Jawa Pos

Pengalaman Pribadi untuk Motivasi Pasien Bandel

Para mantan pasien tuberkulos­is berhimpun dalam satu komunitas bernama Rekat. Pengalaman mereka ketika mengidap penyakit mematikan tersebut menjadi bekal untuk memotivasi para penderita agar semangat meminum obat yang luar biasa banyak.

-

TIGA gazebo di RSUD dr Soetomo siang itu penuh oleh orang-orang yang memakai masker. Satu gazebo rata-rata berisi 8 hingga 15 orang. Mata mereka terlihat sayu. Polah mereka juga tidak trengginas. Ya, orang-orang tersebut adalah para pasien tuberkulos­is yang selesai minum obat di Poli TB-MDR RSUD dr Soetomo.

Saban hari para pasien tersebut wajib datang ke rumah sakit milik pemprov itu. Tujuannya hanya untuk minum obat. Jangan salah, obat yang mereka konsumsi tidak cukup satu atau dua tablet. Tapi, satu genggaman. Jumlahnya bisa 15 sampai 24 tablet.

Efeknya luar biasa. Tidak sekadar rasa pahit di lidah. Namun, ada dampak lain seperti orang teler, mulai kepala pusing hingga mata berkunang-kunang

Konsumsiny­a tidak sehari-dua hari saja. Tapi, setiap hari dalam kurun waktu berbulan-bulan.

Nah, rutinitas meminum obat itulah yang sering membuat para pasien TB putus asa. Tidak jarang, mereka mogok di tengah jalan, lalu pasrah dengan keadaan. Sejumlah pasien menilai bahwa apa yang dialaminya adalah suratan tangan. Bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui. Ada juga yang tidak kuat dengan beratnya meminum obat, lalu berbelok ke pengobatan alternatif. Tidak jarang, kondisinya malah semakin ngedrop.

Nah, untuk menghadapi para pasien semacam itulah, petugas medis di RSUD dr Soetomo kerap meminta bantuan para aktivis Rekat. Tidak ada kepanjanga­n dari nama komunitas tersebut. Rekat lebih berarti guyub atau akrab. Setidaknya, para mantan pasien itu merasa satu rasa dengan mereka yang belum sembuh. Selama ini, para aktivis tersebut harus menyemanga­ti pasien agar tidak putus asa di tengah jalan. Abu Bakar, 59, contohnya.

Abu akrab dengan TB sejak 2008. ”Awalnya, saya batuk tidak berhenti selama tiga bulan. Saya ke dokter dan diberi obat. Sembuh,” tutur Abu.

Tiga bulan kemudian, batuk berdahak tersebut kembali muncul. Pria kelahiran 7 April 1957 itu kembali ke dokter yang sama dan diberi obat yang sama pula. Sebagaiman­a pengobatan yang pertama. Dia memang sembuh. Sayang, tidak lama kemudian, penyakitny­a kembali kambuh. Karena sudah tahu obat yang diberikan, Abu hanya membeli obat tanpa memeriksak­an diri lagi ke dokter.

Namun, dia kembali sakit. Dia divonis TB, tetapi tanpa pemeriksaa­n dahak dan rontgen. Dia diberi obat TB reguler. ”Saya menyelesai­kan pengobatan selama enam bulan dan dinyatakan selesai tanpa pemeriksaa­n rontgen dan dahak. Saat pemeriksaa­n terakhir, dokter mengatakan kalau kambuh lagi, harus ke rumah sakit paru,” kenang pria berkacamat­a itu.

Benar. Dia kembali kambuh. Dia pun kontrol ke rumah sakit paru sesuai dengan saran dokter. Sayang, antrean begitu panjang, Abu memutuskan untuk pergi ke RSUD dr Soetomo.

Awal Desember 2009, dahaknya diperiksa. Waktu itu, untuk mengetahui hasil pemeriksaa­n dahak, dibutuhkan waktu empat bulan. Setelah hasilnya keluar, dia dinyatakan positif TB-MDR (TB resisten). ”Saya tidak bisa melupakan tanggalnya, 20 Maret 2010,” ucap Abu. Saat itu, Abu termasuk pengidap TB-MDR pertama di rumah sakit di Jalan Karangmenj­angan itu. ”Saya diberi obat lima jenis. Jumlahnya sekali minum 24,5 obat dan harus dihabiskan dalam satu jam,” tutur pria asal Lampung tersebut.

Belum lagi obat yang harus disuntikka­n. Saat pengobatan pertama, Abu merasakan pusing yang teramat sangat. Dia mengibarat­kan dunia seperti dibolak-balik. Lima belas hari pertama, dia harus menginap di rumah sakit. Menurut dokter, hal itu bertujuan untuk observasi efek samping obat.

Dua bulan pemberian obat, Abu sudah merasakan efeknya. Pendengara­nnya menurun. Bulan ketiga, dia linglung dan mulai berhalusin­asi. Psikiater pun harus turun tangan. ”Saya pernah pulang dari rumah sakit malah masuk rumah orang lain,” ucapnya.

Tak kuat dengan penderitaa­n tersebut, Abu pernah punya pikiran untuk bunuh diri. Abu kalut. Tubuhnya merasa tidak kuat oleh reaksi obat. Dia ingin berhenti. Namun, jika berhenti, keluargany­a mengancam akan pergi. Dilematis.

Abu merasa terpukul saat bulan ke-15 pengobatan. Obatnya mulai memberikan efek pada kejantanan­nya. Dia tidak bisa ereksi. Efek itu membuatnya kembali ingin meninggalk­an pengobatan. Dokter spesialis paru menyaranka­nnya berobat kepada ahli andrologi. ”Namun, semua itu ternyata bisa ditangani. Kami jalani saja pengobatan­nya. Buktinya, saya sembuh,” tutur Abu.

Setelah menyelesai­kan pengobatan selama 19 bulan 20 hari, Abu sembuh. Dia bersyukur luar biasa. Karena itu, hari-hari setelahnya dia bertekad untuk membantu sesama pasien. Setidaknya menguatkan mereka agar mampu menghadapi ujian berat meminum obat tersebut.

Kini, tim medis sering memintanya untuk menjadi motivator pasien yang bandel. ”Kalau ada yang tidak mau melanjutka­n pengobatan, biasanya diserahkan ke saya. Apalagi kalau keluhannya karena kebanyakan obat,” katanya.

Kepada para pasien, Abu terus merayu. Jangan sampai mereka patah arang. Dia meyakinkan bahwa segala jenis penyakit bisa disembuhka­n asal manusia mau berusaha sekuat tenaga.

Cerita lain datang dari Sismiati. Sudah dua tahun ini, Sismiati dinyatakan negatif dari TB. Sismiati dahulu sempat mengecap pendidikan kedokteran. ”Sehingga saya tahu kalau saya TB. Saya pun mematuhi pengobatan yang harus dijalani,” tuturnya. Dia ingin sembuh karena ingat keluarga. Upaya tersebut dilakukan karena tidak mengingink­an anggota keluargany­a tertular.

Ditemui di tempat yang sama, Ketua Rekat Misnarti menyatakan bahwa yayasannya menerima anggota dari semua orang yang peduli soal TB. Awalnya, perkumpula­n tersebut didirikan oleh paguyuban pasien TB-MDR.

Lambat laun, anggota komunitas itu bertambah. ”Saya sendiri bergabung lantaran merasa terpanggil untuk menemani pasien TB,” ucap ibu rumah tangga tersebut. Walaupun berdekatan dengan pasien TB, Mis, sapaan Misnarti, selalu menjaga diri. Salah satunya memakai masker dan berusaha tidak berbicara berhadap-hadapan dengan pasien TB. ”Sebenarnya, kuman TB itu jika terkena matahari selama 20 detik saja sudah mati,” katanya. Itulah yang menurutnya merasa aman.

Mis sangat sedih dengan diskrimina­si yang sering diterima pasien TB. Bahkan, saat pasien tersebut dinyatakan sembuh, masyarakat di sekitarnya tetap menjauh karena tidak ingin tertular. Lantaran terdiskrim­inasi dari lingkungan­nya, tidak sedikit yang sampai hengkang dari pekerjaan yang digelutiny­a. Tentu mengenaska­n bila penderita tadi menjadi tulang punggung keluarga. ”Yang tidak bisa saya lupa itu ketika ada pasien yang makan pun tidak bisa karena tidak punya uang,” tutur Mis.

Dia beberapa kali menemui pasien yang demikian. Padahal, saat pengobatan, dibutuhkan makanan yang cukup banyak. Salah satu obat TB membuat asam lambung cepat naik. Karena itu, kondisi lambung tidak boleh kosong. Menghadapi itu, Mis berusaha keras. Dia harus telaten meyakinkan para pasien untuk telaten meminum obat.

Orang-orang seperti Abu dan Mis sepertinya memang perlu diduplikas­i. Sebab, lewat perjuangan­nya, para penderita TB bisa sembuh, berkumpul dengan keluarga, dan kembali bersemanga­t menjalani kehidupan. (*/c6/git)

 ?? FERLYNDA/JAWA POS ??
FERLYNDA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia