Manfaatkan Botol Bekas dan Sandal Jepit untuk Sasaran Tendangan
Muhammad Khirom terkesan dengan semangat berlatih anak-anak di Republik Afrika Tengah yang tinggi kendati dijepit perang dan kemiskinan. Juga selipkan pesan persaudaraan dan anti-konflik.
MONIC GRACIA, SURABAYA
’’SAMBUTAN’’ di salah satu sudut Bangui tidak dinyananyana Muhammad Khirom. Warga dengan sukarela membongkar blokade jalan dan mempersilakan Khirom dan koleganya dari Pasukan Garuda lewat.
’’Serentak teman-teman (sesama tentara Indonesia) kaget mengapa mereka sangat baik kepada kami orang Indonesia. Lebih kagetnya lagi, mereka meneriakkan nama saya,’’ kenang Khirom tentang kejadian sekitar dua tahun lalu di ibu kota Republik Afrika Tengah tersebut.
Ternyata, perlakuan ramah dari warga Bangui itu tidak terlepas dari kontribusi serda (mar) Yon ZEI I Marinir Kompi Zipur B Karang Pilang Surabaya, itu kepada mereka, khususnya anak-anak: mengajarkan taekwondo. Di negara yang dihajar perang saudara berkepanjangan sejak 2004, yang lantas menjulur menjadi pembersihan etnis, ter- sebut uluran tangan sederhana seperti yang dilakukan Khirom pun menjadi sangat berarti.
Pria yang lahir 7 Mei 1976 itu memang pernah menjadi taekwondoin berprestasi. Dia meraih emas di PON 2000 dan masuk kontingen taekwondo Indonesia di SEA Games 2001.
’’Meski suasananya perang, saya senang berinteraksi dengan warga. Saya bisa memberi mereka kegiatan untuk mendinginkan suasana konflik,’’ tutur ayahanda Imatus Sholicha, 15, dan Muhammad Sya’roni, 11, itu.
Khirom tergabung dengan Pasukan Garuda XXXVII yang bertugas di Republik Afrika Tengah pada 22 Mei 2014 hingga 31 Agustus 2015. Selain ditugaskan di Bangui, pria kelahiran Sidoarjo itu bersama rekan- rekan juga di Bouar, Berberati, dan beberapa kota yang lain.
Nah, di kota-kota yang disinggahi di negeri bekas jajahan Prancis tersebut, Khirom berbagi ilmu bela diri asal Korea yang dikuasainya. Dia tidak ingat persis berapa jumlah anak didiknya di semua kota tersebut. Yang pasti mencapai ratusan.
’’Saat saya mengajar, saya melihat banyak bakat atlet bela diri pada anak-anak itu. Otot mereka bagus karena mereka jarang makan makanan berlemak. Di sana makanan yang menjadi konsumsi mereka adalah umbiumbian sebagai makanan pokok,’’ jelas Khirom.
Tentu saja banyak kendala. Perang berkepanjangan mengakibatkan Republik Afrika Tengah terpuruk. Mereka masuk daftar sepuluh negara termiskin dunia. Human Development Index pada 2015 juga menempatkan negara tetangga Chad itu di posisi terbawah di antara 188 negara dalam kaitan dengan level pembangunan manusia.
Khirom pun akhirnya memanfaatkan peralatan sederhana dalam mengajar. Untuk sasaran tendangan, misalnya, dia menggunakan botol bekas minuman dan sandal jepit.
’’Saya juga pakaikan rompi antipeluru sebagai pelindung agar tidak sakit ketika kena tendang,’’ kenangnya.
Usia murid asuhnya beragam. Banyak di antara mereka yang yatim piatu karena orang tuanya menjadi korban perang. Tetapi, yang sangat dikenang Khirom, dengan berbagai keterbatasan itu, semangat mereka untuk berlatih sangat tinggi.
Padahal, lapangan latihannya berdebu dan berkerikil. Juga di bawah sengatan matahari yang bisa mencapai 40 derajat Cel sius. Mereka tidak pernah sekali pun mengeluh, baik saat panas atau ketika diguyur hujan deras.
Karena mayoritas muridnya belum tahu apa taekwondo itu, Khirom membuka latihan dengan menunjukkan video taekwondo di handphone miliknya. ’’Saya juga memperlihatkan foto-foto saya saat masih menjadi atlet nasional Indonesia. Dari situ mereka menjadi tertarik untuk ingin bisa,’’ ujar pria yang mengawali kiprahnya di taekwondo pada 1993 itu.
Untuk masalah bahasa, Khirom ke mana-mana membawa catatan kecil. Tiap kosakata baru yang dia dapat dia tulis agar tidak lupa. Sesekali juga tertolong apabila ada mahasiswa setempat yang bisa berbahasa Inggris membantu menerjemahkan kata-kata.
Bagi warga Afrika Tengah, mereka merasa lebih kuat jika menguasai bela diri daripada mempunyai senjata. Kultur itu pula yang menjadikan film laga yang dibintangi Jackie Chan dan Jet Li sangat populer.
Tetapi, menurut Khirom, tujuan utama dirinya mengajar taekwondo bukan untuk bela diri, apalagi berkelahi. ’’Saya hanya ingin merangkul mereka serta mengajarkan arti sportivitas dan persaudaraan agar tidak terjadi konflik lagi,’’ ujarnya. (*/c4/ttg)