Jawa Pos

Peluang Jadi Kreator dan Pengamat

Berdiri pada1981, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ikut berpartisi­pasi dalam pengembang­an seni di Jawa Timur. Kiprahnya tidak hanya menghasilk­an seniman yang jago seni tradisiona­l. Mereka juga diajak berpikir global.

-

PADA 2018, STKW Surabaya akan punya

gawe. Yakni, Festival Kesenian Indonesia. Festival yang dihelat dua tahun sekali itu diselengga­rakan sembilan perguruan tinggi seni di Indonesia. Beragam kegiatan bakal diadakan pada event tersebut.

Pembantu Ketua II Bidang Sarana dan Kerja Sama STKW Surabaya Arif Rofiq menyatakan, poin penting dalam perhelatan itu adalah ekshibisi antar perguruan tinggi seni. Ada seminar nasional dan internasio­nal. Ada juga pameran karya dan pawai. ’’Ini juga menunjukka­n kepada masyarakat tentang eksistensi perguruan tinggi seni di Indonesia,’’ katanya.

STKW Surabaya, kata Arif, ikut menjaga dan mengembang­kan seni di Indonesia. Terutama di Jawa Timur. Secara tidak langsung, jelas dia, kampusnya juga terlibat sebagai konsultan. Terutama dalam berbagai festival kesenian yang diselengga­rakan. Baik di tingkat lokal maupun nasional.

Bagi seseorang yang belajar seni, terbuka peluang untuk tiga kelompok profesi. Yaitu, aktor seni, kreator, dan pengamat atau kritikus. Di jurusan tari, misalnya, seseorang bisa memosisika­n dirinya sebagai penari. Menari dengan baik, mulai tari tradisiona­l hingga kontempore­r. ’’Itu berarti menjadi aktor seni,’’ ujarnya.

Ada pula seseorang yang memiliki penalaran yang bagus. Dia bisa menjadi pemikir dan menciptaka­n karya atau produk baru. Mereka dapat menjadi koreografe­r atau komposer yang menciptaka­n karya baru. Artinya, mahasiswa berpeluang menjadi kreator, kritikus, atau pengamat seni. ’’Kritikus seni ini yang sangat diperlukan karena masih sangat jarang,’’ terang laki-laki yang juga kepala UPT Pemberdaya­an Lembaga Seni Wilwatikta tersebut.

Karena itu, dia mendorong para mahasiswa aktif mengisi ruang-ruang yang masih kosong. Posisi kritikus dan pengamat seni itu masih sangat terbuka. ’’Kita hampir tidak punya,’’ ungkapnya. Jika posisi tersebut tidak diisi, pengamat atau kritikus seni dapat menjadi orang-orang yang mahal dan langka. Di negara maju, sangat banyak kritikus dan pengamat seni.

Para kritikus dan pengamat seni itu memberikan pandangan atau pemikiran tentang suatu karya seni. Dalam seni pertunjuka­n, misalnya, pengamat akan menyampaik­an konten di pertunjuka­n tersebut. ’’Karena seni dekat dengan dunia simbolis,’’ tuturnya.

Sementara itu, sudah lumayan banyak kritikus atau pengamat untuk pameran dan karya puisi. ’’Mereka mengamati, kekuatan karyanya apa,’’ jelasnya.

Kurangnya pengamat atau kritikus seni, kata Arif, terjadi akibat beberapa hal. Seorang pengamat, jelas dia, tidak lepas dari objek pengamatan. Pengamat harus memiliki referensi. Tidak hanya menulis dan membaca, tetapi juga harus melihat. ’’Dibutuhkan orang yang suka keluyuran mengamati seni sekaligus orang yang diam untuk membaca,’’ paparnya. (puj/c14/jan)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia