Jawa Pos

Tak Bisa Pulang karena Rumah Terbakar

- BACA LEMBAR GRESIK MULAI BESOK...

Sing Kie mengenakan celana pendek dan kaus berkerah. Dia mengganti baju ibunya dengan daster bermotif bunga-bunga berwarna oranye. Badan sudah segar sehabis mandi. Wangi bedak dan sabun pun tercium.

”Saya habis nyuci pakaian ibu saya. Sekalian saja nunggu kering,” ucapnya sambil sesekali memindah posisi beberapa pakaian yang tergantung dengan hanger. Dia kemudian duduk di depan warung kelontong.

Sing Kie dan ibunya tampak kompak memakai topi berwarna senada. Biru donker. ”Nih biar keren. Saya juga suka gonta-ganti ini,” katanya sambil memasangka­n serbet kotak-kotak berwarna merah yang biasanya digunakan untuk lap piring. Namun, serbet itu dialihfung­sikan menjadi scarf.

Sing Kie punya beberapa serbet dengan motif sama. Hanya warnanya yang berbeda. Kalau si ibu memakai merah, dia pun memakai warna sama. Serbet dilipat segi tiga dan dikalungka­n di leher. Lalu diikat menggunaka­n karet.

Si ibu, Lou Giok Bi, adalah perempuan berusia hampir satu abad. Umurnya 97 tahun. Di usianya kini, dia menduduki peringkat pertama sebagai manusia tertua yang hidup di Gedung Setan yang beralamat di Banyu Urip Wetan 1A Nomor 107 tersebut.

Anak semata wayangnya, Sing Kie, juga tak lagi muda. Tahun ini usia Sing Kie 77 tahun.

Mereka berdua memang tak bisa dipisahkan. Sehari-hari Sing Kie melakukan segala sesuatu bersama dengan ibunya. ”Kalau saya tinggal, belum ada satu menit sudah teriak-teriak. Nyariin,” ucap Sing Kie.

Dalam usia senja, maklum saja jika perilaku Lou Giok Bi sudah banyak berubah. Sudah seperti anak kecil. Susah bicara dan mendengar. Selalu ingin ditemani dan banyak merengek. Sing Kie tak boleh hilang walau hanya sekedipan mata. Kalau pergi sebentar saja, si ibu bisa teriak-teriak. Marah. Juga menangis.

Kalau sedang ada urusan ke luar rumah, Sing Kie selalu tampak terburu-buru. Dia sangat paham suara tangisan ibunya. Bahkan, ketika pintu belum sepenuhnya tertutup karena ditinggal keluar, si ibu kembali memanggil.

Sebelum sang ibu bertambah parah, dia pun langsung menyahut. ” Ya sebentar. Baru pipis,” teriaknya sambil sedikit berlari kembali ke rumah. Sesampainy­a, dia langsung menggengga­m tangan si ibu yang menangis atau berteriak. ” Yaaa... Sudah. Mau apa? Jangan marah-marah” ucapnya lembut.

Sing Kie merupakan salah seorang kepala keluarga dari 53 keluarga yang tinggal di Gedung Setan. Dia dan ibunya tinggal di sana sejak 1949. Generasi pertama.

Ayahnya, Oei Tiong Ging, sudah meninggal sekitar sepuluh tahun silam. Keluarga Sing Kie memang kerap berpindah tempat tinggal. Sebelum menempati Gedung Setan, mereka pernah tinggal di Jalan Ondomohen pada 1945. Kemudian, pada 1947 pindah ke daerah di sekitar Makam Peneleh.

”Saya tidak ingat dulu gimana caranya bisa di sini. Saya masih kecil. Sepertinya ada perang dunia. Saya dan orang tua tidak bisa kembali ke rumah lagi karena sudah habis terbakar,” kata pria kelahiran Purwodadi tersebut.

Ingatan Sing Kie mungkin keliru. Yang dimaksud perang dunia itu adalah kerusuhan rasial terhadap warga Tionghoa di Jawa. Itu terjadi pada 1946–1948 di berbagai kota. Banyak rumah dan tempat usaha etnis Tionghoa yang dibakar massa. Mereka pun mengungsi ke berbagai tempat.

Di ruang berukuran 2 x 2 meter, yang disebut Sing Kie sebagai rumah, dia tinggal bersama ibunya. Pada lahan sesempit itu, mereka melakukan segala hal bersama. Tumpukan barang hampir memenuhi 80 persen ruangan.

Di dalam ”rumah” itu terdapat satu tempat tidur tingkat dan meja. Bagian tempat tidur yang atas digunakan untuk menaruh barang. Sebagian bawah kasur menjadi tempat menaruh keranjang berisi pakaian. Sisanya baru digunakan untuk tidur Sing Kie dan ibunya.

Tak jauh dari tempat tidur terdapat meja yang juga dipenuhi berbagai macam benda. Ada alat mandi, alat makan, dan lain-lain. Ketika tidak dipakai, kursi roda Lou Giok Bi akan memenuhi ruangan. Buat jalan pun sulit.

”Sejak kecil saya sudah bekerja. Paling tidak bisa membeli makan untuk diri sendiri,” ujarnya. Sing Kie bersekolah hingga kelas III SD. Dulu sekolahnya berada di Jalan Kupang Praupan Gang 2. Namun, sekarang sudah tak ada. ”Itu sekolahnya orang-orang nggak punya,” kenangnya.

Setelah menundukka­n kepala dan sedikit menggeser ujung topinya, Sing Kie kembali menengok ke arah ibunya. Memastikan perempuan yang disayangin­ya itu baik-baik saja. Sambil mengelus punggung tangan ibunya, dia bertanya, ”Mau minum?” Itu dilakukann­ya sambil membuka bungkusan plastik yang tergantung di kursi roda.

” Aaaaa!,” jawab ibunya sambil menyingkap telapak tangan yang semula digenggam Sing Kie. ” Ya sudah kalau nggak minum. Jangan marah,” jawabnya.

Sing Kie lalu kembali bercerita. Matanya berbinar. ”Dulu, waktu saya memutuskan untuk keluar dari sekolah, guru saya gelenggele­ng kepala. Dia nggak nyangka saya bisa seberani itu,” tuturnya. Ketika itu, di usia yang masih bocah, dia mengutarak­an niat untuk bekerja di pabrik bedak.

Setelah keluar dari sekolah, Sing Kie menjadi buruh di pabrik bedak tersebut. Pekerjaann­ya memasukkan bedak yang sudah jadi ke botol kemasan. Alhasil, dia bisa bertahan hidup dari pekerjaan itu. Beberapa tahun kemudian, dia bekerja di pabrik ban. Begitu seterusnya hingga dia menemukan kekasih.

Kekasih? Ngomong-ngomong masalah kekasih, Sing Kie menjadi sedikit sensitif. Dia sudah lama pisah dengan istrinya setelah dikaruniai tiga anak. ”Sudah, nggak usah tanya soal perempuan. Dia sudah pergi. Nggak tahu ke mana. Mati,” katanya memotong pembicaraa­n.

Dulu Seng Kie pernah mengajak istrinya tinggal bersama dua orang tuanya di Gedung Setan sebelum mereka akhirnya berpisah.

”Walau saya Tionghoa dan ke gereja, tiga anak saya muslim dan menikah dengan orang Jawa,” paparnya. Wajahnya yang semula memunculka­n raut marah kembali bersahabat.

Dia teramat bangga kala membicarak­an tentang tiga putranya. Anak pertama Sing Kie lahir pada 1979, yang kedua lahir pada 1981, si bungsu lahir pada 1991. Ketiganya sudah menikah dan bekerja.

”Saya miskin. Tapi, anak saya otaknya cerdas semua,” katanya.

Sebagai ayah, Sing Kie merasa memiliki tanggung jawab untuk menyekolah­kan dan menghidupi anaknya. Tiga anaknya tamat SMA. Anak pertama dan bungsu sekarang tinggal di Surabaya. Sementara itu, yang kedua tinggal di Lamongan.

Meski demikian, Sing Kie menolak untuk tinggal dan ikut salah seorang anaknya. ”Sudah biar. Mereka punya keluarga masing-masing yang perlu diurus. Saya mau di sini sama mama,” tuturnya.

Hampir setiap sore, si sulung, hanya disebut Sing Kie sebagai Nur, mengunjung­i ayahnya di Gedung Setan. Setiap sore pula Sing Kie menunggu Nur di depan Gedung bersama ibunya. Hanya menunggu. Tanpa saling berkabar. Tak ada telepon. Tak punya pula nomor HP si anak. Bermodal kalimat ”biasanya dia ke sini jam segini”.

Setelah ditunggu sekitar satu setengah jam, si anak tak datang jua. Sing Kie mulai gelisah karena si ibu beberapa kali berteriak meminta masuk ke rumah. ”Mungkin capek kelamaan duduk. Saya masuk saja, ya,” katanya.

Sing Kie lalu mengambil jemuran yang sudah kering. Dia meletakkan cucian itu di pegangan kursi roda, lalu mendorong ibunya masuk ke rumah.

Sesampai di rumah, Sing Kie memindahka­n ibunya ke tempat tidur. ”Lapar?” tanyanya pelan. Walau tak ada jawaban dari si ibu, Sing Kie mengambil nasi bungkus yang tersimpan di sebuah kaleng di atas meja. Dia membuka, lalu menunjukka­n isi bungkusan ke ibunya. Si ibu berteriak. Tanda penolakan. Sing Kie kembali menyimpan bungkusan nasi itu ke tempatnya.

”Ibu saya sudah nggak bisa apa-apa. Suka makan telur. Berak, pipis ya di atas kasur. Saya semua yang bersihkan,” jelasnya.

Semua yang dilakukan untuk si ibu adalah keikhlasan. Dia percaya bahwa setiap orang yang berbakti kepada orang tua pasti tak akan kurang makan. ” Yang penting bisa makan, kan?” ucapnya yakin. Di hari tuanya, tak ada lagi yang perlu dikejar. Yang penting, ibu dan dirinya sehat.

” Yang saya lakukan ini semoga besok ditiru sama anak-anak saya,” tambahnya. Menurut dia, orang tua adalah sosok yang kali pertama dilihat ketika dia dilahirkan ke dunia. Sang ibu adalah orang yang paling dia kenal. ”Kalau istri kan ketemu kita ketika sudah dewasa,” ucapnya cetus.

Sing Kie lalu melepas topi dan scarf yang menjadi item andalan. Rambutnya sudah putih dan menipis. ”He, kamu jangan lihat rambut saya ya,” candanya kepada Jawa Pos. Meski tinggal di rumah yang hampir dipenuhi tumpukan barang, kebersihan badan adalah nomor satu.

Seandainya pegawai, Sing Kie sudah punya time table yang jelas. Mulai pukul 04.00 hingga 22.00. Sebelum ibunya bangun, pukul 04.00 Sing Kie sudah menimba air untuk mandi dan mempersiap­kan sarapan. Dia lalu memandikan ibunya. Mengajakny­a jalan-jalan sambil mencari makan siang.

Pukul 14.00, setelah makan siang, adalah waktu tidur siang. Mau atau tidak mau, sang ibu akan dibawa ke dalam rumah dan ditidurkan. ”Walau teriak-teriak ya nggak apa-apa. Tak suruh tidur biar nggak capek,” katanya. Sembari menunggu ibunya bangun, Sing Kie berkelilin­g mencari tambahan nafkah.

Ya, selain mendapatka­n bantuan dari anaknya, Sing Kie masih bekerja serabutan. Pekerjaann­ya adalah jual beli barang apa saja yang dia punya. ”Saya punya jam tangan ini, beli Rp 10 ribu. Mau saya jual. Nggak tahu lakunya berapa,” paparnya. Karena itu, tak ada barang Sing Kie yang awet. Hari ini dipakai, besok sudah laku.

Orang yang baru mengenal mungkin akan iba dengan kehidupan Sing Kie. Namun, tak banyak yang menyadari betapa besar rasa syukur di hati Sing Kie. ”Ini hidup saya. Meski miskin, saya berbakti kepada orang tua. Saya masih punya ibu yang akan saya rawat. Dia orang tua saya satu-satunya,” terangnya. (*/c10/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia