Hoax-Ujaran Kebencian Melonjak
Polisi Prioritaskan Yang Viral Ditindak
JAKARTA – Direktorat Tindak Pidana (Dittipid) Siber Bareskrim memastikan, kejahatan siber terus meningkat di Indonesia. Yang paling menonjol adalah adanya ujaran kebencian ( hate
speech) dan berita hoax alias informasi tidak benar.
Sesuai data Bareskrim, pada 2015 kejahatan siber berupa ujaran kebencian mencapai 143 kejadian. Namun, pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 199. Pada 2015 juga terjadi 66
communication fraud atau penipuan komunikasi. Lalu, naik drastis menjadi 122 communi
cation fraud pada 2016. Kasubdit II Dittipid Siber Bareskrim Kombespol Himawan Bayu Aji mengungkapkan, ada beberapa jenis communication
fraud. Di antaranya, hoax dan penipuan bermotif ekonomi. ”Untuk 2016 itu peningkatan sebagian karena adanya berita hoax,” jelasnya.
Untuk ujaran kebencian, pada 2016 memang ada peningkatan 56 kejadian di dunia maya. Peningkatan ujaran kebencian tersebut mungkin terdampak kondisi politik. ”Semua itu menunjukkan pentingnya penanganan kejahatan siber. Apalagi, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 129 juta orang,” paparnya.
Sebenarnya kejahatan siber belakangan ini disulut keberadaan buzzer atau pengguna internet yang berupaya meningkatkan suatu isu atau produk. ”Dulu buzzer itu digunakan untuk melakukan promosi marketing,” jelasnya.
Namun, menghangatnya suhu politik ternyata membuat buzzer digunakan untuk kepentingan politik. Dengan begitu, berbagai isu diusung para buzzer. ”Banyak yang kemudian tidak hanya memviralkan sebuah program politik. Tapi, juga membuat isu negatif untuk lawan politik,” terangnya.
Saat ini, lanjut Himawan, begitu banyak orang yang menggunakan internet secara berlebihan. Jumlahnya bisa ratusan ribu orang. ”Apakah semuanya akan ditindak, tentu tidak bisa semuanya langsung diproses hukum,” jelasnya.
Karena itu, Polri berupaya mengedepankan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada keadilan bagi pelaku dan korban. Bila hoax atau ujaran kebencian itu dilontarkan tapi tidak viral, proses hukum tidak diprioritaskan. ”Namun, berbeda bila ternyata viral dan membuat banyak orang melakukan sesuatu. Itu kami prioritaskan untuk ditindak,” tegasnya.
Yang pasti, sambung dia, masyarakat perlu dididik dalam menggunakan media sosial. Sebab, selama ini penggunaan media sosial belum disertai dengan kesadaran hukum. ”Sehingga rentan sekali melakukan pidana saat berada di media sosial,” lanjutnya. (idr/c7/oki)