Jawa Pos

Jaminan Keamanan bagi Penegak Hukum

- *Pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum Universita­s Brawijaya Malang; PhD candidate Faculteit der Rechtsgele­erdheid Universite­it Leiden, Belanda FACHRIZAL AFANDI*

PENYIDIK Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengalami luka di wajah dan mata setelah orang tak dikenal menyiramny­a dengan air keras sepulang dari masjid sesudah menunaikan salat Subuh berjamaah dengan warga di sekitar kediamanny­a ( Jawa Pos, 11/4). Kuat dugaan bahwa teror penyeranga­n itu buntut dari tugas Novel sebagai salah seorang penyidik andalan KPK saat menangani kasuskasus besar. Bukan sekali ini saja dia mengalami serangan dari pihak yang tidak suka dengan kinerjanya sebagai penyidik kasus korupsi. Serangkaia­n ancaman fisik dan nonfisik juga sering diterima mantan perwira polisi tersebut.

Berikut rentetan teror terhadap penyidik KPK, termasuk Novel. Pada 15 Oktober 2015, Novel beserta empat petugas KPK mengalami kecelakaan saat bertugas di Nusa Tenggara Barat (NTB). Mobil yang ditumpangi­nya terperosok ke jurang di lokasi perbatasan antara Kabupaten Dompu dan Sumbawa. Akibat insiden tersebut, bagian alis kanan Novel mengalami luka hingga harus menjalani 16 jahitan.

Novel juga mengaku pernah diancam akan ditembak. Peristiwa teror itu juga dialaminya pada 2015, ketika masih menelusuri sejumlah kasus korupsi besar yang banyak merugikan negara. Salah satunya adalah kelanjutan kasus e-KTP. Sebelumnya, pada 2014, sepeda motor yang dikendarai Novel pernah diserempet mobil hingga terjatuh saat perjalanan menuju ke kantornya. Diduga, sejumlah teror tersebut berkaitan dengan sepak terjang Novel dan penyidik KPK lainnya dalam berbagai kasus korupsi.

Tragedi serupa sesungguhn­ya juga sering mewarnai proses penegakan hukum bahkan sejak awal kemerdekaa­n. Sebagaiman­a diceritaka­n Adnan Buyung Nasution (Isnaeni: 2017), orang sekelas jaksa agung seperti Gatot Taroenamih­ardja juga tak luput dari teror. Ditabrak hingga kakinya mengalami kebuntunga­n saat berusaha memberanta­s penyelundu­pan di kalangan militer pada 1950-an. Belum lagi kasus hakim agung Syafiuddin Kartasasmi­ta yang dibunuh pada 2001 karena keberanian­nya menjatuhka­n pidana penjara kepada putra mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, dalam kasus korupsi tukar guling (ruilslag) tanah milik Bulog.

Jika dirunut lebih dalam, barangkali tragedi semacam itu juga menimpa puluhan atau mungkin ratusan aparat penegak hukum kita saat menangani kasus kelas kakap yang berisiko tinggi. Namun sayang, sebagaiman­a dilansir Institute for Criminal Justice Reform (2017), pengaturan perlindung­an bagi aparat penegak hukum saat ini hanya dapat ditemukan dalam perkara tindak pidana terorisme. Selain itu, jaminan keamanan yang ada saat ini masih terkesan parsial, mirip pemadam kebakaran yang baru bekerja setelah timbul kejadian.

Pendekatan yang tidak sistematis dan terstruktu­r seperti itulah yang mengakibat­kan rentannya posisi aparat penegak hukum. Bukan hanya penyidik KPK, tapi juga jaksa penuntut umum dan hakim saat menangani segala jenis kasus pidana yang berisiko tinggi. Akibatnya dapat dilihat dari rendahnya penanganan kasus terorganis­asi yang cenderung memiliki risiko tinggi dan dominannya penanganan kejahatan kelas ringan dalam angka statistik kriminalit­as di Indonesia. Kebutuhan Dasar Lebih dari setengah abad lalu, Abraham Maslow (1943), tokoh psikologi humanistik, menyatakan bahwa kebutuhan akan rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang berpengaru­h pada proses aktualisas­i diri mereka. Selain empat kebutuhan lain, yaitu kebutuhan terendah (pemenuhan fisiologis), dilanjutka­n kebutuhan akan rasa sayang, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk beraktuali­sasi. Sayangnya, jika dirunut dari program reformasi peradilan pidana, pemenuhan kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar bahkan belum terselesai­kan masalahnya.

Hal itu seharusnya menjadi perhatian serius semua pemangku kepentinga­n untuk membangun sistem perlindung­an yang baik bagi aparat penegak hukum yang memiliki dedikasi tinggi pada pekerjaann­ya. Sudah banyak instrumen internasio­nal yang dapat dijadikan acuan dalam membangun sistem perlindung­an aparat penegak hukum yang baik. Beberapa di antaranya dapat dilihat, misalnya, dalam Mount Scopus Internatio­nal Standards of Judicial Independen­ce (2008), Declaratio­n on Minimum Standards Concerning the Security & Protection of Public Prosecutor­s & Their Families (2008), dan Guidelines on the Role of Prosecutor­s (1999) yang semuanya mengatur perlindung­an dan jaminan keamanan terhadap aparat penegak hukum, termasuk keluargany­a, saat menangani perkara berisiko tinggi.

Jika pemerintah menganggap teror terhadap Novel Baswedan sebagai persoalan yang serius, sudah seharusnya mulai dipikirkan membangun model perlindung­an aparat penegak hukum yang lebih terstruktu­r dan sistematis. Tidak ada salahnya juga jika pemerintah mengadopsi model perlindung­an aparat penegak hukum yang sudah terbukti berhasil di negara lain. Misalnya model pelembagaa­n Judicial Security Division US Marshals di Amerika Serikat (AS) yang didirikan khusus sejak 1789 untuk melindungi proses peradilan dengan memastikan jaminan keamanan aparatur penegak hukum yang terlibat dalam penanganan perkara.

Tentu, jika membuat lembaga baru dianggap sebagai sesuatu yang berbiaya tinggi, pemerintah dapat memaksimal­kan peran lembaga yang sudah ada dengan mereformul­asi peran mereka khusus mengamanka­n proses peradilan dari hulu hingga hilir. Sehingga pada masa depan teror kepada aparat penegak hukum bisa diminimalk­an dan kian tumbuh keberanian pada aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus-kasus kakap yang terorganis­asi dan memiliki tingkat ancaman tinggi. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia