Bukan Sekadar Ciuman Masal
Warga Bali selalu melekatkan perilaku kesehariannya pada hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi. Itu juga terasa pada tradisi omed-omedan saat momen Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Raya Nyepi. Tradisi tersebut sudah ratusan tahun berlangsung di Ba
TRADISI omed-omedan memang mengesankan. Itu tampak saat Ngembak Geni 29 Maret lalu. Keunikan tradisi yang lahir pada abad ke-17 itu mampu menarik ribuan penonton. Bukan hanya warga lokal. Wisatawan asing pun ikut menyemut. Bahkan, berbagai media lokal, nasional, hingga internasional turut mengabadikan tradisi yang lebih dikenal sebagai tradisi ”ciuman masal” tersebut.
Tapi, apakah omed-omedan sekadar momen hura-hura anak-anak muda dan berkonotasi ciuman?
Sejatinya omed-omedan bukanlah sekadar tradisi yang disajikan sebagai hiburan oleh warga Banjar Kaja. Di balik tradisi tersebut, tersimpan sejuta sejarah yang akhirnya dilestarikan warga Banjar Kaja. Meskipun terjadi pergeseran tradisi dari omedomedan itu sendiri.
Penglingsir Puri Oka Banjar Kaja I Gusti Ngurah Oka Putra mengatakan, omed-omedan sebelumnya adalah tradisi leluhur yang sekaligus menjadi hiburan bagi warga Banjar Kaja. Awalnya, tradisi tersebut dilakoni seluruh warga tanpa mengenal umur dan status sosial. Anak muda hingga orang tua berbaur menjadi satu, menjalani tradisi omed-omedan tersebut. ”Saya juga ikut omedomedan saat sudah punya istri. Itu sudah seperti tradisi sekaligus hiburan warga,” katanya.
Hingga akhirnya, tradisi omedomedan dikhususkan untuk para pemuda-pemudi Banjar Kaja yang masih lajang. Yakni, mulai remaja usia SMA hingga di bawah 30 tahun. Namun, seiring perkembangan zaman, sempat terjadi pergeseran makna pada tradisi tersebut.
Prosesi yang melibatkan dua pasang laki-laki dan perempuan yang tarikmenarik dan berpelukan tersebut kerap menimbulkan kesan berciuman. Bahkan, tidak sedikit penonton yang menyerukan agar para peserta berciuman. ” Tidak saya mungkiri, ketika peserta tarik-menarik dan berpelukan dengan desakan banyak penonton, pipi pun bertemu pipi,” ucap Ngurah Oka.
Dari situlah, opini media massa dan warga di luar Banjar Kaja ten- tang omed-omedan sebagai tradisi ciuman masal semakin dikenal. Hingga akhirnya terjadi kontroversi terhadap tradisi omed-omedan lantaran dianggap mengandung unsur pornografi.
Hal itu tentu membuat Ngurah Oka sangat sedih dan kecewa. Sebab, sebagian besar anggota Sekaa Teruna Teruni (STT) Banjar Kaja yang menjadi peserta omed-omedan adalah pelajar. Ngurah Oka pun memilih untuk meniadakan tradisi tersebut. ”Saya mendengar ocehan banyak orang tentang tradisi leluhur kami. Saat Ngembak Geni, saya pasang papan pengumunan tidak ada omedomedan,” tutur pria 72 tahun itu.
Saat itu Ngurah Oka memilih berdiam di dalam Puri Oka. Namun, antusiasme masyarakat lokal maupun luar begitu tinggi. Ratusan warga sudah berkumpul di depan Balai Banjar Kaja untuk menyaksikan omed-omedan meskipun pengumuman peniadaan tradisi tersebut sudah jelas terpasang di setiap jalan sekitar banjar.
Tiba-tiba terjadi peristiwa aneh. Seekor babi jantan ( kaung) dan seekor babi betina ( bangkung) muncul serta berkelahi di depan Banjar Kaja. Warga berusaha memisahkan dua babi tersebut. Namun, mereka sulit dipisahkan.
Pria yang juga akrab disapa Ngurah Bima itu mengatakan, perkelahian kedua babi tuntas setelah beberapa tokoh banjar menghaturkan banten dan sembah di pura banjar. Dua babi tersebut tiba-tiba menghilang. ”Saya tidak menyaksikan sendiri karena saya di dalam puri,” kata dia.
Lantaran tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih parah, Ngurah Oka akhirnya mengadakan rapat dengan tokoh adat banjar dan sejumlah warga. Akhirnya, dia meminta warga mengumpulkan pemuda-pemudi saat itu juga dan melangsungkan prosesi omed-omedan. Seluruh warga yang sejak awal hadir pun bersorak gembira. ”Jadi, tradisi omed-omedan tidak jadi ditiadakan,” ujarnya.
Dari peristiwa tersebut, seluruh warga Banjar Kaja yakin bahwa tradisi omed-omedan adalah ilen-ilen Ida Batara di banjar. Jadi, bukan sekadar hiburan, melainkan tradisi yang sakral dan harus dilestarikan.
Akhirnya, Ngurah Oka mulai mengemas tradisi omed-omedan dengan lebih menarik dan sakral. Seluruh peserta omed-omedan pun diwajibkan menggunakan pakaian adat. Berbagai ritual sebelum prosesi omed-omedan pun dilakukan. Antara lain sembahyang dan penyajian tarian Barong Bangkung. ”Sejak saat itu, perhatian pemerintah semakin bagus dan menarik wisatawan domestik maupun mancanegara,” katanya.
Ngurah Oka menuturkan, saat ini kegiatan tradisi omed-omedan diambil alih STT Banjar Kaja. Meski begitu, dia selalu mengimbau para anggota STT agar tidak menodai tradisi yang sudah ratusan tahun ada tersebut. Tujuan omed-omedan lebih ditekankan pada silaturahmi antarwarga. ” Nyambung dengan tradisi yang sudah ada di setiap tutup tahun Saka,” ujarnya. (Septinda Ayu Pramitasari/c11/dos)