Dinas PUPR Harus Gerak Cepat
Cek Sertifikat Lahan di Sempadan Kali Buntung
SIDOARJO – Instruksi Bupati Saiful Ilah agar jajarannya mengecek status kepemilikan lahan di sepanjang sempadan Kali Buntung harus segera dilaksanakan. Terutama dinas pekerjaan umum dan penataan ruang (PUPR). Mereka tertuntut untuk segera berkoordinasi dengan kantor pertanahan guna memperjelas status lahan sempadan sungai yang ditempati warga
”Kami sedang berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan Sidoarjo. Setelah itu, baru diputuskan, apakah akan memberikan ganti rugi atau langsung mener- tibkan penghuni yang kini bermukim di sempadan sungai itu,” kata Kepala Dinas PUPR Pemkab Sidoarjo Sigit Setyawan.
Dia menegaskan, sempadan sungai tidak boleh dijadikan tempat usaha. Sebab, status tanah tersebut merupakan milik negara. Bisa saja, tanah-tanah itu disewakan. ”Namun, ketika negara membutuhkan, bangunan yang berdiri bisa dirobohkan,” ujarnya.
Saat ini, petugas dan kecamatan sedang mendata warga di bantaran Kali Buntung. Terutama di wilayah Kecamatan Waru. Lokasinya meliputi empat desa. Yakni, Medaeng, Bungurasih, Kedungrejo, dan Janti. Diperkirakan, total penghuni lebih dari 1.000 orang. Untuk kebutuhan pendataan sekaligus sosialisasi kepada warga itu, sudah disiapkan anggaran Rp 150 juta.
Berdasar informasi yang dihimpun, sebagian penduduk yang bermukim di sempadan Kali Buntung memiliki sertifikat tanah. Bahkan, ada yang berstatus hak milik (SHM), bukan hak guna bangunan (HGB). Sukirno misalnya. Warga yang tinggal di Medaeng, Waru, itu mengaku rumah yang ditempatinya tersebut bersertifikat sejak 1985. ”Sertifikat sudah hak milik,” ujarnya kemarin.
Kepada Jawa Pos, Sukirno lantas menunjukkan salinan atau fotokopi sertifikat rumahnya. Di halaman depan terpampang tulisan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di bawah lambang burung garuda tertulis sertifikat hak milik nomor 530. Pria kelahiran Blitar itu mengungkapkan, sertifikat yang asli saat ini masih berada di bank untuk agunan. Surat tanah tersebut ditaruh di bank sebagai jaminan mendapatkan modal usaha.
Nah, tiga minggu lalu Satpol PP Kecamatan Waru mengirim surat berisi pendataan. Karena itu, Sukirno datang ke bank untuk memfotokopi akta tanah miliknya. ”Kalau ada petugas, fotokopian ini saya tunjukkan sebagai bukti bahwa tanah kami berstatus hak milik,” tegasnya.
Sukirno menyatakan, rencana penertiban hunian yang berdiri di sepanjang Sungai Buntung sudah didengar warga Medaeng dan sekitarnya. Ketua RT meminta warga untuk mengumpulkan salinan surat tanah masingmasing. Nanti surat tersebut dikumpulkan ke pihak kecamatan sebagai data.
Siti Fatimah, istri Sukirno, menyatakan tidak mempermasalahkan kalau ada penertiban. Namun, jika rencana itu memang berjalan tahun ini, dia tentu berharap ada kompensasi. ”Harus ada ganti rugi,” ujarnya.
Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo Wisnu Pradono menyatakan, sebelum melakukan penertiban, pemkab harus membuka dahulu riwayat tanah. Misalnya, yang akan ditertibkan di kawasan Medaeng dan Bungurasih. Dalam buku tersebut nanti dapat dilihat dengan jelas di mana letak sempadan sungai. Nah, riwayat tanah itu berada di kelurahan/desa dan kecamatan. ”Datanya ada di kelurahan/desa dan Balai Besar Sungai Brantas (BBWS),” ujar pria yang bermukim di Bungurasih Timur itu.
Wisnu menyatakan, sebenarnya di Medaeng dahulu tidak ada permukiman. Beberapa tahun terakhir ini banyak bangunan baru yang bermunculan. Mulai ruko, penginapan, garasi PO bus, hingga tempat pijat. Makin tahun, bangunan semakin banyak. Alhasil, sempadan sungai bertambah sempit. ”Dulu di sempadan sungai itu tidak ada bangunan. Memang, semestinya sempadan tidak dijadikan tempat usaha,” ujarnya.
Meski demikian, politikus PDIP itu meminta pemkab tidak tebang pilih dalam melaksanakan penertiban. Jika melanggar sempadan, bangunan tetap harus ditertibkan meski memiliki sertifikat. Menurut Wisnu, sertifikat tidak mungkin bisa keluar di tanah yang fungsinya sebagai jalan inspeksi sungai. ”Logikanya, ini kan tanah milik negara. Pemanfaatannya hanya jalan inspeksi, kok ada sertifikat?” tuturnya.
Sebelumnya, Bupati Saiful Ilah menyatakan, penertiban bangunan di sempadan Kali Buntung harus tetap berjalan. Rumah, ruko, serta warung yang berdiri di setren kali jelas menyalahi aturan. Selain membuat wajah kota terkesan kumuh, bangunan tersebut membuat sungai tidak bisa dinormalisasi. Daya tampung sungai berkurang karena sedimentasi dan tumpukan sampah. Banjir pun terus mengancam.
Program penertiban bangli di sepanjang sempadan sungai merupakan salah satu upaya untuk mengatasi banjir yang sering menerjang Kota Delta. Karena itu, penertiban harus tetap berjalan. Sebagai bukti pemkab tidak mainmain, pada tahun lalu ada 75 bangli yang dirobohkan di Desa B r ingin bendo, Taman. Lalu, eksekusi 118 rumah semipermanen di Dusun Gresikan, Krian, pada akhir Februari.
Saiful meyakini bahwa bangunan yang berdiri di setren sungai pasti melanggar aturan. Sebab, lahan sempadan sungai berstatus milik negara. Karena itu, sangat mengherankan kalau ada sertifikat hak milik. Bupati pun meminta PUPR dan jajaran pemkab terkait segera mengecek sertifikatnya. (aph/c6/hud)