Jawa Pos

Nasirun, si Pengumpul Karya Pejuang Kebudayaan

Ke Jogjakarta, Bertemu Perupa-Perupa Ternama Indonesia (1)

-

Apalah artinya menyebut diri manusia berbudaya kalau tak punya kepedulian terhadap sesama. Melalui rasa peduli itu, perupa Nasirun mengumpulk­an ribuan karya seni bernilai sejarah tinggi. Wartawan Jawa Pos JANESTI PRIYANDINI sempat dipertunju­kkan harta karun tersebut.

Dia hanya mengenakan sarung dan bertelanja­ng dada. Rambut gondrongny­a diikat seadanya. Pelukis kelahiran Adipala, Cilacap, itu baru selesai menyapu ruang stockist yang terletak di belakang kediamanny­a di Bayeman, Jalan Wates, Jogjakarta.

Stafnya, Pipin, perlu beberapa menit untuk mencari keberadaan Nasirun. Sebab, kompleks rumah Nasirun memang luas dan terdiri atas beberapa bangunan. Saya masuk melalui studio yang terletak berdamping­an dengan rumah utama. Dua bangunan itu terkoneksi. Pipin membawa saya duduk di kursi di belakang rumah; dekat taman yang rindang dan asri, kolam ikan yang dihuni puluhan ikan koi, serta kolam renang.

Kawasan bangunan modern bergaya tropis tersebut memang menarik hati dan langsung memberikan kesan ayem. Ditambah lagi, yang punya adalah seorang seniman. Jadi, arsitektur­nya sudah kawin dengan ornamen-ornamen seni hasil tatanan si pemilik rumah. Sepanjang mata memandang, selalu ada karya seni di sana. Entah itu patung, lukisan, wayang, atau pahatan.

Di ruang stockist tersebut, lukisan ada di mana-mana. Baik yang sudah terpajang di dinding maupun yang masih tertumpuk di beberapa sudut atau tertata di rak. Ruangan itu memang dikhususka­n untuk menyimpan lukisan yang sebagian besar belum terdata. ”Ada yang masih gulungan. Ada yang tinggal difoto. Yang masih ada di tukang frame dan belum kembali juga banyak,” terang Pipin.

Nasirun mulai mendata koleksinya tersebut dua tahun terakhir. Hasilnya, lebih dari 1.000 karya seni. Dan ketika saya ke sana, tim Nasirun berhasil mendata 250 karya lagi. ”Yang di sini sudah di- frame semua, tapi belum difoto,” ucap Supono P.R., pelukis senior yang kini ikut menangani pendataan koleksi Nasirun.

Sebuah lukisan karya Umi Dahlan di atas kanvas yang diletakkan di lantai menunggu giliran untuk didata. Lukisan karya Umi Dahlan termasuk yang paling banyak dikoleksi Nasirun.

Saya juga ”menemukan” lukisan karya RM Soewardi Soerjaning­rat atau Ki Hadjar Dewantara di antara koleksi pelukis 52 tahun itu. Lukisan Ki Hadjar berobjek sepeda motor.

Ada pula karya Emiria Sunassa berangka tahun 1933. Dia adalah pelopor perupa perempuan Indonesia. Beberapa karya Emiria yang dikoleksi Nasirun akan dipinjam untuk dipamerkan di Europalia Art Festival Indonesia di Belgia.

Koleksi-koleksi lainnya yang sudah selesai dirapikan dipajang di private collection room yang terletak di seberang rumahnya. Nasirun membangun ruang koleksi pribadi itu bekerja sama dengan arsitek Eko Prawoto. ”Ya, inilah cara saya untuk menghormat­i, mengucapka­n terima kasih, dan menghargai para senior saya. Master,” ucap Nasirun tentang koleksinya tersebut.

Terutama untuk menghargai guru dan dosennya. Merekalah yang merenda, berjuang untuk kebudayaan. ”Dan saya agak sedikit tidak rela mereka ’dihilangka­n’ dari sejarah (seni). Nggak ada yang menceritak­an perjuangan mereka kepada generasi penerus,” lanjutnya.

Nasirun mulai menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Jogjakarta pada 1983. Kemudian, dia melanjutka­n kuliah di Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta pada 1987 dan lulus 1994. Karyanya kini menyebar di berbagai negara serta menjadi koleksi banyak museum, galeri, dan pribadi. Harga lukisannya kini jangan ditanya lagi.

Selain produktif melukis, Nasirun seorang kolektor yang tekun dan serius. Jika melihat banyaknya koleksinya, tidak terbayang bagaimana dia mengumpulk­an satu per satu artefak itu. ”Dari tahun 1995 saya jadi tukang traveling, silaturahm­i ke ahli waris (para seniman yang telah meninggal dan karyanya dia koleksi, Red),” ungkapnya.

Menurut perupa yang dialek Banyumasan­nya masih kental itu, ada romantisme ketika menemui para ahli waris yang pernah bersinggun­gan dengan karya para seniman yang kini jadi koleksinya. ”Entah itu istrinya atau suaminya. Itu cara saya mencari artefak doa rupa yang punya nilai histori,” ucap bapak tiga anak tersebut.

Nasirun mengakui upayanya mengumpulk­an satu per satu karya seni bersejarah itu sebagai penghormat­an kepada para senimannya. ”Mereka adalah pejuang kebudayaan,” tutur perupa ”besar” yang tak mau menggunaka­n handphone untuk alat komunikasi dan ke manamana naik sepeda motor tersebut.

Meski begitu, Nasirun tidak melakukan jual beli karya koleksinya itu. Hatinya tak tega. Sebab, setiap kali melihat koleksinya, dia selalu teringat cerita bagaimana proses untuk mendapatka­n karya tersebut. ”Meski aku kadangkada­ng rodok mumet (agak pusing, Red),” kata Nasirun, lalu tertawa.

Seiring bergulirny­a waktu, Nasirun pun berpikir untuk memiliki ruangan khusus yang betulbetul dia dedikasika­n bagi para senior. ”Saya tidak memajang satu pun karya saya di sana.”

Di ruang koleksi, sebagian besar seniman yang karyanya terpajang sudah meninggal dunia. Ketika melihat lukisan-lukisan di ruangan itu, ingatan Nasirun otomatis tentang almarhum. ”Juga ingat proses pencarian ahli warisnya. Artinya, karya itu kemudian jadi bagian hidup keluarga yang ditinggalk­an,” katanya.

”Ada lukisan-lukisan para legenda, yang sampai sekarang rumah saja belum punya. Makanya, ini karyanya saya rumahkan. Hahahaha,” katanya. Hampir semua ahli waris yang dia temui membuatnya belajar banyak hal. ”Kalau bicara kemanusiaa­n, tapi nggak ada interaksi, kan hanya jadi teori,” katanya.

Banyak cerita ketika Nasirun bertemu dengan ahli waris yang lama-lama menumbuhka­n kepercayaa­n kepadanya untuk merawat secuil sejarah. Bahkan, ada lukisan mendiang gurunya, Wardoyo, pelukis dengan media pastel, yang diberikan kepadanya. ”Ini dititipkan begitu saja kepada saya tanpa orangnya meninggalk­an nama dan alamat. Sampai sekarang saya nggak tahu siapa yang ngasih,” urainya.

Memang banyak hal tentang Nasirun yang tak bisa dilogikaka­n. ”Saya bukan pengusaha. Kalau lukisan saya laku pun, harus saya bagi untuk keluarga, profesi, dan koleksi,” ucapnya.

”Saya hanya bersandar pada profesi saya. Dan mereka bersandar kepada saya,” lanjutnya. ”Tapi, bagi saya, itu yang membuat saya bugar dan yakin pada profesi. Karena ada sesuatu yang saya perjuangka­n,” tambahnya.

Nasirun rela tidak jadi seniman. ”Karya saya nggak usah dihitung lah. Kelas RT (rukun tetangga) juga nggak apa-apa. Hahaha,” ucapnya. ”Tapi, saya nggak rela kalau karya-karya pendahulu saya dilupakan. Nggak rela,” katanya kembali menegaskan.

Sepanjang mengajak saya berkelilin­g ruang koleksi, memang ada begitu banyak cerita di balik karya-karya koleksi Nasirun. ”Kalau saya tulis bisa sampai Klaten panjangnya,” kelakar dia.

Salah satunya cerita lukisan-lukisan maestro Fadjar Sidik yang kini jadi koleksinya. Fadjar Sidik adalah guru yang sangat dihormati Nasirun. ”Dua minggu sebelum beliau meninggal, dia minta saya datang. Saya disuruh mijit, padahal bukan tukang pijit,” kenangnya.

Ketika memijat itulah, Fadjar bercerita bahwa dirinya harus cuci darah. Dia pun memercayak­an lukisan-lukisannya tersebut ke tangan Nasirun. Nasirun pun menyanggup­i. ”Nah, gobloknya saya, saya nggak mudeng kalau ternyata cuci darah itu biayanya besar. Kirain cuma kayak suntik. Padahal, saya kadung jawab iya, hahahaha,” ungkapnya. Kesanggupa­nnya itu membuat Nasirun terpacu untuk memenuhi. Apalagi, Fadjar guru yang sangat dia hormati.

Ada sesuatu yang dia lihat ketika proses pertemuan dengan sang guru itu terjadi. Nasirun meminta izin untuk ke kamar kecil. Tapi, dia lalu diam-diam membuka tempat makanan di ruang belakang rumah Fadjar.

”Ternyata, memang hanya ada sepotong telur. Berarti kan memang dia nggak punya uang,” kenangnya. ”Saya lupa bagaimana caranya ketika itu, tapi kemudian saya bisa mendapatka­n uang untuk beliau,” tambahnya.

Seniman Jeihan Sukmantoro, cerita Nasirun, pernah datang ke rumahnya dan melihat koleksinya itu. Dia mengomenta­ri apa yang telah dilakukan Nasirun. ”Jeihan waktu itu bilang, saya mengaku kalah karena saya hanya mencapai pada artistik dan proses berkesenia­n. Tapi, kalau ini adalah artistik moralitas,” kata Nasirun menirukan. (*/c9/ari)

 ?? JANESTI PRIYANDINI/JAWA POS ?? ”EH, Mbak. Apa kabar? Sebentar ya, habis nyapu. Saya kalau pagi senang nyapu,” ujar Nasirun kepada saya Rabu (22/3) BERSAMA GURU: Nasirun (kiri) dan pengajarny­a di SMSR Jogjakarta, Supono P.R. Kini dia membantu Nasirun mendata koleksinya.
JANESTI PRIYANDINI/JAWA POS ”EH, Mbak. Apa kabar? Sebentar ya, habis nyapu. Saya kalau pagi senang nyapu,” ujar Nasirun kepada saya Rabu (22/3) BERSAMA GURU: Nasirun (kiri) dan pengajarny­a di SMSR Jogjakarta, Supono P.R. Kini dia membantu Nasirun mendata koleksinya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia