Bangkitkan Ide Silaturahmi untuk Lawan ’’Budaya Tanding’’
Krisis kebudayaan sudah lama menjadi isu strategis di Indonesia. Sebab, kebudayaan berpengaruh besar terhadap politik. Karena itu, Gubernur Soekarwo menggagas dialog kebudayaan dengan berbagai instansi.
RATUSAN undangan yang datang dari berbagai lembaga berkumpul dalam dialog kebudayaan bertajuk ’’Merajut Kebhinnekaan, Memperkokoh Semangat Kebangsaan’’ kemarin (22/3). Acara yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur tersebut dihadiri bupati dan wali kota se-Jawa Timur. Hadir pula para pemateri. Antara lain, perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kodam V/Brawijaya, Mabes Polri, Polda Jatim, dan pakar kebudayaan dari beberapa kampus.
Berdasar pengamatan Soekarwo, krisis kebudayaan terjadi karena kurangnya ruang untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Yang ada malah saling serang antara satu opini dan opini lainnya. Soekarwo menyebutnya ’’budaya tanding’’. Yakni, satu pihak otomatis menyerang balik jika dikritisi, tanpa membuka kesempatan berdialog lebih dulu. ’’Harus ada ruang publik. Kalau public sphere tidak dibangun, namanya bukan demokrasi, tapi otoriter kembali,’’ tutur Soekarwo.
Budaya gotong royong dan silaturahmi itulah yang ingin dikembalikan pemprov. Tujuannya, terjadi sinergi antarinstansi, baik dengan pusat maupun daerah. Tanpa sinergi tersebut, imbasnya bisa menjalar hingga ke produk hukum serta penegakannya.
Topik tersebut dipaparkan Direktur Direktorat Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan Kemendagri Prabawa Eka Susanta. Dia menuturkan, Indonesia kini terlalu banyak memiliki perundang-undangan, baik nasional maupun peraturan daerah. Jumlahnya sekitar 62 ribu peraturan.
Tak pelak, peraturan-peraturan ter- sebut rawan bersinggungan dan tidak seragam. Prabawa mencontohkan permasalahan organisasi masyarakat atau ormas. Di satu sisi, ormas yang tidak berasas Pancasila harus dibubarkan. Namun, pada praktiknya, ada ormas yang tidak berasas Pancasila, tetapi juga tidak bertentangan dengannya. ’’Hal-hal seperti ini kadang memaksa Kemendagri untuk menjadi tidak lugas,’’ katanya.
Solusinya, merevisi sejumlah peraturan dan mengompres jumlahnya menjadi lebih sedikit, tetapi tetap efektif. Termasuk di antaranya undangundang ormas. ’’Tentunya harus diutamakan peraturan yang dapat memengaruhi daya saing dan ekonomi daerah,’’ tambah Prabawa.
Ketimpangan budaya juga terjadi dalam hal bela negara, antara awak militer dan nirmiliter alias masyarakat sipil. Keduanya, menurut Prabawa, belum memiliki framework yang sama. Kemendagri berinisiatif merevitalisasi pusat pendidikan wawasan kebangsaan dengan bekerja sama bersama tiga Menko yang mendapat instruksi langsung dari presiden. Yakni, Menko pembangunan manusia dan kebudayaan (PMK), Menko politik, hukum, dan keamanan (Menkopolhukam), serta Menko bidang kemaritiman. ’’Kami akan mencari solusi bagaimana mengambil keputusan yang tidak membuat keributan,’’ tuturnya.
Satu lagi yang menjadi penekanan dalam dialog tersebut adalah paham kebinekaan. ’’Kebinekaan lebih baik dari multi ku lt u r alis m e ,’’ jelas Pro f Hotman M. Siahaan dari sosiologi FISIP Universitas Air l angga. Menurut dia, multi ku lt u r alis m e hanya berbicara tentang perbedaan budaya yang kemudian bercampur, tetapi tidak menjadi harmoni. Sementara itu, konsep kebinekaan mencakup lebih banyak bidang selain budaya, yakni agama. Alih-alih multi ku lt u r alis m e, Hotman menegaskan bahwa paham kebinekaanlah yang harus membudaya secara nasional. (deb/c15/oni)