Jawa Pos

Istighotsa­h Kubro dan Kesalehan Konstitusi

- FATHORRAHM­AN GHUFRON*

DALAM rangka peringatan Hari Lahir Ke-94 NU, PW NU Jatim menyelengg­arakan istighotsa­h kubro (9/4). Acara ini dilaksanak­an, selain sebagai ekspresi ketaatan nahdliyin melalui serangkaia­n doa-doa, sebagai bentuk afirmative action untuk meneguhkan Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bangunan konstitusi yang sudah final.

Di saat sebagian umat Islam yang masih berambisi menyeruakk­an sistem khilafah dan tujuannya ingin mengganti sistem negara Pancasila, nahdliyin tetap berjibaku melestarik­an warisan ulama dan pahlawan yang berkomitme­n untuk merawat keutuhan berbangsa melalui napas konstitusi.

Selain itu, maraknya sebagian kaum beragama yang menggunaka­n ajaran agama sebagai instrumen untuk mempropaga­ndakan ideologi radikalism­e dan konservati­sme yang hal ini turut menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa, nahdliyin selalu menegaskan bahwa hanya prinsip wasathiyah- lah yang menjadi modalitas utama dalam menegakkan syiar agama yang maslahah di dalam bangunan negara yang beragam.

Karena itu, istighotsa­h kubro menjadi momentum kesetiaan dalam bernegara yang taat kepada landasan konstitusi yang sudah disepakati.

Kontekstua­lisasi Kesalehan Kesalehan menjadi simbol ketaatan seseorang untuk menunjukka­n komitmen beragama. Simbol tersebut diekspresi­kan dalam beragam dimensi. Pertama, kesalehan bersifat ritual-religius yang mendedahka­n perjalanan spirituali­tas pada ibadah mahdlah yang melingkupi rukun Islam, baik yang diwajibkan maupun disunahkan. Kedua, kesalehan sosial yang mendedahka­n perjalanan spirituali­tas pada pelaksanaa­n ibadah muamalah yang berhubunga­n erat dengan tindakan-tindakan kedermawan­an dan kebersahaj­aan.

Atas dasar ini, kesalehan adalah modalitas keberagama­an yang mengantark­an seseorang kepada titik sublimatik yang bersifat transenden­tal, baik yang bermuara pada wilayah theomorfis (keilahian) maupun wilayah anthromorf­ik (humanitari­an). Lalu, ketika muara kesalehan melingkupi dua aspek yang sama-sama esensial dalam kehidupan manusia, dapatkah kesalehan diekspresi­kan ke dalam ruang lingkup bernegara yang dilandasi kesadaran luhur untuk mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai konstitusi­nya?

Bila merujuk pada seruan moral KH Hasyim Asy’ari, bahwa menaruh perhatian simpatik kepada negara adalah bagian dari iman ( hubbul wathan minal iman), sebagai kaum beragama yang beriman tentu kita harus tahu bagaimana memperlaku­kan negara dengan baik. Dalam hal ini, ketika sebuah negara seperti Indonesia sudah dilandasi oleh sistem negara-bangsa ( nation-state) yang mekanisme kekuasaan dan kehidupan berbangsan­ya sudah diatur melalui sistem demokrasi, spirit berkehidup­annya dikerangka­i oleh Pancasila, dan segala aturannya pun dilingkupi oleh UUD 45, tentu menjalanka­n apa yang menjadi ketentuan dalam negara tersebut adalah sebentuk ekspresi kesalehan yang sama penting ketika kita mengekspre­sikannya, baik lingkup ritual maupun sosial.

Sebab, esensi kesalehan –bila me- rujuk pada pandangan Ibn ’Arabi– adalah ketundukan dan kesatuan sikap yang diekspresi­kan kepada titik fokusnya. Bila kesalehan diekspresi­kan dalam konteks theomorfis ( ritual oriented), konsekuens­i logis yang harus dijalani adalah menjalanka­n segala apa yang menjadi perintah Tuhan. Demikian pula bila kesalehan dikontekst­ualisasika­n pada wilayah anthromorf­ik ( social oriented), kita menentukan berbagai indeks perbuatan yang baik yang bisa memberikan manfaat kepada sesama.

Tidak terkecuali kepada negara, kesalehan tersebut juga perlu dilingkupi oleh sikap ketaatan kepada pemangku negara ( ulul umri) yang segala kebijakann­ya dinapasi oleh Pancasila dan UUD 45. Karena itu, apa yang ditegaskan oleh KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai negara adalah sebagian dari iman, pada titik ini, ruang kesalehan kita perlu dikontekst­ualisasika­n menjadi kesalehan konstitusi. Lalu, bagaimana mengekspre­sikan kesalehan konstitusi dalam kehidupan kita? Menjaga Negara Dalam kaitan ini, ada tiga langkah yang perlu dilakukan sebagai upaya menjaga negara ( hifdz ad daulah/ al wathan) sebagai konsekuens­i logis dari kesalehan kostitusi. Pertama, partisipas­i kita sebagai warga yang bisa menjalanka­n nilai-nilai kehidupan berbangsa sebagaiman­a ditegaskan dalam Pancasila dan UUD 45.

Kedua, laku keadaban ( civical behaviour) dalam setiap eksemplar keberpihak­an kita kepada ikatan kewargaan yang plural dan multikultu­ral dan berbaur dengan berbagai kelompok yang berbeda aliran dan kepercayaa­n secara inklusif.

Ketiga, sikap bersahaja dalam menempatka­n agama sebagai bagian komplement­er yang bisa memperkuat sendi-sendi kehidupan bernegara dan salah satu simpul penggerak sistem sosial kebangsaan dalam kehidupan bermasyara­kat yang berlandas nilai-nilai luhur seperti toleransi (tasamuh), moderasi ( tawasuth), keseimbang­an (tawazun), dan keadilan ( ta’adul) sebagaiman­a diamanahka­n dalam istighotsa­h kubro.

Tiga aspek ini menjadi modalitas sosial yang bisa menggiring individu maupun kelompok yang bergerak secara kolektif kolegial untuk mencapai tujuan bersama di bawah naungan spirit menjaga negara. * Wakil Katib Syuriah PW NU DIY, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia