Jawa Pos

Terapkan Filosofi Melukis untuk Perut

Kecelakaan kerja nyaris saja merenggut semangat hidup Jamaludin. Untunglah, sebelum benar-benar terpuruk, dia berusaha bangkit. Bukan dengan tongkat. Melainkan sebatang gedebok (batang pohon pisang dan lapisan pelepahnya).

- DEBORA DANISA

MENCARI ’’markas” Jamaludin tidak begitu sulit. Cukup sebutkan kata Jamal kepada warga di sekitar Jalan Kenjeran. Mereka dengan senang hati mengantark­an tamu blusukan melewati lorong-lorong sempit menuju rumah Jamaludin. Memang bukan rumah tinggal secara harfiah

Namun, bagi Jamal, bangunan tingkat berukuran 4 x 4 meter itulah ’’rumah” bagi berjuta idenya. Sumber inspirasin­ya.

Di tempat itu, Jamaludin tampak sedang asyik menempelka­n potongan-potongan kecil pelepah pisang Minggu siang (19/3). Walau kesibukann­ya terganggu sedikit, dia tetap menyambut Jawa Pos dengan ramah.

’’Maaf ya, kita ngobrol sambil lalu. Sambil saya ngerjakan ini,” ucapnya. Tangan Jamal pun tetap menempel-nempelkan pelepah pisang dengan cekatan. Melanjutka­n pekerjaan yang dimulainya pada pukul 09.00. Dalam waktu tiga jam saja, dia sudah menghasilk­an dua lukisan. Satu bergambar pemandanga­n, satu lagi bernuansa tempat ibadah.

Sejak mengalami kecelakaan kerja delapan tahun silam, Jamal memang mengusahak­an penghidupa­nnya dari seni. Lukisan pelepah pisang adalah usahanya kali kesekian setelah melukis dengan media lain.

Awalnya Jamal memulai jalan seninya sebagai pelukis cat minyak di kanvas pada 1997. Waktu itu masih sekadar hobi. ’’Semuanya otodidak. Tidak pernah sekolah atau kursus,” katanya.

Pernah pula dia melukis dengan kulit singkong, kuaci, serta kain perca. Hasilnya cuma segelintir karya. Sebab, tingkat kesulitann­ya cukup tinggi. Terutama yang berbahan dasar kulit singkong. ’’Proses pengeringa­nnya saja sampai berhari-hari. Habis di waktu,” katanya. Masterpiec­e itu dipajang Jamal di workshop kecilnya, bersanding dengan lukisan pelepah pisangnya.

Kini Jamal berfokus pada lukisan pelepah pisang. Dia bahkan sudah mempunyai CV bernama Debok Jatim.

’’Bahan pelepah pisang memang lebih murah dan mudah didapat,” terangnya. Bahan-bahan itu dikirim sanak saudaranya dari Probolingg­o. Kebetulan, ada yang punya kebun pisang di sana. Kualitas pelepah pisang yang dipakai Jamal pun termasuk kelas wahid. Dia tidak ingin menggunaka­n kulit pisang yang sengaja dikeringka­n. ’’Harus yang kering alami dari pohon,” terangnya. Kulit pisang yang langsung kering di pohon punya tekstur yang lebih kuat sehingga tidak gampang rusak ketika ditempel-tempelkan menjadi lukisan. Warnanya juga lebih alami.

Sebenarnya, Jamal mengakui, membuat lukisan pelepah pisang itu gampang. Dia bahkan tidak membuat sketsa atau pola sebelum menyusun pelepah itu jadi sebuah gambar. Semuanya ditempel begitu saja, seolah tak takut salah posisi. Padahal, kalau sudah melekat di papan, pelepah itu tidak bisa dilepas lagi dan ditata ulang. Membuat karya seni ’’dadakan” semacam itu sudah menjadi ritual harian Jamal.

’’ Yang penting imajinasi,” ungkap pria asal Probolingg­o tersebut. Ya, setiap kali membuat satu karya, dia hanya mengandalk­an bayangan di kepalanya. Mau jadi apa lukisan itu, urusan belakang. Tetapi, lukisannya nyaris tidak pernah gagal. Pasti menjadi gambar yang bermakna meskipun sederhana.

Biar sederhana, karya pelepah pisang Jamal bisa dibeli dengan harga jauh melebihi ekspektasi­nya. Apalagi yang dibuat secara spontan. Ketika pameran tahun lalu, ada seorang dosen yang bermain ke stannya. Dia cukup lama memperhati­kan Jamal yang sedang membuat lukisan dadakan. ’’Lukisannya simpel. Cuma pohon, sungai, dan dua bebek adus kali,” tuturnya.

Setelah selesai, ternyata sang dosen menawar lukisan bebek itu dengan harga tinggi. Jamal sendiri heran. ’’Dia bilang, meskipun karya saya sederhana, saya mengerjaka­nnya dengan ’ini’,” ujarnya seraya menunjuk ke dada. Dengan hati.

Tetapi, tak jarang pula orang awam sulit memahami lukisannya. Di situlah Jamal menemukan kepuasan tersendiri, membuat orang menebak-nebak apa makna lukisan pelepah pisangnya. Semakin sulit ditebak, semakin mahal harganya.

Kalau masih proses melukis, jangan coba-coba menebak hasil akhirnya. ’’ Nggak akan ketebak kalau belum 70 persen selesai,” kelakar Jamal. Betul juga. Jawa Pos gagal menebak lukisan ketiganya hari itu. Lukisan tersebut bertema pantai di Thailand. Ada banyak bentuk gundukan, lebih terlihat seperti candi ketika masih proses dilukis.

Tantangan terbesar menjadi pelukis pelepah pisang adalah bagaimana menghidupk­an lukisan. Warna dasar pelepah pisang hanya cokelat, padahal objek yang digambar Jamal bermacamma­cam. Ada rumah, kapal, hingga manusia. Jika dibandingk­an dengan melukis di atas kanvas, pelepah pisang tidak bisa dibuat realis. ’’Caranya itu tadi, melukisnya pakai perasaan. Dengan begitu, pesan kita bisa tersampaik­an ke orang yang melihat,” jelasnya.

Malah, menurut Jamal, pelukis daur ulang semacam pelepah pisang lebih mumpuni daripada pelukis dengan cat air atau minyak. Mereka dituntut untuk lebih kreatif. Kreatif dalam berkarya dengan bahan yang terbatas dan kreatif pula memikirkan cara menaikkan nilai barang yang sudah tidak terpakai lagi.

’’Kalau sudah bisa melukis dengan bahan daur ulang, dia sudah bisa melukis apa saja,” kata pria yang punya darah Dayak itu. Suatu ketika, dia ditantang untuk melukis spontan bersama dua seniman lain, karikaturi­s dan pelukis kanvas. Yang dilukis adalah wajah direktur sebuah perusahaan telekomuni­kasi. Dalam waktu kurang lebih satu jam, Jamal berhasil menyelesai­kan potret wajah sang direktur dari pelepah pisang. Semua hasil karya seniman di sana bagus, tetapi milik Jamal mendapat apresiasi luar biasa. ’’Saya sampai dipanggil naik panggung,” tambahnya.

Alam dan Jawa Timur menjadi tema favorit Jamal ketika melukis. Banyak di antara lukisannya yang menggambar­kan pemandanga­n di sawah, laut, atau gunung. Untuk tema Jawa Timur, biasanya dia melukis ikon-ikon daerah atau tempat wisata. Misalnya, Jembatan Suramadu. Lukisan pelepah pisang Jamal pun menjadi langganan pesanan kantor pemerintah­an, termasuk kantor gubernur. Karyanya juga sering mejeng di hotel dan tempattemp­at usaha kuliner.

Jamal termasuk pelukis yang sangat produktif. Jika mood- nya sedang baik, Jamal bisa menghasilk­an sepuluh lukisan sehari dengan ukuran 40 x 60 sentimeter. Tetapi, jika mood- nya memburuk, mungkin hanya satu atau dua karya yang dia hasilkan. Untuk menyiasati­nya, Jamal mencari kegiatan lain seperti menggosok batu akik. Dia memang penggemar batu akik meski saat ini batu tersebut sudah tidak begitu populer lagi. ’’ Jangan salah, menggosok batu itu juga bisa bikin rileks,” ungkapnya.

Ukuran lukisannya bervariasi. Yang terkecil berukuran 10R, biasanya dibanderol di bawah Rp 100 ribu. Ukuran maksimal, 1 meter, bisa berharga jutaan. Bergantung si penawar. Terkadang ada pelanggan yang memesan hingga ukuran 2 meter.

Masalahnya, semakin lebar karya, semakin banyak tambalan pelepah pisangnya. Bisa-bisa, hasil karya Jamal tidak lagi terlihat mulus karena bertumpuk-tumpuk seperti jahitan perca. ’’Di mana mau cari pelepah pisang selebar itu?” kata pria yang pernah bekerja di eksporter kayu tersebut.

Jenis lukisan pelepah pisangnya terbagi menjadi dua, dengan dan tanpa pelitur. Yang berpelitur tentu tampak lebih mengilap dan mahal. Namun, justru yang tidak diberi pelitur lebih punya nilai seni tinggi. Meski tidak dipoles, yang alami tetap bisa tahan lama juga. ’’Ini saja sudah empat tahun lebih belum rusak,” ujar Jamal sambil menunjuk salah satu lukisan masterpiec­e- nya.

Lukisan berukuran 1 x 1 meter itu menggambar­kan pemandanga­n imajinasi Jamal. Meski sudah tampak detail, sebenarnya lukisan tersebut baru selesai 30 persen. ’’Nah, yang kurang paham seni itu biasanya cari yang berpelitur,” imbuhnya.

Lukisan pelepah pisang Jamal tidak melulu berbentuk dua dimensi biasa. Dia pernah menggabung­kan lukisan dengan audio. Lukisan bergambar masjid dia bingkai dengan pigura besar dan dipasangi lampu neon. Kemudian, bagian belakangny­a diberi mesin stereo. Lengkap dengan slot kartu memori dan flash disk agar bisa diberi file musik. Jamal menyambung­kan kabel lukisan itu ke stopkontak. Lampu menyala dan terdengarl­ah suara salawat dari balik lukisan. Yang semacam itu biasanya dipasang di masjid-masjid. ’’ Tapi, dipasangi musik dangdut atau disko juga bisa,” candanya.

Jamal mengakui, dirinya tidak begitu idealis. Biasanya seniman memang punya idealisme sendiri, tidak mau menerima pesanan yang bertentang­an dengan keyakinann­ya. ’’Saya sih menerapkan filosofi perut saja,” ungkap Jamal. Dia memang melukis untuk bisa makan. Memang kadang berat jika harus mengikuti keinginan klien yang tidak sesuai dengan kemampuann­ya. ’’Caranya dikompromi­kan supaya duaduanya sama-sama senang,” imbuhnya.

Jamal merasa bersyukur lukisan pelepah pisangnya diminati banyak orang. Hal itu tidak terlepas dari peran kawan-kawannya yang membantu mempromosi­kan lukisan Jamal. Bapak satu anak itu tidak bekerja sendirian.

Biasanya ada beberapa kawan difabel yang juga membantu sekalian bermain ke workshop sambil curhat. ’’Bisa dibilang ini base camp kita, kadang rapat juga di sini,” jelas ketua Persatuan Penyandang Disabilita­s Indonesia (PPDI) Surabaya itu.

Ya, delapan tahun silam, Jamal mengalami kecelakaan kerja. Tiga ruas tulang belakangny­a patah. Dia tidak lagi bisa berjalan. Tapi, dia terus berjuang karena punya semangat hidup dan banyak teman.

Teman-teman Jamal yang punya usaha kafe tidak berkeberat­an dititipi lukisannya. Dari sana, biasanya pengunjung kafe menanyakan asal muasal lukisan itu. Akhirnya ada rezeki datang juga untuk Jamal.

’’Dulu sempat banyak pesanan dari luar negeri,” kenang Jamal. Ketika itu, perusahaan­nya baru berdiri pada 2012. Lukisannya bisa sampai ke mancanegar­a berkat bantuan orang-orang birokrat pula. Meski kini pesanan dari luar negeri tidak seramai dulu, Jamal tetap bersyukur masih ada teman yang mau membantuny­a promosi ke ranah global. ’’Kalau ada teman yang mau naik kapal ke Singapura, misalnya, sekalian dia bawa satu untuk contoh,” tuturnya.

Memang Jamal berkarya dengan motif ekonomi. Namun, dia tidak pernah lupa memberikan motivasi kepada kawan-kawan sesama difabel. Dia ingin menunjukka­n bahwa meski secara fisik kurang mampu, difabel bisa mencukupi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Juga, menghasilk­an karya yang dihargai orang lain. ’’Saya selalu sampaikan ke teman-teman, kalau bisa jangan mengemis atau meminta. Tunjukkan bahwa kita bisa,” katanya. (*/c7/dos)

 ?? GHOFUUR EKA/ JAWAPOS ?? SENTUHAN SENI: Jamaludin merampungk­an karya lukisannya. Foto atas, salah satu lukisan yang menampilka­n tema tempat ibadah.
GHOFUUR EKA/ JAWAPOS SENTUHAN SENI: Jamaludin merampungk­an karya lukisannya. Foto atas, salah satu lukisan yang menampilka­n tema tempat ibadah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia