Jawa Pos

Di Hadapan Teror-Teror Itu

-

BELUM habis kekagetan kita atas teror di kompleks Parlemen Inggris di London pada Rabu malam WIB (22/3), tak sampai 24 jam kemudian, di depan mata kita sendiri, persisnya di Banten, empat terduga teroris ditangkap. Padahal, 2017 belum lagi genap tiga bulan.

Dan, belum genap tiga bulan pula kita meninggalk­an 2016, sebuah tahun yang penuh teror. Coba ketik act of terrorism in 2016 di Google. Di tempat teratas, ada Wikipedia. Kliklah dan Anda akan menemukan bahwa tiada bulan di tahun tersebut yang berlalu tanpa aksi terorisme di berbagai penjuru dunia yang menelan korban jiwa.

Di tengah kegundahan, kedukaan, dan kengerian seperti itu, sangat wajar kalau kemudian banyak orang menjadi sangat marah atas cuitan Donald Trump Jr kemarin. Di akun Twitter pribadi, putra Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu menyindir Wali Kota London Sadiq Khan dengan menulis, ”Anda pasti sedang bergurau, kan?” dengan menyertaka­n tautan sebuah berita yang dipublikas­ikan tahun lalu.

Dalam berita tersebut, Khan, setelah bertemu Wali Kota New York Bill de Blasio pada hari ketika New York diguncang teror yang menewaskan 29 orang, menyatakan bahwa teror adalah bagian dari kota besar yang harus dihadapi. Karena itu, semua orang harus bahumembah­u mendukung aparat keamanan dalam melakukan tugas mereka.

ILUSTRASI: DAVID/JAWA POS

Dengan kalimat lain, sindiran Trump Jr itu barangkali bisa dibaca: rasakan, sekarang teror terjadi di kotamu sendiri. Sebuah sarkasme yang memang sungguh keterlalua­n.

Sebab, bukankah semua orang pada dasarnya, mengutip John Lennon dalam Imagine, ” A

brotherhoo­d of man?”. Karena itu, duka karena terorisme, di mana pun itu terjadi, semestinya menjadi duka global.

Tak sepatutnya pula mengarahka­n telunjuk kepada salah satu kelompok dan melabeli mereka dengan stigma sebagai teroris. Cek kembali data berbagai aksi teror atau kekerasan di segenap penjuru dunia, pelaku bisa datang dari berbagai latar belakang. Dengan beragam motif: agama, rasisme, kecemburua­n sosial, ketidakadi­lan....

Sebab, pemicu kekerasan tidak pernah tunggal. Dalam bukunya, Akar Kekerasan, Erich Fromm menyebutka­n bahwa yang menjadi pemicu agresi manusia macam-macam. Mulai kepadatan penduduk, rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni, psikologis, ekonomi, serta budaya dan politik.

Jadi, seperti dikatakan Khan dalam artikel tahun lalu itu, bukankah lebih baik kalau kita bergandeng­an tangan, bahu-membahu, dengan cara yang kita bisa, turut, meminimalk­an kemungkina­n meledaknya aksi kekerasan. Menumbuhka­n toleransi, menghormat­i perbedaan, di segenap sendi kehidupan, barangkali, hal yang termudah yang bisa kita lakukan.

Sulit memang untuk tak mengakui, di hadapan semua teror itu, bahwa kita takut. Tapi, mari tak menyerah. Mari bergandeng­an tangan, mengutip Lennon lagi, and the world will live as one. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia