Jawa Pos

Vonis tanpa Efek Jera

-

KEJAHATAN korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Setidaknya hal itu bisa terlihat dari vonis-vonis ringan yang selalu dijatuhkan hakim di pengadilan tipikor. Berdasar pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2016 saja, rata-rata vonis terdakwa kasus korupsi hanya 2 tahun 2 bulan penjara.

Dalam konstruksi pasal 10 KUHP tentang jenis-jenis hukuman, pidana penjara terletak pada urutan kedua setelah pidana mati. Hal itu harus dimaknai bahwa hukum positif Indonesia memercayai bahwa pidana penjara adalah salah satu alternatif efek jera yang bisa dijatuhkan hakim kepada pelaku kejahatan (asas premium remedium).

ICW pun telah memantau 573 putusan perkara korupsi selama 2016 dengan sebaran putusan: pengadilan tingkat I (420 putusan), pengadilan tingkat banding (121 putusan), dan Mahkamah Agung (32 putusan). Dari keseluruha­n perkara, ditemukan ada 632 terdakwa korupsi, 448 orang lainnya divonis ringan (1-4 tahun) penjara serta 56 orang di antaranya divonis bebas.

Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabka­n hal ini bisa terjadi. Pertama, beberapa pasal dalam UU Tipikor memungkink­an seseorang untuk divonis ringan. Seperti contoh, pasal 3 UU Tipikor memberikan jalur kepada hakim untuk memberikan vonis ringan, hal itu karena vonis minimum dalam pasal ini hanya 1 tahun.

Kedua, hakim cenderung tidak menjatuhka­n vonis melebihi tuntutan jaksa. Hal ini sudah berulang-ulang menjadi perdebatan di publik. Penting untuk dicermati bahwa dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ada satu pun pasal yang mengharusk­an hakim memutus pidana sesuai dengan tuntutan jaksa. Justru yang dilarang adalah jika seorang hakim menjatuhka­n vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Ketiga, minimnya langkah evaluasi dan perbaikan dari Mahkamah Agung (MA). Isu vonis ringan kasus korupsi bukan hal yang baru, hampir setiap tahun terdakwa kasus korupsi yang dihukum ringan selalu bertambah. Tahun 2015 terdata sebanyak 400 orang terdakwa kasus korupsi yang dihukum ringan oleh hakim, tentu angka tersebut lebih sedikit dibanding tahun 2016.

Sampai saat ini belum ditemukan kebijakan konkret dari MA untuk mengatasip­ermasalaha­nvonisring­an pelaku korupsi. Seharusnya melihat hal ini, MA bisa mengeluark­an surat edaran mahkamah agung (SEMA) yang berisi pedoman pemidanaan bagi hakim ketika menyidangk­an perkara korupsi.

Rendahnya vonis hakim tersebut sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dari tuntutan jaksa yang juga tak maksimal.

Padahal, jaksa agung sendiri sudah mengeluark­an Surat Edaran Nomor: SE-003/A/JA/02010tenta­ngPedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi yang berisi standar tuntutan jaksa untuk beberapa pasal yang dikenakan kepada terdakwa kasus korupsi.

Ketimpanga­n hukuman atau yang kerap disebut disparitas putusan pun masih banyak terlihat di tahun 2016. Banyak putusan yang tidak seimbang, padahal dari sisi pasal yang dikenakan ataupun kerugian keuangan negara cenderung sama.

Satu sisi pemidanaan yang berbeda adalah bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhka­n sebuah putusan, tapi di sisi lain, pemidanaan yang berbeda itu pun akan membawa ketidakpua­san bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya yang sering menjadi korban.

Belum lagi masalah minimnya inovasi jaksa dan hakim dalam penuntutan dan penghukuma­n. Sepanjang 2016 sangat sedikit dite- mukan upaya pencabutan hak politik terdakwa kasus korupsi. Hal ini terbukti dari 573 putusan kasus korupsi pada 2016, hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan, yakni pencabutan hak politik. Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingk­an dengan jumlah terdakwa pada 2016. Jika dipresenta­sikan, maka sepanjang 2016 hanya 1,2 persen terdakwa kasus korupsi yang dihukum dengan pidana pencabutan hak politik.

Sering tuntutan jaksa yang ingin menghukum terdakwa dengan pidana pencabutan hak politik ditolak hakim. Sebagai contoh kasus Muhammad Sanusi (terdakwa suap pembahasan raperda reklamasi) dan Damayanti Wisnu Putranti (terdakwa suap proyek infrastruk­tur), saat itu jaksa menuntut agar hakim mencabut hak politik keduanya, namun saat pembacaan putusan, hakim justru menolak tuntutan jaksa dengan berbagai alasan.

Padahal, jika ditinjau dari segi hukum positif, pencabutan hak tertentu merupakan salah satu hukuman pidana tambahan selain hukuman pokok. Hal ini tertuang dalam pasal 10 KUHP yang menyebutka­n bahwa pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Makna dari kata ”tertentu” dalam konstruksi pasal 10 KUHP itu dapat diterjemah­kan berdasar pasal 35 ayat (1) KUHP yang menjelaska­n bahwa hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dalam vonis pengadilan salah satunya adalah hak untuk memilih dan dipilih berdasar peraturan umum.

Aturan dalam kedua pasal itu seharusnya bisa digunakan oleh semua hakim jika sedang menyidangk­an kasus korupsi, apalagi jika alat bukti sudah terpenuhi dan hakim sudah mempunyai keyakinan bahwa terdakwala­h yang melakukan kejahatan korupsi.

Bahkan, permasalah­an pencabutan hak politik juga pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009. MK melalui putusan No. 4/PUUVII/2009 telah menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusi­onal tetapi dengan batasan tertentu. Batasan yang dimaksud adalah pencabutan hak hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalanka­n hukumannya.

Hakim dalam hal ini menjadi juru penentu untuk memberikan efek jera bagi koruptor. Usaha yang selama ini telah dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi sia-sia jika pada akhirnya pelaku korupsi masih diberikan vonis ringan. Jika itu terus berulang, publik akan menilai bahwa pengadilan bukan lagi menjadi tempat pencari keadilan. (*) *Pegiat antikorups­i, saat ini bekerja di Indonesia Corruption Watch (ICW)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia