Hanya karena Material Longsoran di Depan Rumah
Yang dikhawatirkan Yatimin, warga Desa Srabah, Kecamatan Bendungan, tujuh tahun lalu akhirnya terjadi. Minggu lalu pria yang bekerja sebagai penjual daun pisang itu mendapat surat panggilan untuk pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus penamba
PADA 4 Mei lalu, seperti biasa, saat menjelang sore, Yatimin pergi ke hutan untuk ngramban atau mencari pakan kambing. Di rumah, hanya ada sang istri, Tumini, dan seorang anaknya.
Tak berselang lama, datang sejumlah orang berseragam untuk mengantarkan surat yang berisi panggilan pelaksanaan putusan MA terhadap suaminya. ”Saya harus bagaimana,” keluh Tumini dengan pandangan mata kosong.
Ibu dua anak tersebut kaget dengan kenyataan bahwa tidak lama lagi suaminya harus menjalani hukuman untuk jangka waktu yang tidak sebentar, enam bulan. Padahal, Yatimin selama ini menjadi tulang punggung keluarga.
”Sewaktu saya pulang dari hutan, istri saya hanya menangis sambil menunjukkan surat,” imbuh Yatimin di rumahnya kemarin (14/4).
Yatimin tidak mungkin lupa dengan persitiwa tujuh tahun lalu. Kendati sempat meredup dalam jangka waktu yang lama, perkara itu acap kali membuatnya susah tidur.
Dia diputus enam bulan penjara dengan sangkaan pertambangan ilegal. Padahal, Yatimin hanya membersihkan material longsoran yang menutupi bahu jalan di depan rumah. Kejadian saat itu nyaris sama dengan tahun ini. Untuk daerah perbukitan, sudah bukan hal yang aneh ketika terjadi longsor.
Begitu juga dengan bukit kecil di depan rumahnya tersebut. Seperti normalnya masyarakat biasa, Yatimin menyingkirkan batu-batu longsoran yang menutupi jalan di depan rumahnya itu. Tujuannya, batu-batu tersebut tidak menghalangi pengendara atau orang yang melintas di jalan kampung itu.
Awalnya, memang tidak ada niatan untuk mengomersialkan batu dengan ukuran sebesar helm tersebut. Hingga pada minggu berikutnya, ada seseorang yang kebetulan lewat dan hendak membeli batu- batu yang telah dipinggirkan Yatimin.
Meski batu-batu itu bukan miliknya, karena Yatimin yang merapikan, otomatis dirinyalah yang diajak bernegosiasi soal harga. Akhirnya disepakati harga Rp 300 ribu untuk batu-batu tersebut. Dengan catatan, tenaga Yatimin masih dibutuhkan untuk menaikkan batu itu hingga ke Colt. ”Ada orang mau beli batu ini, kan Alhamdulillah,” ucapnya.
Sepekan setelah aktivitas tersebut, Yatimin didatangi beberapa orang berseragam polisi. Dia diminta me- nunjukkan lokasi batu yang disingkirkannya di pinggir jalan. Yatimin pun menuruti arahan polisi itu.
”Dia beberapa kali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek,” ucap Sucipto, salah seorang keluarga Yatimin.
Dia menambahkan, selama ini, Yatimin tidak mengerti apa-apa. Bahkan, yang katanya ada penasihat hukum yang mendampinginya, hingga kasasi di MA, Yatimin dan keluarga juga tidak mengetahuinya.
Hanya, yang jelas, ada kabar bahwa Yatimin diputus dengan hukuman tiga bulan penjara di PN. Sementara itu, saat banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur, putusannya justru naik menjadi enam bulan. Selanjutnya, di MA, kasasinya justru ditolak. ” Gaga- gara menjual material longsoran jadi seperti ini,” ungkapnya. (*/ rka/ c24/ diq)