Jawa Pos

Penerapan Pasal Makar Masih Relevan

-

SURABAYA – Penyelengg­araan pemerintah­an yang menyalahi perundang-undangan berpoten si menimbulka­n protes. Bahkan, bisa berujung tindakan makar dari pihak oposisi. Upaya teror ganisasi dari kelompok politik ter tentu untuk mengguling­kan pemerintah­an yang sah jelas- jelas ber tentangan dengan konstitusi.

Hal tersebut disampaika­n Tjipta Lesmana. Guru besar Universita­s Budi Luhur Jakarta itu mengupas permasalah­an makar dalam seminar yang diselengga­rakan Universita­s Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya kemarin (23/3).

Dalam seminar bertajuk Relevansi Pasal Makar dalam Era Demokrasi tersebut, Tjipta menegaskan bahwa keberadaan pasal makar masih relevan. Artinya, pemberlaku­an pidana kasus makar tidak bertentang­an dengan kondisi perpolitik­an di era reformasi.

Tjipta membeberka­n, gejala makar bermuncula­n sejak tensi politik meningkat terkait dengan kasus Ahok. Misalnya, lanjut dia, aksi unjuk rasa 4 November 2016. Awalnya kegiatan itu berjalan damai dan tertib. Namun, malamnya unjuk rasa tersebut berubah menjadi kerusuhan. ’’Ini kita lihat (aksi) telah ditunggang­i aktor-aktor politik yang memanfaatk­an situasi,’’ terangnya.

Indonesia, menurut Tjipta, dikenal dunia sebagai negara yang begitu bebas dalam mengemukak­an pendapat. Sayangnya, pendapat tersebut tak jarang disalahgun­akan, bahkan kelewat batas. Kebebasan itu pula yang dijadikan sekelompok oknum untuk menjatuhka­n atau mengudeta presiden dan wakil presiden sebelum masa pemerintah­annya habis. ’’Justru pasal makar ini sangat relevan untuk situasi sekarang. Jika tidak, demokrasi akan terus disalahgun­akan,’’ tambahnya.

Menurut Tjipta, di luar makar, ada cara yang diatur konstitusi untuk memberhent­ikan presiden dan wakilnya. Sesuai pasal 7A UUD 1945, presiden dan wakil presiden bisa diberhenti­kan di tengah masa jabatannya oleh MPR atas usulan DPR. Syaratnya, presiden terbukti melakukan pelanggara­n hukum berupa pengkhiana­tan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. ’’Kalau kemudian itu tidak diselesaik­an dengan pasal 7A dan bisa mengganggu stabilitas negara, ya harus diselesaik­an dengan pasal makar,’’ ujarnya.

Hal senada disampaika­n Sekjen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Himawan Estu Bagijo. Dia mengatakan, pemerintah­an saat ini sangat terbuka terhadap publik. Terutama dalam hal perumusan dan pelaksanaa­n kebijakan. ’’ Karena itu, mengganti pemerintah­an dengan cara-cara yang tidak konstitusi­onal bisa mengganggu keamanan negara,’’ ujarnya.

Menurut dia, pasal 7A merupakan prosedur yang konstitusi­onal untuk menurunkan kepala pemerintah­an. Apalagi, pemerintah selama ini juga terbuka menerima pendapat dari berbagai pihak. Bahkan, yang berlawanan dengan pemerintah sekalipun. ’’Karena itu pula, keberadaan pasal makar sangat penting,’’ imbuh Kabiro Hukum Pemprov Jatim tersebut. (ant/c7/agm)

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia