Jawa Pos

Sepak Bola dan Cinta yang Tak Perlu Alasan

- Oleh: AIK R. HAKIM* aikrhakim@gmail.com

SETIAP orang berpikir memiliki istri tercantik di rumahnya. Kalimat itu berasal dari Arsene Wenger setelah mendengar klaim Sir Alex Ferguson bahwa Manchester United merupakan tim terbaik Liga Inggris pasca-Natal pada musim 2001–2002. Musim itu, kita tahu, Arsenal menjadi juara liga. Panasnya persaingan sering kali membuat kita lupa untuk becermin. Barangkali itu yang dimaksud Wenger. Tapi, yang tak segera saya tangkap dalam kalimat itu, gaung dari ungkapan purba: cinta itu buta. Karena itulah, kita sering memungkiri kenyataan bahwa sepak bola adalah ajang pembantaia­n. Tentu tanpa darah.

Jean Paul Sartre, filsuf Prancis itu, membuat perumpamaa­n bagus, ’’Dalam pertanding­an sepak bola, segalanya menjadi rumit oleh kehadiran pihak lawan.’’ Ada usaha untuk membatasi kebebasan individu. Juga mimpi yang tertindas oleh mimpi lain.

Terlebih gelar adalah candu dalam sepak bola. Oase bagi pemain, media, dan juga daya tarik untuk mendukung klub bola.

Epos Leicester City musim lalu menjadi bukti. Dunia mengarahka­n mata ke King Power Stadium, juga telinga yang tak kunjung hilang dahaga mendengar dongeng dari juru cerita Italia, Claudio Ranieri.

BBC melansir peningkata­n 540 persen jumlah pendukung The Foxes di jejaring sosial. Musim ini, pemburu dongeng tengah tertidur. Sebab, tidak ada kejutan dan mungkin gelar. Troubadour Italia itu pun bahkan kini menganggur setelah terdepak dari jabatannya.

Tapi, terlupakan­kah Ranieri? Portal berita Leicester Mercury melansir fans tengah menggalang dana sebesar 100.000 poundsterl­ing untuk membangun patung pelatih berjuluk Tinkerman tersebut.

’’Claudio hampir pasti abadi dalam sejarah olahraga, tapi kami yakin dia pantas mendapat monumen yang bagus atas apa yang dia lakukan bagi kota ini,” ujar penulis berkebangs­aan Inggris yang juga fans Leicester Timothy Grayson.

Samar kita bisa merasakan spirit primordial­isme dari Grayson. Ranieri dihargai atas jasanya pada Kota Leicester. Primordial­isme yang menjadi alasan penuhnya stadion bola di Inggris, atau cinta Bonek pada Persebaya.

Bola menjadi simbol kota dan identitas diri. Barangkali itu pula mengapa ada sinisme pendukung The Foxes musim lalu sebagai pendukung musiman, mendukung untuk gelar.

Tapi, primordial­isme di era sepak bola modern lambat laun terkikis. Identitas sering di- salahartik­an sebagai suatu hal yang ajek, yang telah melekat, bawaan dari lahir. Padahal, ia dinamis, oleh karena itu hampir tanpa batas.

Dalam banyak hal, identitas justru terbentuk ketika manusia memilih. Kawan saya, Interisti dan Milanisti –yang bukan orang Italia–, rutin duduk satu meja di warung kopi sambil melontar kata. Tanpa sebab yang jelas. Kerap kali membuka obrolan dengan: Merda!

Yang mendasari pilihan itu beragam, bisa filosofis, sejarah, pemain, hingga kans meraih gelar tiap musimnya. Saya sendiri Evertonian. Alasannya? Karena saya pendukung Everton.

Saya kira tidak akan ada alasan yang memuaskan bagi diri sendiri juga orang lain terkait apa yang kita cintai dan apa yang telah menjadi bagian hidup. Akan selalu ada celah untuk meragukan sesuatu. Saya sepakat dengan Maurice MerleuPont­y, filsuf Prancis. Katanya, ’’Kita memahami bukan karena intelek, tapi karena pengalaman.’’

Bagi saya, Everton adalah puisi. Yang tak menjanjika­n apa pun, selain hubungan personal. Ia hadir sekaligus tak hadir dalam perbincang­an sepak bola. Dalam sebuah surat balasan kepada Aldin Karabeg, fans bola asal Serbia, manajemen Everton menulis, ’’Engkau tak akan pernah tahu tentang mencintai Everton, kecuali Anda benarbenar melakukann­ya.’’ Memang benar. Yang mengalami, memahami. Satu-satunya minus mendukung Everton adalah tidak ada kepastian gelar. Selebihnya saya kira hampir sama dengan klub lain. Kami gembira ketika menang, juga kecewa ketika kalah datang.

Ketika jemu melihat rentetan kekalahan, saya tak perlu beralasan bahwa klub ini dalam masa transisi, memiliki sejarah besar dan gelar terbanyak. Yang perlu saya ingat adalah perkataan La Professeur Arsene Wenger bahwa ’’Tim sepak bola seperti halnya perempuan. Ketika engkau lupa memberi tahunya, ia lupa bahwa ia cantik.’’

Jangan sampai justru kita yang lupa kecantikan perempuan (klub bola kita). (*) Penulis lepas, pendukung Everton.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia