Transportasi Butuh Inovasi
MENIKMATI kenyamanan transportasi yang nyaman sekaligus aman masih menjadi impian banyak orang di negeri ini. Permasalahan transportasi pun tak kunjung selesai. Alih-alih selesai, masalah justru bertambah rumit dengan friksi yang ditimbulkan akibat perubahan model transportasi konvensional ke modern.
Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi drama konflik transportasi. ’’Perseteruan’’ dua kubu moda transportasi (konvensional dan online) tidak pernah habis.
Surabaya juga tak luput dari deraan masalah angkutan masal. Dimulai dari regulasi Pemkot Surabaya yang mewajibkan angkot berbadan hukum sampai demo yang memprotes menjamurnya taksi berbasis aplikasi online. Jika dilihat dari sudut aturan main, tidak ada yang salah dengan Pemkot Surabaya yang mewajibkan angkot berbadan hukum. Sebab, semua akan berujung pada perlindungan konsumen yang akhirnya memberikan kenyamanan.
Namun, jika dilihat dari sisi angkot, kebijakan tersebut menjadi tidak masuk akal ketika adanya ketimpangan kondisi di lapangan. Penumpang yang sepi dan jalur trayek yang terlalu panjang tidak sepadan dengan biaya operasi. Masalah Utama Transportasi Masyarakat sebenarnya sangat simpel dalam hal transportasi. Selama moda transportasi bisa mengangkut dari satu titik ke titik yang lain dengan mudah, aman, dan murah, mereka masih mau memanfaatkannya. Masalahnya begitu kompleks ketika angkot tidak mampu menjangkau tempat-tempat yang jauh dari jalan utama.
Persoalan serupa dialami taksi. Selain lebih mahal, kenyamanan, secure, dan visibility kalah oleh yang berbasis aplikasi online. Belum lagi, model setoran atau fee ke perusahaan, harga BBM yang tidak kunjung turun, biaya perawatan yang tinggi, serta akses penghubung (komunikasi) antara driver dan penumpang menambah beban driver.
Bandingkan dengan taksi berbasis aplikasi online. Penumpang tinggal klik sana-sini lewat gadget, memonitor pergerakan kendaraan dengan tracking system berbasis GPS, serta biayanya murah dan sangat transparan. Celakanya, perilaku konsumen sekarang jauh lebih ’’manja’’ dengan segudang pilihan. Maka taksi berbasis aplikasi online mempunyai value atau nilai yang tidak dimiliki moda lainnya. Padahal, dalam berbisnis di ceruk yang sama, kunci utama adalah adanya pembeda dari produk sejenis.
Berkaca dari hal tersebut, angkot-angkot di Manado atau daerah Flores memberikan pembeda. Yakni, memberikan fasilitas AC dan full music pada angkot mereka. Jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi, jangan pernah bermimpi berbisnis angkot di kota tersebut.
Nadiem Makarim membangun Go-Jek Indonesia berawal dari keprihatinannya melihat pengemudi ojek menunggu giliran mengangkut penumpang. Anthony Tan (pendiri Grab) serta Garret Camp dan Travis Kalanick (pendiri Uber) mengawali bisnis dari pengalaman yang sama, yakni susahnya mencari taksi di Malaysia dan San Francisco.
Mereka bukanlah para pebisnis atau mantan pejabat bidang transportasi. Mereka ’’hanya’’ lulusan Harvard Business School dan Universitas California, Los Angeles. Mereka hanya memanfaatkan peluang yang tidak terselesaikan sampai pada titik laten. Munculnya ojek, taksi, dan layanan lain berbasis aplikasi online merupakan sebuah ’’muntahan’’ persoalan transportasi yang akut.
Mereka, para pemuda itu, menyikapi persoalan transportasi dengan cara positif dengan memberikan solusi kreatif. Kreativitas mereka adalah mengembangkan ide transportasi yang berbeda dengan sebelumnya. Inovasi yang ditawarkan adalah menggunakan sentuhan teknologi sebagai wujud pengembangan transportasi konvensional dan konservatif menjadi sebuah model inovatif. Mau Maju? Berubahlah! Persoalan transportasi tidak cukup diselesaikan secara parsial. Negara harus hadir di dalamnya. Tidak sebatas memberikan hambatan. Namun, kehadiran negara diperlukan untuk memerankan fungsi sebagai regulator. Sebab, selama ini belum ada aturan atau legalitas yang berkekuatan hukum.
Kesan yang muncul, memang negara setengah hati dalam menyikapinya karena belum mempunyai pijakan legal untuk memberikan regulasi atas masalah tersebut. Di sisi lain, rasa keadilan tetap harus ditegakkan. Jangan sampai kehadiran taksi berbasis online mematikan moda transportasi konvensional yang selama ini membayar pajak dan mengurus perizinan.
Namun, toh tidak berarti kita harus antipati terhadap inovasi itu. Bagaimanapun, perubahan karena pesatnya teknologi tidak bisa kita bendung. Apa yang harus dilakukan negara? Cukup menjalankan fungsinya sebagai regulator, memberikan aturan yang tegas.
Sebaliknya, ’’antipati’’ harus diimbangi peningkatan mutu layanan moda angkutan masal, khususnya wilayah perkotaan. Sebab, rasanya tidak adil jika konsumen ’’dipaksa’’ menggunakan moda transportasi era ’’zaman batu’’, sedangkan zaman telah menggerusnya hanya karena sekelompok orang anti perubahan.
Karena itu, jika kita mau maju, salah satu syarat utama adalah melakukan perubahan. Tiga falsafah Jawa yang bisa digunakan adalah ojo gumunan (terheran-heran), ojo kagetan (gampang terkejut), dan ojo dumeh (sombong). Setiap perubahan harus disikapi arif dan berpikir positif. Nadiem Makarim, Anthony Tan, Garret Camp, dan Travis Kalanick adalah orang-orang yang tidak gumunan karena setiap kesulitan adalah sebuah peluang. (*) *Dosen Stikom Surabaya