Nginap di Polsek karena Sulitnya Akses
Umumnya penyusunan buku membutuhkan waktu yang tidak sebentar sehingga data dan informasi bisa disajikan mendalam. Berbeda dengan buku berjudul Peta Budaya Trenggalek yang digagas Dewan Kesenian (DK) Trenggalek.
KUMPULAN data mengenai seni budaya di suatu wilayah boleh dibilang langka atau jarang dibukukan. Padahal, adanya data tersebut tentu mempermudah diperoleh informasi mengenai kekayaan dalam bidang seni di suatu daerah. Itulah yang menjadi latar belakang penerbitan buku bertajuk Peta Budaya Trenggalek ini.
’’Ada belasan aktivis literasi yang terjun ke lapangan menggali data tentang seni budaya ini,’’ ungkap Nurani Soyomukti, editor buku itu, kemarin (28/3).
Sambil membolak-balik buku setebal 412 halaman tersebut, Nurani menjelaskan mengenai perjalanan hingga terciptanya buku tersebut. Mulai minimnya waktu yang hanya 20 hari hingga susahnya mencari data yang dialami aktivis relawan di Trenggalek.
Ada 14 relawan atau aktivis, ungkap Nurani, yang diterjunkan dalam penggalian data budaya di Trenggalek. Mereka, tambah dia, dibagi per kecamatan untuk menginventaris kekayaan budaya di daerah tersebut. Baik pelaku seni budaya dalam bentuk perorangan maupun kelompok, situs-situs bersejarah, hingga upacara adat yang ada di daerah tersebut.
Dalam prosesnya, sempat terjadi perbedaan pendapat antartim mengenai kualifikasi seniman atau orang yang layak dicatat dalam buku tersebut. Namun, karena seni budaya bersifat dinamis, akhirnya semua data pelaku seni dicantumkan. Baik mereka yang masih aktif maupun yang tidak lagi berkecimpung dalam dunia seni. ’’Semua kami data karena mereka semua adalah pelaku seni budaya juga,’’ terang Nurani.
Namun, menurut dia, yang paling berat dalam penyusunan buku tersebut adalah waktu yang sangat mepet. Hal itu berdampak kepada tahap editing. Itu pun bukan persolan mudah. Harus ada tindak lanjut dari tim editor untuk melengkapi data guna menyempurnakan penyusunan buku tersebut.
’’Untung, dalam buku ini ditekankan mempermudah mencari kekayaan seni budaya di daerah. Jadi, sejak awal memang ditekankan lengkap, baik alamat maupun kontak yang bisa dihubungi,’’ ungkapnya.
Di sisi lain, pihaknya memaklumi usaha yang dilakukan para relawan literasi tersebut. Sebab, mencari data lingkup kecamatan seorang diri bukan hal mudah. Bahkan, jelas Nurani, tidak jarang mereka harus menginap di lokasi pencarian data karena medan atau lokasi yang cukup jauh dari tempat tinggal.
’’ Itu benar. Timbang bolak-balik, ada yang menginap di polsek. Kami tahu karakter wilayah ini demikian sulit aksesnya,’’ terang Nurani.
Langkah itu dirasa cukup kreatif. Sebab, lanjut dia, dengan begitu upaya yang dilakukan lebih efektif dan efisien.
Bukan hanya persoalan biaya akomodasi, namun juga waktu dan peluang atau data tambahan yang mungkin bisa didapat dengan berlama-lama berada di wilayah tersebut. Selain mendapat data mengenai kekayaan budaya di Tenggalek, ujar Nurani, tim melihat kurangnya perhatian dari pemerintah kepada pelaku seni budaya di Trenggalek. Itu dibuktikan dengan seringnya tim mendapat keluhan.
Bahkan, sudah akrab di telinga relawan literasi ini pertanyaan berujung duit dari penggiat budaya di Kota Keripik Tempe. ’’Apa nanti ada bantuan untuk kami?’’ ucap Nurani menirukan pertanyaan sumber data kepada para aktivis literasi saat penggalian data. (*/and/c4/diq)