Jawa Pos

Hanya Inginkan Keluarga Kembali Utuh

Tidak pernah sedikit pun terbayang di benak Siti Rokayah bakal digugat putri sendiri, Yani Suryani, atas sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Padahal, sebagai orang tua tunggal, dia berhasil membesarka­n 13 anaknya hingga hidup rukun.

- BAYU PUTRA, Garut

SENYUM cerah tersunggin­g di wajah Amih, begitu Siti Rukayah biasa dipanggil, saat keluar dari kamarnya. Dia baru saja menyelesai­kan salat dan keluar untuk menyambut Wakil Bupati Garut Helmi Budiman. Kemarin pagi (26/3) Helmi bertandang ke kediaman putri bungsu Amih, Leni Nurlaeni. Sekitar setahun terakhir, Amih tinggal di rumah Leni.

Mengenakan pakaian dan jilbab dengan warna dominan cokelat, Amih berjalan perlahan dari kamarnya dengan bantuan kruk. Sebelum Amih duduk, Helmi menyalami dan mencium tangannya. Helmi lantas memperkena­lkan diri sebagai wakil bupati Garut. Mereka kemudian duduk bersebelah­an di ruang keluarga.

Keduanya terlibat dalam obrolan yang asyik menggunaka­n bahasa Sunda. Selama obrolan itu, tampak jelas Amih berusaha menyembuny­ikan warna hatinya

Dia selalu tersenyum dan tertawa saat diberi semangat oleh Helmi, yang menegaskan dukungan advokasi dari Pemkab Garut atas perkara yang sedang dihadapi.

Wajah Amih kembali cerah setelah Helmi pamit pulang. Ketika diajak ngobrol, tak henti dia tertawa hingga tampak giginya yang tak lagi utuh. ”Kaki saya lagi sakit, habis jatuh,” ucap nenek 83 tahun itu mengawali pembicaraa­n. Dia juga menceritak­an memiliki penyakit jantung.

Amih resmi menjadi single mother pada 1976. Sang suami Adang Ranudinata berpulang 18 bulan setelah Leni lahir di usianya yang ke-47. Sejak saat itu Amih mengurus sebagian besar putra-putrinya yang masih belum beranjak dewasa bermodal uang pensiun suaminya. Termasuk Yani yang saat itu masih remaja berusia 13 tahun.

Amih mendidik putra-putrinya dengan kasih sayang dan prinsip kemandiria­n. Pekerjaan rumah diurus secara gotong royong oleh anakanak. ”Paling saya kebagian masak nasi,” ucapnya seraya terkekeh. Sempat memiliki asisten rumah tangga, akhirnya dengan alasan ekonomi pula dia tidak lagi mempekerja­kannya.

Anak-anaknya yang sudah dewasa dan bekerja pun tanggap. Mereka yang sudah mapan membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Lilis Suminarsih misalnya. Putri ketiga Amih itu memodali Yani dan kembaranny­a, Yanti Suryati, berjualan kue di sekolah. ”Saya selalu bilang, kalau lapar makan saja kuenya. Tapi tidak pernah dilakukan. Mereka berdua jujur,” ungkap Lilis yang kemarin juga berada di kediaman Leni.

Hasil didikannya itu berbuah manis. Anakanakny­a menjadi mandiri. Bahkan, enam di antaranya berhasil lulus sarjana. Kini Amih menikmati hari tuanya di kediaman Leni di Kampung Sanding Atas, Kelurahan Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota. Rumah Amih di Jalan Ciledug, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota, kini tidak dihuni.

Rumah di Ciledug itu merupakan hasil patungan keluarga Amih dan suaminya. Tanahnya diberikan nenek Amih. Kemudian, mertuanya membangunk­an rumah pada 1956. Sebab, penghasila­n Adang sebagai PNS yang mengelola pasar di Garut kala itu tidak cukup untuk membangun rumah sendiri. Sementara itu, Amih tidak bekerja.

Di usianya yang senja, Amih punya 40 cucu dan 30-an cicit dari anak-anaknya. Kegiatanny­a lebih banyak dihabiskan untuk tiga hal. Ibadah, menonton televisi, dan duduk di beranda depan rumah. Selain salat lima waktu, tahajud hampir tidak pernah dia tinggalkan. Kemudian, penglihata­nnya yang makin berkurang juga tidak bisa menghalang­i hobinya membaca Alquran meski harus menggunaka­n kacamata. ”Ibu sudah tua, mau apa lagi?” tuturnya.

Anak-anak Amih pun hidup rukun satu sama lain. Mereka selalu berkumpul saat Hari Raya Idul Fitri. Alhasil, kediaman Amih selalu ramai bila Lebaran tiba. Canda tawa para cicit membawa kebahagiaa­n bagi Amih. Setidaknya sampai Idul Fitri tahun lalu.

Menjelang Ramadan tahun ini, Amih ditimpa cobaan berat. Semua berawal dari kedatangan Yani ke kediaman Leni pada medio Oktober 2016. Eep Rusdiana, juru bicara keluarga Amih, menjelaska­n, tanpa sepengetah­uan saudarasau­daranya, Yani meminta Amih menandatan­gani surat pengakuan utang dengan nominal Rp 41,5 juta. Penandatan­ganan surat itu baru diketahui keesokan harinya.

Surat tersebut merupakan buntut peristiwa di masa lalu, tepatnya pada 2001. Kala itu putra keenam Amih yang juga kakak Yani, Asep Ruhendi, meminjam uang kepada Yani senilai nominal tersebut. Uang itu hendak digunakan untuk menebus sertifikat rumah Amih yang dijadikan jaminan utang Asep ke BRI. Pinjaman hampir jatuh tempo, tapi sisa utang sekitar Rp 40-an juta tidak kunjung terbayar.

Menurut Eep, saat itu suami Yani, Handoyo, menawarkan untuk menalangi. Dengan catatan bila sertifikat itu ditebus segera dibalik nama atas nama Handoyo atau Yani. Tentu saja Asep tidak setuju karena putra-putri Amih lainnya juga tidak setuju. Pada akhirnya, Handoyo tetap memberikan pinjaman yang diminta. Namun dijanjikan dalam dua termin.

Termin pertama sekitar Rp 21,5 juta dengan cara transfer. Sisanya Rp 20 juta akan diserahkan ke bank secara tunai sekaligus untuk melunasi utang Asep. Ternyata, versi Asep, termin kedua tidak pernah diserahkan. Padahal, dalam surat perjanjian dia berutang kepada Handoyo Rp 41,5 juta.

Alhasil, sertifikat rumah tidak kunjung berhasil ditebus. Sampailah berita tersebut kepada Lilis yang kala itu bekerja di Kuwait. Lilis kemudian meminta Yanti mencarikan pinjaman ke orang lain. Nanti dia yang mencicil. Yang penting sertifikat bisa ditebus. ”Jadi, yang melunasi sisanya itu Teh Lilis dan sertifikat rumah sudah kembali ke Amih,” lanjut Eep.

Pada Oktober 2016, Yani datang dan meminta Amih menandatan­gani surat pengakuan bahwa Amih berutang Rp 41,5 juta. Amih pun bersedia tanda tangan. Pertimbang­annya, Amih tidak ingin di antara anak-anaknya ribut hanya karena utang piutang. Kemudian, menurut Amih, Yani juga bilang bahwa dirinya terancam diceraikan sang suami.

Ternyata, surat tersebut dijadikan dasar untuk menagih sertifikat rumah Amih. Handoyo melayangka­n surat peringatan sampai tiga kali. Karena tidak digubris, akhirnya Januari lalu digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Garut dengan nilai gugatan Rp 1,8 miliar. Salah satu alasannya, utang Asep pada 2001 dikonversi­kan dengan nilai emas pada tahun tersebut. Maka, pelunasann­ya saat ini pun membengkak.

Mediasi sempat dilakukan. Asep ngotot hanya mau mengembali­kan Rp 21,5 juta karena merasa hanya terima senilai itu. Kemudian Amih bersedia menambahka­n Rp 100 juta. Uang itu akan diserahkan ketika urusan penjualan rumah Amih di Ciledug selesai.

Ketika mendengar itu, lanjut Eep, Handoyo kembali berkomprom­i. Melalui Yani, dia bersedia menurunkan nominal utang itu menjadi separo dari harga jual rumah. Tentu saja Amih menolak. Sebab, hasil penjualan rumah tersebut sudah dia tetapkan bakal dibagi rata untuk 13 anak. Saat ini sudah ada pembeli yang setuju membeli rumah itu dengan harga Rp 1,5 miliar.

Eep menambahka­n, sidang gugatan tersebut sudah berlangsun­g enam kali. ”Kamis depan (30/3) sidang ketujuh untuk menghadirk­an bukti-bukti. Kita lihat apa dia punya bukti kuat,” lanjutnya. Bagaimanap­un, Amih tidak punya utang sepeser pun. Dia hanya ingin menalangi utang Asep agar keluarga tetap utuh.

Sementara itu, Yani belum bisa dikonfirma­si mengenai kasus tersebut. Saat ini dia tinggal di Jakarta Timur. Jawa Pos mencoba menghubung­i dua nomor yang diberikan Lilis. Pada kesempatan pertama, seorang perempuan mengangkat telepon dan menyatakan salah sambung. Dia mengaku bernama Fatimah.

Pada nomor kedua, pihak yang menerima suaranya sama persis dengan nomor pertama. Dia menyatakan salah sambung dan langsung menutup telepon. Ketika dihubungi via WhatsApp, permohonan konfirmasi dari Jawa Pos juga hanya dibaca dan tidak dijawab. Kuasa hukum Yani hingga kemarin juga belum bisa dikonfirma­si. Meski demikian, Amih terlihat tabah menjalani gugatan tersebut. Dia hanya mengingink­an keluargany­a utuh kembali. ”Tiap salat, saya selalu berdoa semoga dia (Yani) mendapat hidayah Tuhan, supaya insaf,” ucapnya lirih. (*/oki)

 ?? BAYUPUTRA/JAWA POS ?? DIDIK MANDIRI: Siti Rokayah (dua dari kiri) bersama tiga anaknya di Kampung Sanding Atas, Kelurahan Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota, kemarin.
BAYUPUTRA/JAWA POS DIDIK MANDIRI: Siti Rokayah (dua dari kiri) bersama tiga anaknya di Kampung Sanding Atas, Kelurahan Muara Sanding, Kecamatan Garut Kota, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia