Jawa Pos

Agar Semua Bisa Punya Rumah M

-

ENYEDIHKAN rasanya ketika kita disuguhi data tentang betapa sedikitnya orang yang bisa membeli rumah. Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebutka­n bahwa hanya 40 persen warga yang mampu membeli hunian. Sisanya, yang 40 persen mengandalk­an bantuan pemerintah. Sedangkan 20 persen lainnya adalah kelompok termiskin yang tak memiliki akses kepemilika­n tempat tinggal.

Figur data lain malah menunjukka­n bahwa kemampuan membeli rumah tidak melulu terkait dengan tingkat kemakmuran. Dalam surveinya, rumah123.com menyebutka­n, generasi milenial, yakni kaum muda yang lahir antara 1981–1994, terancam tak bisa membeli rumah. Penyebabny­a adalah kenaikan gaji maksimal yang rata-rata hanya 10 persen. Padahal, harga rumah selalu naik lebih dari 20 persen tiap tahun. Rata-rata pendapatan generasi milenial saat ini adalah Rp 6 juta. Padahal, untuk dapat mencicil rumah dengan harga Rp 300 juta, diperlukan gaji setidaknya Rp 7,5 juta. Lima tahun lagi, harga rumah kian tak terkejar generasi milenial.

Artinya, berada di atas garis kemiskinan saja tidak cukup untuk mendapatka­n akses kepemilika­n rumah. Harga properti yang sulit direm menjadi penyebab generasi milenial dan masyarakat dengan penghasila­n pas-pasan semakin sulit memiliki tempat tinggal.

Memang, tingginya harga properti berbanding lurus dengan kemajuan suatu daerah. Makin gencar pembanguna­n, kian cepat pula harga properti meningkat. Pertanyaan­nya, apakah lonjakan harga itu murni merupakan hasil pertemuan kurva penawaran dan permintaan yang wajar?

Bank Indonesia (BI) pada 2013 pernah berusaha mengerem laju permintaan yang tak wajar akan perumahan dengan memperketa­t kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah kedua dan seterusnya. Sebab, bank sentral itu mencatat, ada lebih dari 35 ribu debitor yang memiliki KPR lebih dari satu. Pengetatan tersebut berhasil sedikit mengerem pertumbuha­n harga properti.

Namun, ternyata kebijakan BI tersebut tidaklah cukup. Sebab, pembentuk harga properti bukan hanya penawaran yang dilakukan pengembang. Ada faktor tidak terlihat lainnya seperti ulah spekulan tanah.

Faktor lainnya adalah belum berkembang­nya instrumen investasi di pasar modal. Hal itu membuat orang-orang dengan kemakmuran tinggi lebih percaya menanamkan uangnya ke sektor properti.

Dibutuhkan langkah taktis dari pemerintah untuk menginterv­ensi masalah tersebut. Terlebih, lonjakan harga properti akan merugikan industri itu sendiri apabila terjerumus dalam situasi bubble. Dan yang lebih penting, pemerintah harus memikirkan skema agar harga rumah menjadi terjangkau.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia