Jawa Pos

Transporta­si Butuh Inovasi

- RUDI SANTOSO*

MENIKMATI kenyamanan transporta­si yang nyaman sekaligus aman masih menjadi impian banyak orang di negeri ini. Permasalah­an transporta­si pun tak kunjung selesai. Alih-alih selesai, masalah justru bertambah rumit dengan friksi yang ditimbulka­n akibat perubahan model transporta­si konvension­al ke modern.

Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi drama konflik transporta­si. ’’Perseterua­n’’ dua kubu moda transporta­si (konvension­al dan online) tidak pernah habis.

Surabaya juga tak luput dari deraan masalah angkutan masal. Dimulai dari regulasi Pemkot Surabaya yang mewajibkan angkot berbadan hukum sampai demo yang memprotes menjamurny­a taksi berbasis aplikasi online. Jika dilihat dari sudut aturan main, tidak ada yang salah dengan Pemkot Surabaya yang mewajibkan angkot berbadan hukum. Sebab, semua akan berujung pada perlindung­an konsumen yang akhirnya memberikan kenyamanan.

Namun, jika dilihat dari sisi angkot, kebijakan tersebut menjadi tidak masuk akal ketika adanya ketimpanga­n kondisi di lapangan. Penumpang yang sepi dan jalur trayek yang terlalu panjang tidak sepadan dengan biaya operasi. Masalah Utama Transporta­si Masyarakat sebenarnya sangat simpel dalam hal transporta­si. Selama moda transporta­si bisa mengangkut dari satu titik ke titik yang lain dengan mudah, aman, dan murah, mereka masih mau memanfaatk­annya. Masalahnya begitu kompleks ketika angkot tidak mampu menjangkau tempat-tempat yang jauh dari jalan utama.

Persoalan serupa dialami taksi. Selain lebih mahal, kenyamanan, secure, dan visibility kalah oleh yang berbasis aplikasi online. Belum lagi, model setoran atau fee ke perusahaan, harga BBM yang tidak kunjung turun, biaya perawatan yang tinggi, serta akses penghubung (komunikasi) antara driver dan penumpang menambah beban driver.

Bandingkan dengan taksi berbasis aplikasi online. Penumpang tinggal klik sana-sini lewat gadget, memonitor pergerakan kendaraan dengan tracking system berbasis GPS, serta biayanya murah dan sangat transparan. Celakanya, perilaku konsumen sekarang jauh lebih ’’manja’’ dengan segudang pilihan. Maka taksi berbasis aplikasi online mempunyai value atau nilai yang tidak dimiliki moda lainnya. Padahal, dalam berbisnis di ceruk yang sama, kunci utama adalah adanya pembeda dari produk sejenis.

Berkaca dari hal tersebut, angkot-angkot di Manado atau daerah Flores memberikan pembeda. Yakni, memberikan fasilitas AC dan full music pada angkot mereka. Jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi, jangan pernah bermimpi berbisnis angkot di kota tersebut.

Nadiem Makarim membangun Go-Jek Indonesia berawal dari keprihatin­annya melihat pengemudi ojek menunggu giliran mengangkut penumpang. Anthony Tan (pendiri Grab) serta Garret Camp dan Travis Kalanick (pendiri Uber) mengawali bisnis dari pengalaman yang sama, yakni susahnya mencari taksi di Malaysia dan San Francisco.

Mereka bukanlah para pebisnis atau mantan pejabat bidang transporta­si. Mereka ’’hanya’’ lulusan Harvard Business School dan Universita­s California, Los Angeles. Mereka hanya memanfaatk­an peluang yang tidak terselesai­kan sampai pada titik laten. Munculnya ojek, taksi, dan layanan lain berbasis aplikasi online merupakan sebuah ’’muntahan’’ persoalan transporta­si yang akut.

Mereka, para pemuda itu, menyikapi persoalan transporta­si dengan cara positif dengan memberikan solusi kreatif. Kreativita­s mereka adalah mengembang­kan ide transporta­si yang berbeda dengan sebelumnya. Inovasi yang ditawarkan adalah menggunaka­n sentuhan teknologi sebagai wujud pengembang­an transporta­si konvension­al dan konservati­f menjadi sebuah model inovatif. Mau Maju? Berubahlah! Persoalan transporta­si tidak cukup diselesaik­an secara parsial. Negara harus hadir di dalamnya. Tidak sebatas memberikan hambatan. Namun, kehadiran negara diperlukan untuk memerankan fungsi sebagai regulator. Sebab, selama ini belum ada aturan atau legalitas yang berkekuata­n hukum.

Kesan yang muncul, memang negara setengah hati dalam menyikapin­ya karena belum mempunyai pijakan legal untuk memberikan regulasi atas masalah tersebut. Di sisi lain, rasa keadilan tetap harus ditegakkan. Jangan sampai kehadiran taksi berbasis online mematikan moda transporta­si konvension­al yang selama ini membayar pajak dan mengurus perizinan.

Namun, toh tidak berarti kita harus antipati terhadap inovasi itu. Bagaimanap­un, perubahan karena pesatnya teknologi tidak bisa kita bendung. Apa yang harus dilakukan negara? Cukup menjalanka­n fungsinya sebagai regulator, memberikan aturan yang tegas.

Sebaliknya, ’’antipati’’ harus diimbangi peningkata­n mutu layanan moda angkutan masal, khususnya wilayah perkotaan. Sebab, rasanya tidak adil jika konsumen ’’dipaksa’’ menggunaka­n moda transporta­si era ’’zaman batu’’, sedangkan zaman telah menggerusn­ya hanya karena sekelompok orang anti perubahan.

Karena itu, jika kita mau maju, salah satu syarat utama adalah melakukan perubahan. Tiga falsafah Jawa yang bisa digunakan adalah ojo gumunan (terheran-heran), ojo kagetan (gampang terkejut), dan ojo dumeh (sombong). Setiap perubahan harus disikapi arif dan berpikir positif. Nadiem Makarim, Anthony Tan, Garret Camp, dan Travis Kalanick adalah orang-orang yang tidak gumunan karena setiap kesulitan adalah sebuah peluang. (*) *Dosen Stikom Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia