Jawa Pos

Belajar Kerukunan dari Penghuni

-

Dialah yang bertugas menjelaska­n kepada tamu yang berkunjung ke gedung yang berlokasi di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, tersebut.

Sebelumnya, Jawa Pos beberapa kali berkunjung ke Gedung Setan. Namun, saat berkunjung, matahari masih tampak. Rata-rata penghuni Gedung Setan belum pulang kerja atau sekolah.

’’Kalau mau ke sini sampai pagi, boleh. Tapi, ya tidak janji bisa tidur nyaman,’’ ujar Tik setelah beberapa kali kami membujuk.

Tik pun meminta kami bertemu dengan Andro Santoso. Dialah yang akan menemani selama semalaman.

Sekitar pukul 23.00, kami sampai di halaman Gedung Setan. Gang Banyu Urip Wetan, jalan yang harus dilalui untuk menuju Gedung Setan, sudah sepi. Pasar yang selalu ramai ketika kami biasanya berkunjung seolah tak berpenghun­i.

Lapak-lapak kosong. Seolah menjadi pasar mati. Hanya bau sampah yang kadang menyapa. Rasanya selaras dengan sebutan Gedung Setan yang memang bikin merinding.

Lampu Philips yang menggantun­g di depan pintu mampu membuat terang sekitar kawasan itu. Tulisan, Bukan Jalan Umum, Maaf Mesin Motor Harap Dimatikan menempel di pintu kayu di atas pintu tosca. Terlihat jelas.

Dan di bibir kolam, depan pintu tosca, Andro duduk. Dia adalah penghuni Gedung Setan. Tentu, Andro bukan setan. Dialah yang ditugaskan Tik untuk menemani kami.

Andro mempersila­kan kami masuk. Pintu tosca itu merupakan pintu masuk utama dan satusatuny­a untuk menuju ke dalam Gedung Setan. Begitu masuk, bau pengap menyergap. Gedung yang dari luar tampak besar itu terlihat sangat sempit di dalam.

Lorong gelap berukuran 2 meter menyambut. Keadaan remangrema­ng. Di kanan-kiri lorong ada bilik-bilik kamar dari tripleks. Masing-masing ukurannya tak lebih dari 4 meter persegi.

Ya, bilik-bilik itulah yang menjadi rumah penghuni Gedung Setan. Ada 53 keluarga yang berdiam di situ.

Di atas, tampak atap yang gelap. Mirip ketika langit sedang men dung.

Makin ke dalam, suara-suara lirih terdengar. Mungkin penghuni di salah satu bilik sedang melihat televisi.

Di ujung lorong, ada empat bilik kamar mandi. Andro mengajak kami duduk di kursi yang terbuat dari semen. ’’Kalau lagi antre kamar mandi, biasanya penghuni duduk di tempat ini,’’ katanya.

Kondisi di lantai 1 bisa dibilang kumuh. Banyak barang yang diletakkan di luar. Ada sandal, kardus, ember, plastik-plastik, motor, minyak goreng, gayung, tumpukan baju, dan kayu-kayu. Setidaknya, benda itulah yang kami tangkap. Hmm... sebenarnya juga ada tikus yang berseliwer­an keluar masuk tumpukan barang tersebut.

Setelah sejam mencermati setiap sudut di lantai 1, Andro mengajak kami ke lantai 2. Gedung tersebut memang memiliki dua lantai. Untuk ke atas, ada tangga dari kayu yang letaknya dekat dengan kursi semen tempat kami duduk-duduk.

Agar tidak mengganggu penghuni lain, sangat disarankan untuk berjalan berjingkat saat menaiki tangga. Jangan buruburu agar suara kayu yang reot tidak terdengar keras.

Ada 34 anak tangga yang mengantark­an ke lantai 2. Pada anak tangga ke-16, ada kelokan. Bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Kaki pun dipaksa cepat melangkah. ’’Kalau ramai-ramai gini, tidak apa-apa,’’ ucap Andro. Dia seolah bisa membaca ketakutan kami yang mulai muncul.

Di lantai 2 terdapat aula besar yang digunakan sebagai gereja. Di kanan kirinya terdapat empat pintu yang seluruhnya tertutup rapat. Kursi-kursi plastik tertumpuk di pinggir aula. Tampaknya, para penghuni hanya meletakkan­nya secara sembaranga­n. Di atas kursi terdapat tumpukan baju. Ada yang belum dilipat.

Aula tersebut cukup terang. Selain dari lampu, cahaya didapat dari tiga jendela yang menghadap flyover Banyu Urip.

Aula tersebut tidak terlihat sebagai tempat ibadah jika tidak ada poster besar bergambar Yesus. Poster tersebut menempel di jendela. Menutupi sebagian kaca.

Lantai 2 lebih lega. Tapi lebih sepi. ’’Bagaimana kalau tidur di sini?’’ kata pria yang bekerja sebagai staf marketing di sebuah perusahaan swasta tersebut. Tidak ada alas sama sekali. Kami pun memutuskan untuk dudukduduk saja.

’’Di tikungan tangga tadi biasanya ada noni-noni Belanda,’’ ungkap suami Silvi Susanna tersebut. Penampakan itu biasanya muncul ketika berjalan sendirian. ’’Tapi, kalau penghuni sini sudah biasa,’’ ungkap Andro.

Andro sebenarnya pendatang. Dia bisa tinggal di Gedung Setan karena menikah dengan Silvi yang keluargany­a sudah lama menempati Gedung Setan. Andro baru berdiam di situ pada 2002.

’’ Yang perlu dicontoh dari gedung ini adalah toleransin­ya,’’ ujar pria 47 tahun itu.

Selama Andro tinggal di gedung tersebut, warga dengan sadar berperilak­u tertib. Ketika malam, suara televisi dikecilkan. Mandi pun tak pernah berebut walau di tempat itu hanya ada empat kamar mandi umum. ’’Urusan dengan agama pun tidak ada gesekan,’’ ungkapnya.

*** Sebelumnya, Jawa Pos berbincang banyak dengan Sutikno Djijanto, sang ketua pengurus. Tik bercerita bahwa gedung itu dibangun J.A. van Middlekoop pada 1809. Lalu, gedung tersebut dibeli dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) sekitar 1945. Setelah itu, ada kerusuhan rasial pada 1948. ’’Kejadian itu membuat banyak warga Tionghoa mengungsi. Ya salah satu tempatnya di sini,’’ jelasnya.

Awalnya jumlah penghuni hanya 25 keluarga. Kini yang tinggal di situ sudah 53 keluarga. Mulanya memang warga Tionghoa semua. Namun, kini mereka sudah bercampur baur dan berkawin-mawin. ’’Anak-anaknya yang terlihat sekarang campuran. Ya ada yang Jawa, ada pula ketu- runan Tionghoa-Madura. Beragam,’’ ungkapnya.

Namun, ada satu hal yang tak berubah. Mereka memiliki ikatan persaudara­an yang kuat. Aliran darah keluarga senasib sepenanggu­ngan dari pengungsi. Kerukunan terjalin kuat. ’’Tidak pernah berebut apa pun. Kami tinggal di sini ya rukun-rukun saja,’’ ujarnya.

Salah satunya saat perayaan Tahun Baru Imlek. Suasana meriah pasti terlihat dalam gedung. Setiap rumah berhias dengan pernakpern­ik ala Imlek. Dominasi warna merah pun mencuat seketika.

Anak-anak kecil juga berkelilin­g dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta angpao. ’’Kami makan sama-sama. Ya, semuanya pusat kegiatan di gereja lantai atas,’’ ujar pria kelahiran Surabaya, 4 Februari 1957, tersebut.

Bukan hanya itu. Mereka juga biasa saling berbagi. Termasuk kamar mandi. Gedung itu hanya memiliki empat kamar mandi umum dan dapur di bagian belakang lantai 1. Karena itu, sering terlihat antrean kamar mandi. Terutama saat pagi. Ketika penghuni akan berangkat kerja dan sekolah.

Untuk listrik, mereka patungan. Per bulan, setiap keluarga membayar Rp 15 ribu. Uang itu digunakan untuk membayar iuran kematian (Rp 3 ribu), PBB (Rp 7 ribu), dan perbaikan (Rp 5 ribu).

*** Tidak terasa, jarum jam sudah menunjuk pukul 02.37. Dingin semakin menusuk. Suara deru motor sesekali terdengar. Gedung Setan masih saja sepi.

Andro mengajak kami turun. ’’Biar tidak antre, saya ke kamar mandinya jam segini,’’ tuturnya.

Di depan kamar mandi, kami bertemu dengan Peng Ho. Dia tengah menadah air dari keran di depan kamar mandi. Air tersebut dia gunakan untuk keperluan di rumahnya.

Kakek 63 tahun itu memang memiliki kamar mandi sendiri di dalam rumahnya. Namun, untuk keperluan air, harus mengambiln­ya dari kamar mandi umum.

Kami meninggalk­an Andro. Di luar, beberapa penjual mulai menggelar dagangan. Salah satunya adalah Sumiyem. Nenek asli Surabaya itu memiliki lapak di depan Gedung Setan. Jualannya adalah sayur-sayuran. ’’Kulakan di Pasar Keputran,’’ katanya.

Sumiyem sudah belasan tahun berjualan di depan Gedung Setan. Pasar tersebut bisanya mulai ramai pukul 05.00. Tengah hari, para pedagang sudah menutup lapak mereka. Terutama para penjual sayur dan jajanan pasar. Untuk beberapa toko kelontong, sebagian masih buka.

Pukul 04.00, mulai banyak penghuni Gedung Setan yang bangun. Ketika kami kembali ke dalam gedung, terdengar lantunan lagulagu doa dari radio. Beberapa anak membawa handuk. Dua perempuan sedang mencuci piring di depan kamar mandi.

’’Hari Minggu terlihat antreannya karena mau ke gereja. Kalau hari biasa, tidak terlalu,’’ kata Lidya Apriani, salah seorang perempuan yang tengah mencuci piring. Dia mengungkap­kan, pada hari biasa, orang-orang akan menyesuaik­an diri ketika akan beraktivit­as di kamar mandi. Kalau mau berangkat pagi, berarti dia harus mandi lebih pagi.

’’Kalian foto-foto untuk apa? Ada manfaat apa untuk kami?’’ ujar seorang kakek yang tiba-tiba muncul. Dia menyatakan, selama ini banyak yang mengambil gambar di tempat tersebut, tapi tidak ada perubahan yang terjadi.

’’Kami di sini tidak punya apaapa. Harus ada manfaatnya ya nanti,’’ tegasnya, lantas pergi.

Tak berselang lama, kami kembali bertemu dengan Andro. Dia sudah memakai baju seragam. Dia bersiap mengeluark­an sepeda motornya. Di belakangny­a, Vincent Wijaya, anak Andro, mengikuti.

Geliat di Gedung Setan mulai terasa. Penghuniny­a keluar masuk bilik. Bergantian mandi dan antre air. Ibu-ibu sibuk memandikan anak yang mau masuk sekolah. Ada juga yang keluar dari kamar dengan menjinjing baju kotor yang diwadahkan di ember.

Seperti gedung yang ditempatin­ya, penghuni Gedung Setan terabaikan. Di kala Surabaya tengah getol membangun, warga Gedung Setan harus iuran untuk membayar listrik dan air.

Namun, mereka tetap pasrah terhadap keadaan. Seperti kata Andro saat menemani kami, mereka harus bahagia dengan hidup yang diberikan Tuhan. (Brianika Irawati/Ferlynda Putri/Asa Wisesa Betari/c5/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia