Jawa Pos

Distop karena Anak Telantar gara-gara ASI Dijual

Belitan kemiskinan membuat ibu-ibu Kamboja tersebut rela melakukan segala hal asal bisa menghasilk­an uang. Termasuk menjual air susu ibu alias ASI yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan bayibayi mereka.

-

KINI pemerintah Kamboja menghentik­an praktik yang melibatkan perusahaan Amerika Serikat (AS), Ambrosia Labs, itu. ”Saya kecewa,” kata Chea Sam. Dia merupakan satu di antara sekitar 20 ibu yang menjadi pe- masok ASI Ambrosia Labs. Selama ini, perusahaan AS yang berkantor pusat di Negara Bagian Utah tersebut menjadi semacam calo ASI. Ambrosia Labs menampung ASI Chea Sam dan teman-temannya untuk kemudian dibekukan dan dikirim ke Negeri Paman Sam.

Di AS, ASI asal Kamboja, tepatnya Kota Phnompenh, itu lantas dipasteuri­sasi dan dikemas ulang. Tiap kemasan berisi sekitar 147 mililiter ASI atau sekitar satu botol susu berukuran tanggung. Harganya berkisar USD 20 atau sekitar Rp 266 ribu. Konsumen ASI kemasan tersebut juga kaum ibu. Sebagian besar di antaranya adalah ibu yang punya bayi dan tidak mampu menghasilk­an ASI, tapi mengingink­an asupan gizi terbaik untuk bayinya.

Bagi ibu-ibu AS yang tidak bisa memberikan ASI kepada bayi mereka, ASI kemasan yang ditawarkan Ambrosia Labs merupakan solusi. Karena itu, mereka bersedia membelanja­kan uang dalam jumlah besar untuk memborong ASI asal Kamboja tersebut. Sebenarnya, yang kemudian terjadi adalah simbiosis mutualisme. Ibu-ibu AS mendapatka­n ASI, sedangkan ibu-ibu Kamboja mendapatka­n uang.

Namun, permintaan yang kian bertambah membuat ibu-ibu Kamboja harus memilih antara bisnis dan bayi mereka. Bila mereka memilih bisnis, sudah jelas bayi mereka akan telantar. Sebab, ASI yang menjadi hak bayi dan anak mereka malah diberikan kepada orang lain agar mendapatka­n imbalan uang. Gejala pengabaian anak kandung itulah yang lantas memaksa pemerintah me- nerbitkan larangan ekspor ASI.

”Di Kamboja, pemberian ASI eksklusif turun dari angka 75 persen pada 2010 menjadi 65 persen pada 2014. Dan, tren itu terus turun,” kata Debora Comini, perwakilan UNICEF di Kamboja. Dia menduga, salah satu penyebabny­a adalah komersiali­sasi ASI seperti yang Chea Sam lakukan selama ini. Maka, UNICEF menyambut baik larangan ekspor ASI oleh pemerintah kemarin (28/3).

Comini menyatakan, aktivitas memompa ASI di ibu kota Kamboja tetap tinggi. Namun, grafik bayi kurang gizi juga menanjak karena para ibu menjual ASI mereka. ”Saya memompa ASI enam hari per minggu. Dari penjualan ASI hasil pompa itu, saya mendapat sekitar 30.000 riel sampai 40.000 riel (setara dengan Rp 99–133 ribu) per hari,” kata Chea Sam.

Kepada media, perempuan 30 tahun itu menyatakan bahwa ekonomi keluargany­a sangat terbantu setelah dia menjadi pemasok ASI Ambrosia Labs. Tepatnya tiga bulan lalu setelah dia melahirkan putranya. ”Saya miskin. Menjual ASI membuat saya bisa memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.

Pemerintah menegaskan bahwa Kamboja memang negara miskin. Kendati demikian, menjual ASI bukanlah solusi. ”Hidup kita memang susah. Tapi, kita tidak perlu sampai menjual ASI seperti ini,” terang salah seorang petinggi pemerintah­an. Di sisi lain, Chea Sam dan sekitar 20 temannya tetap menganggap komersiali­sasi ASI merupakan bisnis yang paling menjanjika­n. (AFP/Reuters/ BBC/hep/c21/any)

 ?? AFP PHOTO ?? MAHAL: ASI yang diperoleh dari ibu-ibu di Kamboja dipasteuri­sasi dan dikemas. Satu botol dijual Rp 266 ribu.
AFP PHOTO MAHAL: ASI yang diperoleh dari ibu-ibu di Kamboja dipasteuri­sasi dan dikemas. Satu botol dijual Rp 266 ribu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia