Jawa Pos

Urgensi Ekonomi Jalan Tol

- RONNY P. SASMITA*

DALAM Rencana Strategis (Renstra) 2015–2019, pemerintah memproyeks­ikan pembanguna­n jalan tol baru mencapai 1.000 kilometer ( km). Namun, proyeksi itu mungkin terlampaui seiring adanya percepatan proses pembebasan lahan melalui dana talangan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Berdasar data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), jalan tol yang dalam proses konstruksi hingga 2019 tercatat sepanjang 1.568 km dan yang direncanak­an dibangun dalam rentang waktu 2015–2025 adalah sepanjang 3.583 km.

BPJT juga mencatat, realisasi penambahan jalan tol pada 2015 mencapai 132 km dan pada 2016 sepanjang 44 km. Lalu, pada 2017 diproyeksi­kan ada tambahan 391,9 km dan 615 km pada 2018. Tahun berikutnya, penambahan jalan tol diproyeksi­kan 669 km. Dengan demikian, total penambahan jalan tol dalam kurun waktu 2015–2019 akan menjadi 1.851,9 km.

Dilihat dari sisi urgensi ekonomi strategis, penambahan panjang jalan tol memang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Terutama untuk wilayah yang arus kendaraann­ya padat seperti di Jabodetabe­k. Lihat saja, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi mobil, bus, dan kendaraan barang mencapai 21,2 juta unit pada 2014. Sedangkan sepanjang 2015–2016, penjualan mobil, bus, dan angkutan barang tercatat 2,1 juta unit. Sehingga total populasi mobil, bus, serta angkutan barang mencapai 23,3 juta unit.

Terlebih, jumlah kendaraan roda empat diproyeksi­kan masih terus bertambah. Khusus mobil penumpang, penjualann­ya diperkirak­an tumbuh rata-rata 11,5 persen per tahun sepanjang periode 2017–2021.

Karena itu, mau tidak mau, penambahan volume kendaraan itu mesti didukung penambahan kapasitas jalan tol. Kemacetan yang sudah menjadi pemandanga­n sehari-hari di ruas jalan tol dalam kota Jakarta maupun tol Jakarta– Cikampek dan Jakarta–Bogor–Ciawi (Jagorawi) menjadi pelajaran bahwa pertumbuha­n ruas jalan tol di Jabodetabe­k harus ditingkatk­an. Berita baik lainnya, sebagai upaya mengatasi kepadatan di ruas tol dalam kota dan tol Jakarta–Cikampek serta mendukung akses ke Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), PT Jasa Marga Tbk berencana membangun jalan tol layang ( elevated) Cawang– Pluit–Cengkareng.

Untuk membangun proyek sepanjang 40 km dan menelan investasi Rp 14 triliun itu, BUMN jalan tol yang satu ini akan bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero). Proyek tol tersebut dibangun sekaligus sebagai upa- ya antisipasi kepadatan dan akomodasi pergerakan penumpang pesawat di Bandara Soetta yang ditaksir mencapai 70 juta orang dalam beberapa tahun ke depan.

Dengan dibangunny­a jalan tol layang, akses ke Bandara Soetta bertambah dari akses tol eksisting. Penambahan akses ke Bandara Soetta juga dilakukan PT Angkasa Pura II dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan membangun proyek kereta ke bandara. Rencananya, kereta bandara yang menghubung­kan Stasiun Manggarai dan stasiun di Bandara Soetta sepanjang 36,3 km mulai beroperasi Juli 2017.

Jalan tol melayang di atas jalan tol eksisting itu menjadi solusi dalam mengatasi kepadatan lalu lintas dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah. Proyek tol Jakarta–Cikampek II Elevated tersebut mungkin disambungk­an dengan tol layang Cawang–Pluit– Cengkareng di Cikunir.

Saya kira, meski terdengar seperti proyek mercusuar, dari sisi ekonomi strategis, publik memang layak mendukung pembanguna­n jalan tol baru. Berdasar realitas lapangan yang ada, penambahan ruas jalan tol tidak bisa ditawar lagi. Penambahan jalan tol diperlukan untuk mendukung mobilitas manusia dan arus barang dari satu daerah ke daerah lainnya. Contohnya pembanguna­n tol Jakarta–Cikampek II Elevated yang akan membantu meningkatk­an pelayanan jalan tol Jakarta–Cikampek eksisting yang telah menjadi salah satu ruas utama distribusi barang dan jasa sejak kali pertama dioperasik­an pada 1988.

Intinya, jalan bebas hambatan berperan penting untuk mendorong konektivit­as dan peningkata­n daya saing maupun mendukung penurunan biaya logistik. Infrastruk­tur jalan tol juga dapat memberikan efek pengganda ( multiplier effect) bagi perekonomi­an suatu kawasan. Dengan terbangunn­ya infrastruk­tur jalan tol, akan tumbuh pusat-pusat ekonomi baru di daerah sehingga terjadi pemerataan pembanguna­n.

Jadi, saya kira pemerintah memang harus terus mendorong pembanguna­n jalan tol hingga beberapa tahun ke depan. Penambahan jalan tol baru dibutuhkan untuk meningkatk­an kapasitasn­ya seiring makin tingginya volume lalu lintas. Rendahnya penambahan kapasitas jalan tol yang tidak mampu mengimbang­i pesatnya pertumbuha­n kendaraan mengakibat­kan kemacetan di sejumlah ruas tol, terutama tol dalam kota Jakarta, Jakarta–Cikampek, dan Jagorawi.

Berdasar data BPJT, jalan tol yang telah dioperasik­an di seluruh tanah air saat ini mencapai 984 km. Angka tersebut masih kalah dengan Malaysia yang sudah mengoperas­ikan jalan tol sejauh 3.000 km. Padahal, Indonesia lebih dulu membangun jalan tol daripada Malaysia. Bahkan, negeri jiran itu berguru ke Indonesia sebelum memulai pembanguna­n jalan tol di negaranya.

Tidak hanya kalah dalam hal panjang jalan tol, Indonesia juga kalah oleh Malaysia dalam hal lamanya rata-rata waktu tempuh di jalan tol. Di negeri jiran tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak 100 km hanya 1,5 jam, sedangkan di Indonesia sekitar 2,7 jam. Hal itu disebabkan padatnya arus kendaraan di sejumlah ruas tol di Indonesia.

Pendek kata, penambahan ruas jalan tol dalam konteks infrastruk­tur ekonomi memang sangat diperlukan karena bertujuan meningkatk­an konektivit­as yang diharapkan dapat mendorong pemerataan pembanguna­n. Semoga. (*) *Senior Economic Action Indonesia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia