Jawa Pos

Tak Malu Disebut Sarjana Ngudek Kopi

Pemuda adalah agen perubahan. Prinsip itu dipegang teguh oleh Yudha Permana Putra. Tidak ingin pemuda menjadi beban di masyarakat, Yudha mengajak mereka untuk memulai usaha. Dengan semangat gotong royong, dia membangun

- EDI SUSILO

socioprene­ur school. SENYUM ramah Yudha Permana Putra langsung mengembang saat menemuinya di sebuah warung pada Selasa (21/3). Di warung berukuran 4 x 4 meter itu, Yudha tidak sendiri. Dia ditemani tiga pemuda. Asyik betul diskusi mereka.

”Ya, begini ini kebiasaan kami. Berdiskusi,” ucap Yudha. Warung dengan nama The Wedang Godhog itu memang tempat istimewa bagi Yudha. Dari warung itulah, bersama beberapa kawan, Yudha menumpahka­n segala unek-unek dan gagasan untuk kemajuan kegiatan sosial yang dirintisny­a. Socioprene­ur school.

Gerakan yang dimulai Yudha pada Desember 2016 tersebut punya tujuan sederhana. Mengajak pemuda ikut berperan dan bergerak mengambil tanggung jawab sosial di masyarakat dengan cara sederhana. Membuka peluang usaha. Istilah keren, entreprene­urship. Kewirausah­aan

Dalam socioprene­ur school, Yudha mengajak pemuda untuk membuat usaha yang memberdaya­kan. Bagi diri sendiri, juga masyarakat. ”Intinya, kalau ada rezeki, harus berbagi,” jelas Direktur Kolaborati­f Institute itu.

Ide membuat socioprene­ur school tersebut berawal dari jatuh bangun Yudha merintis usaha. Bercita-cita menjadi pengusaha, sejak kuliah pemuda kelahiran 10 Desember 1987 itu menekuni bisnis. Mulai menjual pulsa, gantungan kunci, hingga bisnis rental mobil.

Dalam usaha terakhir itu, Yudha tergolong nekat. Dia menjual motor kesayangan­nya pada 2013. Dia lantas membeli mobil. Kredit.

Saat mobil di tangan, usahanya jalan. Terlihat lancar pada bulanbulan awal, Yudha pun menambah jumlah armada mobilnya. Kali ini modalnya utang di bank.

Bisnis lancar pada tahun pertama dan kedua, nasib rental mobilnya berubah 180 derajat pada tahun ketiga. Yudha tidak bisa mengatur manajemen keuangan. Keuntungan dari hasil menyewa tidak bisa mencukupi untuk membayar cicilan. Pada tahun ketiga itu pula, mulai banyak penyewa yang mokong. Meminjam mobil hingga beberapa bulan. ”Waktu itu saya sempat gadaikan sertifikat tanah orang tua dan menjual mobil kakak,” terangnya, mengenang pengalaman pahit tersebut.

Jatuh bangun usaha rental mobil tidak membuat Yudha kapok. Putra pasangan Harmoko-Kuntari tersebut banting setir dengan membuka bisnis peternakan kambing di kampungnya. Mirip nasib mobilnya, setelah berjalan setahun, ternak kambingnya juga mengalami nasib buruk. Tenggelam sebelum berlayar. Bisnis itu pun gagal.

Ya, dua pengalaman pahit membuka usaha itu membuatnya sadar. Ada yang perlu dia perbaiki dari usaha mencari keuntungan tersebut.

Pulang ke kampung saat liburan semester, Yudha mulai memperhati­kan keadaan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, sebuah desa di Bojonegoro. Sebagai mahasiswa, dia berontak melihat keadaan. Dia resah dengan nasib teman, tetangga, dan warga kampung yang tidak berubah. Terlilit kemiskinan. Melihat realitas itu, Yudha mulai bergerak.

Usaha pertama untuk memberdaya­kan kampung itu dia lakukan dengan mengajak masyarakat mengolah sampah. Mengubahny­a menjadi barang yang bermanfaat. Namun, lagi-lagi respons yang diterimany­a dari masyarakat kurang bagus.

Tidak menyerah, usaha lain dia tempuh. Lewat jalur pendidikan. Sebab, di desa itu banyak warga yang hanya tamat SMP. Sedikit pula yang menembus SMA. Yudha pun sempat mencari satu-dua beasiswa untuk kelanjutan sekolah beberapa orang. ” Tapi, mereka ndak mau. Enak mergawe (bekerja, Red) kata mereka. Aneh,” jelasnya.

Sambutan tidak menyenangk­an tersebut membuat suami Henik Sri Astutik itu berpikir. Yudha sampai pada kesimpulan: kemiskinan membuat masyarakat sulit diajak bergerak di luar kegiatan yang menghasilk­an nilai ekonomis.

Setelah lulus kuliah dari jurusan pendidikan dokter hewan di Universita­s Airlangga (Unair) pada 2015, Yudha memulai usaha. Kembali ke kampung dan membuka bisnis warung kopi.

Keputusan untuk memilih jadi bartender kampungnya itu tidak berlangsun­g mulus. Cibiran datang bertubi- tubi. ” Jare sarjana. Mulih kok ngudek kopi (pulang kok mengaduk kopi, Red).” Kata-kata ’’mutiara’’ dari warga tersebut terdengar jelas. Menusuk. Menyindir.

Tetapi, ocehan tersebut tidak berlangsun­g lama. Pelan tapi pasti, aneka gunjingan semakin sayup terdengar. Tertelan oleh ramainya pengunjung warung kopi. Tak ingin untung sendiri, Yudha mengajak pemuda kampung. Tiga karyawan berhasil dia rekrut untuk warung kopinya. Gaji mereka lumayan, Rp 800 ribu per bulan.

Setelah warung kopi diurus tiga pemuda kampung, Yudha hanya berperan sebagai pembina. Yudha menyerahka­n seluruh aktivitas belanja dan melayani pembeli ke pegawai. Dia hanya mengingatk­an pegawainya agar menyisihka­n upah mereka Rp 50 ribu setiap bulan. Pengumpula­n tersebut dilakukan untuk me- nambah modal dan mendirikan warung kopi baru.

Berjalan setahun, dengan konsep itu, Yudha bersama tiga pegawainya berhasil membuka satu warung kopi lagi. Letaknya di sebelah desa. ”Nah, ini nanti kalau sudah jalan, kami kembangkan lagi biar semakin banyak modal dan bisa membuka usaha tambahan,” jelas penggemar olahraga futsal itu.

Tidak hanya memberdaya­kan pegawai, di warung kopinya Yudha juga bisa membantu menambah penghasila­n warga sekitar. Beberapa penganan di warungnya disuplai ibu-ibu. Mulai kacang, marning, aneka gorengan, hingga nasi bungkus.

Usaha yang semula dipandang sebelah mata itu kini kian berbuah apresiasi. Banyak warga yang merasakan dampaknya. Bahkan, beberapa pemuda tampak mulai tertarik bergabung dengan usahanya. Menjajal bisnis bersama.

Sukses di kampung tidak membuatnya gampang puas. Yudha kembali ke Surabaya. Dia membuat socioprene­ur school. Ide simpel, menyebarka­n sebuah gerakan pemberdaya­an masyarakat melalui bidang usaha.

Saat kelas dibuka pada 23–26 Desember 2016, jumlah peserta yang mengikuti kegiatan socioprene­ur school sebanyak 40 orang. Mereka berasal dari 23 kabupaten/kota di Jawa Timur. Sebagian besar peserta berstatus mahasiswa.

Dalam pelatihan itu, Yudha memberikan banyak materi mengenai cara memulai usaha, memetakan potensi masyarakat, hingga cara mengembang­kan usaha yang bisa memberdaya­kan masyarakat.

”Dari pelatihan itu, tak semua langsung bisa memulai usaha,” terangnya. Dari keseluruha­n peserta mengikuti socioprene­ur school, sudah ada sekitar 20 usaha yang telah dibuka.

Di antara 20 peserta socioprene­ur school angkatan pertama tersebut, lima orang sudah mengembang­kan usaha hingga tahap socioprene­ur. Di antaranya, usaha olahraga tubing (mengikuti arus sungai dengan ban dalam) di Madiun, sate delivery di Ponorogo, ternak lele berbasis pendidikan di Tuban, dan ternak kambing domba di Bondowoso.

Seluruh usaha yang telah berjalan tersebut selalu dipantau Yudha tiap bulan. Secara bergantian Yudha mengecek satu per satu kondisi usaha. Jika ada yang masih seret, Yudha dengan cekatan siap membantu.

Agar jaringan socioprene­ur school tidak putus setelah pelatihan, Yudha membuat grup di WhatsApp. Setiap bulan ada diskusi dan obrolan ringan menyangkut berbagai hal di lapangan usaha. ”Nanti setelah setahun berjalan, kami adakan pertemuan lagi untuk membahas kondisi usaha masingmasi­ng,” terangnya.

Yudha berharap program socioprene­ur school tersebut terus berkembang dan menyerap banyak pemuda untuk ikut ambil bagian. Bergerak di masyarakat untuk menciptaka­n lapangan pekerjaan.

Dengan prinsip gotong royong, dia yakin usaha berbasis socioprene­ur itu akan tetap bisa berkembang. Juga, mengurangi angka penganggur­an pemuda produktif di masing-masing wilayah. ”Semoga ke depan tak banyak lagi sarjana yang sibuk membawa surat lamaran pekerjaan. Mereka harus menciptaka­n pekerjaan itu sendiri,” terangnya. (*/c7/dos)

 ?? EDI SUSILO/JAWA POS ?? Jawa Pos
EDI SUSILO/JAWA POS Jawa Pos

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia