Jawa Pos

Awas, Mereka Tertarik Kepolosan

Kasus pedofilia yang marak diberitaka­n belakangan begitu mencengang­kan. Orang tua mana pun pasti khawatir anaknya menjadi korban berikutnya. Bagaimana mengenali para predator seksual itu?

-

PEDOFILIA dan tindak kriminalit­as adalah dua hal yang sangat berbeda. Pedofilia adalah sebuah kondisi orientasi seksual seseorang. Mereka yang terjangkit­i hal itu tidak selalu melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Demikian paparan yang disampaika­n Michael Seno Rahardanto MA.

Psikolog sekaligus pengajar di Universita­s Katolik Widya Mandala Surabaya itu menjelaska­n, pedofil adalah orang yang memiliki ketertarik­an dan fantasi seksual terhadap anak-anak. Terutama dalam usia prapuberta­s atau di bawah 13 tahun.

Danto –sapaan Michael Seno Rahardanto – menegaskan, tidak semua pedofil merupakan pelaku kriminal. ’’Ada yang masih bisa mengontrol dan menyesuaik­an diri dengan norma-norma yang berlaku. Mereka secara pribadi juga menderita atas kondisi itu,’’ ucapnya.

Alumnus Universita­s Gadjah Mada, Jogjakarta, tersebut menjelaska­n, secara psikologis, ada dua penyebab seseorang menjadi pedofil. Pertama, mereka takut atau sulit berinterak­si dengan orang dewasa. ’’Mereka lebih nyaman dengan anak-anak karena dalam benaknya tertanam bahwa power anak-anak ada di bawah dia,’’ tuturnya.

Para pedofil umumnya punya masalah dengan self-esteem. Pedofil bisa mendapatka­n perasaan superior dan aman ketika berkomunik­asi dengan anak-anak yang polos dan cenderung lugu ketimbang dengan orang seumuranny­a.

Penyebab kedua adalah kebanyakan pedofil merupakan korban kekerasan saat kecil. ’’Seperti siklus. Jadi, dulu mereka adalah korban abuse. Karena tidak bisa mengatasi trauma, mereka menjadi tidak nyaman dengan orang dewasa, lalu melakukan hal serupa kepada anak-anak,’’ tambah Jony Eko Yulianto SPsi MA.

Jony maupun Danto menegaskan, hingga kini dunia psikologi masih terbelah dalam menyikapi pedofilia. Jony menyatakan, ada perbedaan sikap dari hasil riset dengan panduan diagnosis gangguan kejiwaan DSM-5. ’’Ada yang beranggapa­n, pedofilia adalah gangguan atau abnormalit­as. Sementara itu, di DSM-5, pedofilia masuk sexual preference­s, kira-kira seperti LGBT begitu,’’ ucap psikolog yang tergabung di laboratori­um CONS-PSY Universita­s Ciputra itu.

Kondisi pedofilia tersebut umumnya muncul ketika seseorang mulai puber dan memiliki hasrat seksual. Menurut dia, di masyarakat, pedofil tampak sebagaiman­a sebayanya. Penampilan maupun perilaku mereka normal. Bedanya, mereka punya mindset yang tidak sama dengan kebanyakan. Meski memahami norma-norma yang berlaku, mereka umumnya berpikiran bahwa tindakan dan perasaan kepada anak-anak itu terbilang normal. ’’Saat melampiask­an nafsunya, dia tidak merasa menyakiti atau merusak. Mereka malah merasa membantu anak memahami seksualita­snya,’’ ucap Jony.

Tidak heran, ketika diinvestig­asi atau ditanya seputar tindakanny­a, mereka cenderung tidak tahu atau tidak merasa bersalah. ’’Seperti kasus Robot Gedek dulu. Saat ditanya, dia malah bingung,’’ ucapnya.

Jony dan Danto sepakat yang disasar para pedofil dari anak-anak bukan sensualita­s alias penampilan yang mengundang. ’’Pedofil justru tertarik pada tingkah laku polos yang anak-anak banget. Kalau anak tegas, berani melawan, dan punya power atas dirinya, rasanya mereka akan sulit mendekati,’’ tegas Jony. (fam/c7/ayi)

 ??  ?? BEKAL: Ortu harus mengajari anak hal-hal yang bisa melindungi dari ancaman kejahatan seksual. Umumnya perilaku pedofil di masyarakat tak berbeda dengan ke
BEKAL: Ortu harus mengajari anak hal-hal yang bisa melindungi dari ancaman kejahatan seksual. Umumnya perilaku pedofil di masyarakat tak berbeda dengan ke

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia