Indonesia Darurat Kesehatan Mental?
KASUS kematian akibat bunuh diri pada 17 Maret di Jagakarsa, Jakarta Selatan, sejatinya membuka mata kita tentang kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia. Tidak jauh dari pemberitaan tentang itu, kita kembali dibuat terkaget-kaget saat beberapa hari lalu media massa menyajikan berita pendalaman kasus pornografi anak ( child pornography) oleh Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang menambah jumlah korban dan pelaku yang menggunakan media Facebook sebagai jejaringnya. Saat ini kasus tersebut masih menjadi sumber ketakutan bagai mayoritas orang tua. Dua kasus itu dapat dimaknai sebagai fenomena iceberg yang memungkinkan bahwa jumlah kejadian serupa lebih besar di bawah permukaan pengungkapan media.
Secara global, kesehatan mental merupakan isu sentral pembangunan kesehatan. WHO menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi yang bersifat integral. Artinya bukan sekadar bebas dari penyakit, melainkan kondisi ketika seseorang mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental, dan sosial. Jika melihat tren global, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu perifer dalam pembangunan kesehatan, mengingat betapa seriusnya dampak yang disebabkan lemahnya kondisi kesehatan mental. Apabila kita mencermati, estimasi WHO mengenai disability-adjusted life year (DALY) pada 2012 menempatkan unipolar depressive disorders pada peringkat ke-9 dari 20 penyakit utama apabila dibandingkan dengan penyakit menular ( communicable disease) atau penyakit tidak menular ( non-communicable disease) lainnya. Artinya, meskipun gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai problem epidemiologis, nyatanya memiliki dampak yang cukup signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas.
Gangguan kesehatan mental membutuhkan fokus penuh dari para pengambil kebijakan. Pertimbangannya, gangguan kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang membutuhkan respons cepat dari penyedia layanan kesehatan. Survei yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan, nilai kerugian dalam domain sumber daya manusia yang harus ditanggung pemberi kerja mencapai USD 36 juta setiap tahun akibat major depressive disorder (MDD) yang diderita para pekerjanya.
Lebih lanjut, 10 negara partisipan survei WMH melaporkan adanya ratarata kerugian produktivitas sampai 22 hari/pekerja. Sayang, sampai saat ini gangguan kesehatan mental masih tergolong low priority issue di mayoritas negara berkembang. Hal itu menunjukkan kurangnya komitmen para pengambil kebijakan untuk serius menangani masalah kesehatan mental, meskipun datadata epidemiologis menunjukkan bahwa problem itu tak lagi bisa dianggap remeh. Fenomena di Indonesia Riset kesehatan dasar (riskesdas) pada 2013 memang menunjukkan adanya penurunan prevalensi gangguan mental emosional apabila di- bandingkan dengan riskesdas 2007. Namun, penurunan prevalensi kejadian kesehatan mental merupakan sebuah anomali, bahkan sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Hal itu semakin menegaskan bahwa pemerintah kekurangan data epidemiologis yang berkualitas untuk menyusun kebijakan kesehatan mental. Perangkat kebijakan yang menaungi upaya peningkatan kualitas kesehatan mental di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Upaya membentuk payung legislasi atas kebijakan kesehatan mental adalah usaha yang patut diapresiasi, meskipun pemerintah cenderung lambat dalam menjabarkannya di peraturan teknis. Selain itu, arah kebijakan kesehatan mental di Indonesia masih berkutat di area kuratif, belum memberikan porsi yang sama pada tahap preventif, promotif, maupun rehabilitatif. Upaya tersebut dipengaruhi komitmen pemerintah Indonesia dalam pembangunan kesehatan di Indonesia dengan alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot 5 persen dari APBN 2016, lalu rata-rata anggaran untuk kesehatan mental hanya 1 persen dari total anggaran kesehatan. Selain isu mengenai data epidemiologis, proses legislasi, dan health budgeting, isu lain yang menjadi sentral dalam perbincangan mengenai kesehatan mental di Indonesia adalah problem kesenjangan perawatan ( treatment gap) serta stigma dan diskriminasi yang dialami orang dengan gangguan mental (ODGM).
Masalah kesehatan mental tak lagi dapat dianggap sebagai isu perifer dalam perancangan kebijakan kesehatan. Faktanya, gangguan kesehatan mental adalah ancaman global yang juga harus dihadapi masyarakat Indonesia. Kebijakan kesehatan mental yang evidence-based tentu tak mungkin dapat disusun apabila data epidemiologis yang berkualitas tidak tersedia. Dengan begitu, langkah pertama yang harus diambil pemerintah adalah berupaya memotret kondisi kesehatan mental masyarakat melalui riset yang komprehensif. Dengan data yang komprehensif, perancangan program kunci dan alokasi anggaran tentu dapat diatur secara proporsional. Selanjutnya, komitmen politik yang progresif menjadi faktor pendorong untuk mengatasi kesenjangan perawatan. Pemerintah harus merevitalisasi upaya dukungan kesehatan mental yang berkualitas berbasis keluarga dan komunitas, yang saat ini linier dengan sistem kesehatan nasional kita. (*)