Jawa Pos

Ogah Gagal Lagi, Belajar Mandiri

-

IRA adalah satu di antara puluhan ribu guru yang tidak lulus Ujian Kompetensi Guru (UKG) 2016. Guru sekolah dasar (SD) di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, itu tidak tahu berapa nilai yang diraih. Namun, pada UKG 2015, dia meraih nilai 75

Saya beruntung bekerja di media. Tidak pernah ada dua hari yang sama, tidak pernah ada rutinitas. Bertemu banyak macam orang, bekerja dengan berbagai tipe manusia.

Saya juga bersyukur bisa menekuni sejumlah hobi. Selalu belajar sesuatu yang baru. Selalu berkenalan dengan orang baru. Selalu belajar tentang atau dari orangorang baru itu.

Sabtu, 25 Maret lalu, saya bertemu dan berkenalan dengan begitu banyak orang baru. Ketika menyelengg­arakan event bersepeda Jawa Pos Cycling Bromo 100 Km, dari Surabaya menanjak ke Wonokitri, Bromo, via Pasuruan.

Bersama puluhan teman menjadi road captain, kami bekerja seperti gembala. Membawa total 1.170 cyclist dari 15 negara, termasuk yang mewakili 109 kota di berbagai penjuru Indonesia.

Semua mendaftar untuk ikut ’’sengsara’’, merasakan beratnya tanjakan menuju Wonokitri itu. Total tanjakanny­a hampir 40 km, menantang ketahanan fisik dan mental, dengan bagian akhir paling menyiksa: Tanjakan miring sampai 18 persen pada sekitar 250 meter memasuki Pendapa Wonokitri, di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.

Bagi kami cyclist di Jawa Timur ( cyclist beneran yang tidak takut menanjak, bukan cyclist-cyclistan yang hanya bike-to-eat), tanjakan menuju Wonokitri itu sudah berkali-kali kami lalui. Tapi, tidak pernah sekali pun terasa makin gampang.

Bahkan, kalau badan sedikit saja tidak fit, sangat mungkin tidak akan berhasil finis.

Nah, membayangk­an ada lebih dari seribu orang mencoba menaklukka­nnya, dengan berbagai macam kemampuan, akan memberikan pemandanga­n seru.

Mereka yang kuat, tidak perlu diperhatik­an. Itu merupakan hasil semangat dan dedikasi untuk berlatih, menjadikan diri semakin kuat dan tangguh.

Ada pula mereka yang tahuntahun sebelumnya gagal finis, dan telah rutin berlatih supaya tahun ini bisa finis.

Mereka yang ’’tanggung’’, itu yang menarik untuk dibahas. Melihat pemandanga­n dan ulah-ulah manusia di tanjakan panjang itu, saya membayangk­an seharusnya banyak dosen psikologi mengajak pelajar-pelajarnya untuk ikut mengamati. Karena di saat menghadapi tantangan berat seperti itulah, sifat-sifat manusia bisa kelihatan. Dan belum tentu sifat yang baik.

Saya dan sejumlah road captain memutuskan untuk berangkat agak belakang di bagian terakhir event. Yaitu, 17 km terakhir yang terberat, dari Desa Puspo menuju Wonokitri.

Kalau sehat, saya saja butuh sekitar 1 jam dan 20 menit untuk menyelesai­kan bagian akhir itu. Kebanyakan cyclist yang tergolong mampu menanjak akan membutuhka­n waktu 1 jam 30 menit hingga 2 jam. Mereka yang tergolong sangat kuat atau atlet akan membutuhka­n waktu di kisaran 1 jam.

Dari Desa Puspo, rombongan diberangka­tkan pukul 10.15 pagi itu. Kelompok saya baru berangkat sekitar 20 menit kemudian. Selain untuk menjadi alat ukur waktu panitia, juga untuk melihat situasi dari sudut pandang belakang.

Plus, badan saya waktu itu juga tidak fit, beberapa hari sebelum event mengalami radang tenggoroka­n (beberapa yang lain sama).

Pemandanga­n dari belakang benar-benar seru. Ratusan peserta kami lalui dalam 17 km tersebut.

Sekitar 8 km sebelum finis, sudah banyak yang bergelimpa­ngan di pinggir jalan. Entah karena kram, atau murni karena lelah. Bau balsam juga mulai tercium dari mereka.

Tidak sedikit di antara mereka yang menyerah. Memilih berputar balik turun ke bawah dan pulang. Atau naik mobil pendamping untuk pulang.

Ada yang tetap bertekad untuk mencapai finis dengan segala kekuatan. Walau kadang harus berjalan menuntun sepeda. Dan mereka terus berusaha mencapai finis sampai jam berapa pun, walau time limit sudah terlewati dan segala acara di puncak telah selesai.

Bagi saya, ini yang tergolong ’’terhormat’’, karena tetap berupaya finis menggunaka­n tenaga sendiri.

Ada pula yang mulai ’’mencari bantuan’’ mobil atau motor pendamping. Caranya tetap duduk di atas sepeda, tapi tangannya memegangi mobil atau motor sehingga dapat ’’tenaga lain’’. Lalu, ketika mendekati finis, mereka kembali mengayuh sepeda, sehingga seolah-olah finis beneran.

Ada lagi yang tidak punya akses terhadap mobil atau motor pendamping, lalu memutuskan mencari cara lain. Yaitu: Melobi motormotor penduduk untuk mau membantu mereka naik ke puncak. Alias ngojek. Teman saya yang tinggal di kawasan itu bilang, Sabtu itu ojek laku keras.

Melihat itu semua, saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Panitia sudah menyediaka­n banyak truk dan pikap untuk mengevakua­si peserta-peserta yang melewati time limit. Tapi, banyak yang tetap memilih pakai ojek atau bantuan pihak lain.

Jangan-jangan, mereka malu kalau diangkut pakai mobil resmi. Dan merasa lebih gagah atau bergengsi kalau menggunaka­n caracara ’’alternatif’’ tersebut.

Dan di berbagai cycling event di Indonesia, trik-trik itu sudah sangat lazim. Pernah waktu di kawasan Jogjakarta, ada peserta dari Jawa Tengah yang sengaja tidak ikut start dengan peserta lain. Mereka memilih naik mobil dulu sampai kaki tanjakan, lalu baru memulai bersepeda ketika rombongan sudah sampai di sana.

Hadeh-hadeh… Lha gitu itu maksudnya apa?

Ulah-ulah orang-orang itu benarbenar bikin geleng-geleng kepala, dan bahkan menggelika­n.

Mereka orang dewasa. Kebanyakan berpendidi­kan. Banyak yang tergolong mampu. Tapi tetap memilih cara-cara seperti itu.

Dan kalau dipikir-pikir, bukankah itu cerminan banyak masyarakat Indonesia? Yang memilih jalan pintas –yang sering tidak terhormat– daripada bersusah-susah payah?

Bagi mereka-mereka itu, saya hanya bisa berdoa dan berharap. Semoga hati mereka dibuka, diberi kekuatan, supaya terpacu untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Supaya kelak tidak harus curang, tidak harus mencari jalan pintas.

Mau kuat? Ya latihan. Saya dulu juga tertatih-tatih kok kali pertama menanjak Bromo. Harus berhenti belasan kali sebelum benar-benar sampai ke atas. Tapi, waktu itu tidak mau menyerah. Harus bisa finis dengan kekuatan sendiri.

Saya tidak finis juga pernah saat latihan. Dan itu tidak apa-apa. Karena kaki sudah kram tidak mungkin dipaksakan lagi.

Saya juga berdoa dan berharap supaya event seperti Bromo 100 Km itu bisa menjadi pelajaran untuk tidak menjadi cyclist yang ’’manja’’. Yang ke mana-mana minta dikawal, membawa mobil pendamping.

Ikut event-event serupa di luar negeri, sepeda-sepedanya tidak seheboh atau semahal di Indonesia. Tapi, pesertanya mandiriman­diri, bisa mengganti ban sendiri atau menyelesai­kan masalah sendiri.

Semoga kelak di Indonesia juga sama. Karena itu cerminan masyarakat­nya juga. Yang tangguhtan­gguh, tidak manja-manja. Yang tidak mencoba mengakali situasi.

Selamat berlatih. Sampai jumpa di event berikutnya. Dan semoga di event berikutnya itu semua semakin kuat. Semangat! (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia