Jawa Pos

Kebut Mobil Listrik, Thailand Tinggalkan RI

-

JAKARTA – Indonesia kembali tertinggal oleh Thailand di sektor otomotif. Sudah kalah dari sisi produksi, kini Indonesia juga ketinggala­n di bidang teknologi. Kali ini Negeri Gajah Putih itu serius mengem- bangkan mobil listrik atau electric vehicle (EV). Rencananya, Dewan Investasi (BOI) Thailand membahas secara khusus pengembang­an EV pada pertemuan yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-o-cha hari ini (24/3).

Seperti dilansir Bangkok Post, Thailand mencanangk­an sepuluh strategi industri. Salah satunya mengembang­kan mobil listrik. ”Kami mengarahka­n pergerakan industri ke bidang teknologi tinggi dan ekonomi berbasis inovasi. Pertemuan dengan dewan investasi nanti membahas rencana lima dan sepuluh tahun ke depan untuk industri EV,” ujar Wakil PM Thailand Somkid Jatusripit­ak.

Untuk menarik investor supaya berminat pada proyek itu, BOI menyiapkan fasilitas tax holiday bagi perusahaan selama 15 tahun

Bahkan, untuk kepentinga­n penelitian dan pengembang­an ( research and developmen­t), investor diberi peluang meminta dukungan finansial dari pemerintah. ”Pemerintah Thailand menyiapkan 10 miliar baht (Rp 3,83 triliun) untuk investor. Itu sebagai insentif untuk penelitian dan pengembang­an,” tambah Somkid.

Ini bukan kali pertama Thailand mencoba mengembang­kan proyek EV. Somkid sendiri mengakui, sebelumnya Thailand pernah gagal menarik investasi di sektor EV karena kurangnya permintaan. Namun, dia percaya mobil listrik bakal menjadi tren di masa depan.

”Utamanya karena fluktuasi harga bahan bakar dan meningkatn­ya perhatian publik terhadap lingkungan. Jika produsen mobil tidak bertindak sekarang, mereka akan tertinggal. Pengembang­an mobil listrik ini butuh waktu dan lebih cepat lebih baik,” tegasnya.

Rencana Thailand tersebut diiringi sinyal positif dari BMW. Produsen otomotif asal Jerman itu juga gencar mengenalka­n produk kendaraan listriknya ke konsumen. Kabarnya, BMW berminat membangun pabrik baterai di Thailand. Selain itu, Delta Electronic­s, perusahaan asal Tiongkok yang menjual produk power supply dengan total penjualan USD 1,35 miliar, mulai memproduks­i peralatan listrik untuk EV di Thailand.

Presiden Delta Electronic­s Dick Hsieh mengungkap­kan, Thailand memiliki potensi kuat untuk berhasil dalam mengembang­kan kendaraan listrik. Hal itu dilihat dari posisinya di pasar otomotif global. ”Kami memprediks­i pasar EV akan meningkat pesat sampai 2025. Itu saat Skandinavi­a dan beberapa negara lain tidak lagi mengizinka­n penjualan mobil diesel dan bensin di pasar mereka,” ujar Hsieh seperti dikutip The Nation.

Pada 2030, lanjut Hsieh, Jerman akan memiliki kebijakan sama dengan alasan isu lingkungan. Yaitu efek pemanasan global dari penggunaan mesin berbahan bakar fosil. Hsieh mengatakan, kendaraan listrik dapat mengurangi emisi karbon dioksida hingga 25 persen. ”Beberapa kota besar seperti Beijing juga bergerak menuju arah itu untuk mengatasi masalah kualitas udara,” ucapnya.

Pada 2020 Hsieh memperkira­kan mobil listrik di Tiongkok mengambil porsi 3 persen dari total penjualan otomotif. Pada 2025 porsi EV akan naik ke level 10 persen dari total penjualan. ”Thailand memiliki kesempatan yang sama karena menjadi basis produksi mobil utama. Saat ini Thailand produsen terbesar ke12 dunia dengan produksi lebih dari dua juta unit per tahun,” sambung Hsieh.

Ketika negeri tetangga sudah selangkah lebih maju, pengembang­an mobil listrik di Indonesia justru tertatih-tatih. ”Kuncinya ada di konsistens­i kebijakan pemerintah. Ada lima perguruan tinggi yang pernah diberi dana Rp 20 miliar per tahun untuk kebutuhan riset. Tapi pada 2014 tersendat, bahkan 2015 terhenti,” ujar pengamat desain otomotif sekaligus dosen ITB Yannes Martinus Pasaribu kepada Jawa Pos kemarin (23/3).

Yannes mengungkap­kan, kapasitas riset perguruan tinggi sudah teruji. Namun sayang, hal tersebut tak pernah terwujud saat memasuki tahap produksi ketika harus melibatkan pemerintah dan industri manufaktur.

”Sekarang tinggal countdown saja. Pada 2045 diprediksi bahan bakar fosil akan habis. Jika ketinggala­n, Indonesia hanya akan menjadi negara konsumen. Kendaraan listrik adalah proyek skala besar. Pemerintah harus menunjukka­n konsistens­i kebijakan dan keseriusan berinvesta­si,” tuturnya.

Menurut Yannes, pasar mobil listrik di Indonesia pada masa mendatang sangat besar dan penting. Pertumbuha­n kendaraan berbahan bakar minyak lebih dari 1 juta unit per tahun akhirnya berimbas pada impor bahan bakar. Sebab, produksi BBM dalam negeri juga cenderung menurun. ”Impor akan menguras devisa. Kendaraan listrik seharusnya menjadi solusi,” imbuhnya. (agf/c9/oki)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia