram (masyarakat yang menjadi korban penggusuran) dan Rp 508–610 ribu untuk masyarakat umum. Tarif tersebut sebenarnya masih tergolong murah. Sebab, tarif kos-kosan yang layak untuk keluarga saja bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan.
Untuk mengurangi jumlah tunggakan, Dinas Perumahan Rakyat Dan Permukiman DKI berencana melakukan pemutihan alias menghapusnya. ”Dalam Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, utang semacam itu bisa dihapuskan dengan ketentuan kriteria bahwa tiga tahun ke bawah sejak diberlakukannya retribusi yang sudah kadaluarsa bisa diputihkan,” jelasnya.
Menurut dia, kebijakan tersebut dilakukan untuk mengurangi nilai tunggakan sewa yang banyak dari piutang lancar dan tidak lancar. Piutang lancar itu merupakan penghuni flat yang tidak mampu membayar sewa. Selanjutnya, piutang tidak lancar adalah penghuni yang sudah keluar flat, tapi meninggalkan utang. ”Jadi, piutang lancar tersebut masih ada orangnya,” katanya. Mantan wakil wali kota Jakarta Pusat itu mengakui, di antara 23 flat, hanya ada 4 flat yang diputihkan tunggakannya.
Terkait penunggak tersebut, Arifin mengklaim sudah men- dorong pemprov untuk memberikan dukungan. Yakni, Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 131 Tahun 2016 tentang Optimalisasi Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa di Jakarta. Melalui ingub itu, ada beberapa SKPD di DKI yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat flat. Misalnya, Dinas Koperasi Menengah dan Usaha Kecil Mikro (KMUKM) dan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DKI) untuk melakukan pelatihan.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Sumarsono menganggap tunggakan tersebut cukup besar. Namun, pemprov masih melakukan pembicaraan untuk menyikapi hal itu. Sebab, dalam Pergub Nomor 11 Tahun 2014, diatur tentang denda sebesar 2 persen. ”Kalau nggak bisa bayar denda, itu akan berlanjut. Kayak progresif gitu,” ujarnya. Artinya, utang penghuni flat akan terus naik.
Menurut dia, ada cara untuk menyelesaikan tunggakan tersebut. Salah satunya membuat regulasi bagi penghuni flat yang tidak mampu membayar. Selain itu, pemprov akan memberikan kesempatan kerja kepada penghuni flat. Dengan begitu, dia yakin para penunggak itu bisa membayar sewa tepat waktu. ”Baru (setelah dapat kerja, Red), kalau nggak mau bayar, kami memberikan sanksi tegas, tapi tidak memberatkan. Denda 2 persen itu berat,” jelasnya.
Lelaki yang juga menjabat Dirjen otonomi daerah tersebut mengakui, dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman mengusulkan dilakukan pemutihan. Namun, Soni –sapaan Sumarsono– tidak setuju. Sebab, pemutihan itu perlu prosedur dan pergub tata kelola penghapusan. Pemutihan tersebut juga bisa menghapus pemasukan negara atau pendapatan daerah.
Selain itu, Soni beralasan pemprov perlu melakukan pembahasan dengan DPRD DKI. ”Persoalan aset tersebut harus dibahas dengan DPRD. Karena itu, proses pemutihan tersebut panjang,” katanya. Untuk mengatasi adanya tunggakan setiap tahun, pemprov akan membuat pergub yang tidak memberatkan penghuni flat. Terutama pergub yang berkaitan dengan denda 2 persen. Di sisi lain, untuk penunggak 2014 ke atas, Soni meminta dibina saja. Sebab, para penunggak itu masih menghuni flat. Artinya, penagihan masih bisa dilakukan. (rya/c24/ano)
Baru (setelah dapat kerja, Red), kalau nggak mau bayar, kami memberikan sanksi tegas, tapi tidak memberatkan. Denda 2 persen itu berat.” SUMARSONO Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta