USBN dan Ujian Integritas Guru K
EBOCORAN soal ujian sekolah berstandar nasional (USBN) adalah pukulan telak bagi wajah pendidikan tanah air. Yang sungguh disayangkan, kasus tersebut terjadi di beberapa daerah. Yang marak diberitakan media, antara lain, adalah di Kudus, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Di luar itu, kebocoran soal USBN sangat mungkin terjadi di sejumlah daerah lain di tanah air.
Tak bisa dimungkiri, lemahnya sistem menjadi pemicu kebocoran soal USBN tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang terkesan sangat longgar dalam prosedur pembuatan soal. Sebanyak 25 persen materi soal disuplai Kemendikbud. Sisanya, 75 persen, diserahkan kepada forum musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
Sekilas, kebijakan tersebut seolah memberikan kepercayaan yang besar kepada guru-guru di daerah. Namun, yang terjadi tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Justru hal itulah yang menjadi salah satu titik kerawanan kebocoran soal. Melihat modus kebocoran soal yang terjadi, wajar jika sorotan diarahkan justru kepada para guru. Sebab, merekalah yang membuat soal. Mereka pula yang memiliki akses untuk mengedarkan soal-soal tersebut.
Di Jakarta, kebocoran soal USBN terungkap dari jaringan WhatsApp (WA). Modusnya, lembar soal ujian diunggah lewat layanan cloud Google Drive. Setelah itu, link atau tautan untuk mengunduh naskah soal itu disebarkan melalui WA. Hebatnya, ketika dicocokkan dengan soal ujian sebenarnya, klop! Tidak ada perbedaan. Yang bocor adalah soal USBN untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) serta pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).
Masifnya kebocoran soal itu diperparah dengan realita bahwa mayoritas sekolah yang menyelenggarakan USBN masih memakai media kertas. Variasi soal untuk setiap kelas pun sangat minim. Hanya dua. Lain cerita jika sekolah menggunakan komputer. Apalagi jika variasi soalnya banyak. Hal itu akan memperkecil peluang kebocoran soal. Mungkin masih ada ruang untuk berbuat curang. Tapi, peluangnya bakal semakin kecil bila sistemnya kuat.
Pemerintah harus tegas terhadap pelaku kebocoran soal USBN. Jangan beri ampun. Kepala sekolah yang terlibat bisa dicopot dari jabatannya. Atau, bila guru atau karyawan yang terlibat, ancaman sanksinya bisa sampai pemecatan. Tidak ada alasan untuk membenarkan ulah pelaku pembocoran soal USBN.
Kemendikbud harus terbuka dalam penindakan kasus ini. Jangan malah terkesan membela diri. Ketika kabar kebocoran soal USBN terus mengemuka, jajaran Kemendikbud cenderung berubah haluan menjadi defensif. Bahkan, mereka berani menyebut kebocoran soal itu sebagai berita palsu alias Bohong atau tidak, hal tersebut harus dibuktikan. Jangan dijadikan alasan untuk membela diri.