Jawa Pos

Mbak Nah Sudah Melekat dengan Tribun

Hampir setiap hari pertanding­an sepak bola digelar di Lapangan Persebaya. Lapangan di Jalan Karanggaya­m Nomor 1 itu menyuguhka­n Turnamen U-16 pada pagi hari. Sorenya, Kompetisi Persebaya yang diperuntuk­kan pemain senior juga digulirkan. Keramaian di sana

-

NAMA aslinya Astina. Tidak banyak yang mengenal nama itu di Lapangan Persebaya. Tapi, jika menyebut ’’Mbak Nah”, semua orang di sana pasti mengenalny­a. Begitu melekatnya Mbak Nah dengan Lapangan Persebaya, para pemain sudah menganggap­nya seperti ibu sendiri.

Mbak Nah mulai berjualan di sana sejak 1995. Awalnya dia berjualan di dekat lorong tempat pemain hendak memasuki lapangan. Kemudian, dia pindah dengan menempati ruang kosong di bawah tribun.

Barang yang dijualnya adalah makanan dan minuman ringan selayaknya warung kopi. Sebut saja kopi, teh, mi instan, gorengan, dan camilan lain.

Saat Persebaya vakum karena tidak diakui PSSI, Kompetisi Persebaya tetap berjalan. Mbak Nah pun tetap berjualan di sana. ’’Saya berjualan kalau ada pertanding­an saja. Nek gak onok yo gak dodolan, Mas,” ungkap perempuan 50 tahun itu.

Warungnya selalu ramai pembeli. Penonton yang memadati tribun Lapangan Persebaya otomatis berdampak pada penjualann­ya. Kembalinya Persebaya dan bergulirny­a kompetisi internal telah membawa berkah rezeki baginya.

’’Lebih ramai kalau ada turnamen kelompok usia kayak U-10 atau U-12. Soale wong tuane melu ngeterno anake. Penjual makanan berjejer di pinggir lapangan,” ujar warga Bogen tersebut.

Hal senada diungkapka­n Sugiyono. Pria yang bertugas sebagai bagian kebersihan Wisma Persebaya itu mulai merasakan hikmah kembalinya Persebaya. Terlebih, anak semata wayangnya, Robby Ananda Syahutra, juga merumput bersama klub internal Anak Bangsa.

Pria 42 tahun itu bekerja sebagai petugas kebersihan sejak 1993. Dia dulu juga bermain sepak bola di kompetisi Liga Sepak Bola Karyawan (Galakarya) bersama karyawan RSUD dr Soetomo. ’’Belum sampai menikmati karir sepak bola profesiona­l, saya cedera. Akhirnya saya tekuni pekerjaan di wisma supaya bisa bertemu para pemain (Persebaya),” ungkap pria yang akrab disapa Giyono tersebut.

Warga Bogen itu tidak ingin Robby bernasib sama dengan dirinya. Karena itu, dia selalu mendorong anaknya untuk giat berlatih agar bisa mencapai impiannya. ’’Dia sendiri yang ingin menjadi pemain sepak bola. Saya sebagai orang tua tentu mendukung dia melakukan hal positif,” ujarnya.

Hikmah Kompetisi Persebaya juga dirasakan petugas keamanan Mat Ali. Pria yang menjadi satpam di wisma sejak 1994 tersebut lega melihat Persebaya sudah kembali.

’’Dulu saat vakum, kompetisi internal memang tetap digelar. Tapi, klub-klub internal itu urunan. Kami baru memperoleh pendapatan kalau ada yang menyewa lapangan. Itu kami bagi rata kepada delapan karyawan wisma yang masih bertahan,” tuturnya.

Ali dan Giyono hanyalah dua di antara delapan orang yang tetap setia menjadi karyawan wisma meski tidak dibayar pada saat Persebaya vakum. Mereka tetap bekerja meski tidak jelas kapan gaji dibayarkan. ’’Alhamdulil­lah, sekarang semua gaji kami sudah dilunasi,” ucapnya.

Dengan pulihnya Persebaya, kompetisi internal telah bergulir kembali. Ali pun tidak kesulitan lagi untuk mencukupi kebutuhan. Sebab, segala yang dibutuhkan untuk Kompetisi Persebaya dan gajinya sudah bisa berjalan dengan lancar.

Sebenarnya pria 65 tahun itu memiliki sebuah warung di rumahnya yang berada di seberang wisma. Namun, pendapatan­nya tentu tidak pasti. ’’Dari sini saya cukupkan saja,” imbuhnya.

’’Kalau ada kompetisi, warga sini biasanya membuka parkir. Itu tentu menjadi berkah bagi warga sekitar Karanggaya­m,” ujarnya. (dit/c7/tom)

 ?? CHANDRA SATWIKA/JAWA POS ??
CHANDRA SATWIKA/JAWA POS
 ?? CHANDRA SATWIKA/JAWA POS ??
CHANDRA SATWIKA/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia