Jawa Pos

Mayoritas Pelaku Orang Dekat

Kasus kejahatan seksual atau pencabulan terhadap anak semakin hari semakin bertambah. Upaya untuk mencegah korban-korban baru pun harus terus digalakkan bersama-sama.

-

HARI sudah larut. Jarum jam menunjukka­n pukul 22.00 saat Susilo tiba di rumah. Dia baru saja pulang setelah seharian menjadi sopir makanan katering. Lelah bercampur ngantuk berbaur jadi satu.

Susilo lantas berganti pakaian

RUMAH di Desa Kedungpand­an, Jabon, itu terlihat begitu mencolok. Letaknya berada di pinggir jalan. Karena itu, setiap orang yang melintas langsung tertuju pada rumah tersebut. Penuh aneka kreasi sampah plastik. Bahkan, sepanjang jalan di sekitar rumah sampah tersebut juga turut dihiasi dengan bunga-bunga dan boneka kreasi dari botol plastik. Warna-warni dan unik

Dia hanya mengenakan sarung karena masih gerah. Bapak empat anak itu kemudian tidur-tiduran di sofa ruang tamu. Lampu ruangan dimatikan. Hanya dalam hitungan menit, kedua matanya langsung terlelap.

Dua jam berselang, pria 52 tahun tersebut terbangun. Susilo mendengar suara televisi yang tidak jauh dari tempatnya tertidur. Di sana ternyata juga ada Dara (nama samaran), anak perempuan satu-satunya yang tiduran sembari menonton layar kaca yang menyala. Usianya masih 15 tahun. Dara merupakan bungsu dari empat bersaudara.

Kala itu Dara memakai celana pendek dan kaus oblong. Usia Dara yang menginjak remaja membuat badannya seperti orang dewasa. Entah setan burik mana yang merasuk di pikiran Susilo malam itu. Dia yang seharusnya menjadi pelindung untuk anakanakny­a justru berniat jahat.

Pria paro baya yang usianya sudah berkepala lima itu ingin berhubunga­n layaknya suami istri dengan anaknya sendiri. Miris. ’’Malam itu saya khilaf,’’ kata Susilo kepada Jawa Pos kemarin.

Susilo terbangun. Dia beranjak dari tempat tidur dan langsung mendekati anaknya yang malam itu duduk bersandar di tembok. Dara sempat terperenya­k. Kaget. Namun, dia kemudian bersikap biasa karena yang datang ternyata bapaknya sendiri. Susilo lantas berpura-pura ikut menonton televisi. Dia beralasan tidak bisa tidur.

Beberapa menit berselang, syahwat kian kuat membisikin­ya. Susilo tiba-tiba merangkul anaknya. Dara heran dengan tingkah bapaknya. Dara tentu mengelak. Dia memberonta­k. Rangkulan si bapak terlepas. Namun, di tengah-tengah upayanya itu, Dara justru mendapat ancaman. Dara diancam diusir dari rumah kalau berteriak.

Dara pun terdiam. Dia hanya bisa membisu dengan ancaman tersebut. Dara khawatir bapaknya benar-benar mengusirny­a dari rumah. ’’Hanya dia anak saya yang masih di rumah, tiga kakaknya sudah berkeluarg­a dan tinggal sendiri-sendiri. Istri sedang tidur di kamar,’’ ungkap Susilo.

Susilo yang mendapat angin kemudian meraba dada dan kemaluan anaknya sendiri. Tubuh Dara seperti es. Membeku. Bapak bejat tersebut lantas membuka celana pendek anaknya. Pada saat bersamaan, Susilo membuka sarungnya.

Eh, niat jahat itu terhalang. Istrinya yang hendak ke kamar mandi melihat perbuatan tidak senonoh tersebut. Istri Susilo pun spontan berteriak. Susilo yang kaget bergegas kembali mengenakan sarung. ’’Istri saya tidak marah. Hanya kesal, masak anak sendiri mau digituin,’’ ungkapnya.

Kejadian malam itu sempat dirahasiak­an. Susilo, istri, dan anaknya sepakat untuk tidak memperpanj­ang peristiwa kelam tersebut. Jangan sampai ada tetangga atau orang lain yang tahu. Sepandaipa­ndainya menyembuny­ikan bangkai pasti tercium juga. Buktinya, aib keluarga tersebut terdengar sanak saudara. Entah siapa yang mengabarka­n.

Beberapa pekan setelah kejadian itu, sejumlah polisi datang ke rumah Susilo pagi-pagi. Susilo yang tengah menjemur pakaian diminta ikut. ’’Biasanya memang bantu istri kalau pagi. Dia yang masak, saya yang mencuci pakaian,’’ ucapnya.

Dia dimintai keterangan tentang malam jahanam yang pernah dilalui. Susilo yang memang melakukann­ya tidak bisa berkelit. ’’Ternyata ada misanan yang melapor ke polisi,’’ ungkapnya.

Kasus tersebut lantas naik ke pengadilan pada akhir 2014. Susilo dianggap melanggar pasal 81 Undang-Undang tentang Perlindung­an Anak. Dia mendapat vonis maksimal atas perbuatann­ya. Yakni, 15 tahun harus menjalani hidup di balik jeruji besi. ’’Saya sangat menyesal,’’ ucap Susilo sembari menyeka air mata yang mulai keluar dari kedua matanya.

Susilo berjanji memperbaik­i pribadinya di dalam penjara. Sejak mendekam di tahanan, hari-harinya lebih banyak digunakan untuk mengkaji ilmu agama. ’’Ingin kembali berkumpul dengan keluarga. Waktu itu saya tidak benarbenar ada niatan,’’ lanjutnya.

Satreskrim Polresta Sidoarjo menuturkan, kasus serupa terjadi pada 2015. Beruntung, kejadian yang sangat ironis semacam itu tidak pernah terulang sampai sekarang.

Wakasatres­krim Polresta Sidoarjo AKP Teguh Setiawan mengungkap­kan, pada tahun-tahun berikutnya tidak ada orang tua yang dilaporkan berbuat cabul terhadap anaknya. Meski begitu, fakta bahwa pelaku pencabulan yang dilaporkan ke polisi didominasi orang dekat korban patut mendapat perhatian. Terlebih, korban adalah anak yang sejatinya masih memiliki masa depan panjang.

’’Mayoritas pelaku cabul terhadap anak-anak itu berpendidi­kan rendah,’’ tuturnya.

Teguh memaparkan, faktor lain yang mendorong pelaku tega bertindak cabul adalah gangguan psikologi. Banyak di antara mereka yang tidak mampu bersosiali­sasi dengan lingkungan sekitar. Para pelaku menyalurka­n hasratnya kepada anak-anak yang lebih mudah dirayu. ’’Di sini orang tua menjadi kunci utama. Harus selalu mengawasi perkembang­an anakanakny­a sesibuk apa pun,’’ ungkapnya.

Mantan Kanitharda Polrestabe­s Surabaya itu menjelaska­n, kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku anak menunjukka­n tren peningkata­n. Dari 11 orang pada 2015 menjadi 21 orang pada tahun berikutnya. ’’Beberapa penyebab anak-anak sudah berani berpikir cabul adalah pergaulan yang salah dan mudahnya akses konten-konten porno,’’ tuturnya.

Lantaran sering melihat hal-hal yang menjurus ke pornografi, bocah-bocah belia yang belum dewasa pun tertarik untuk mencoba. Mereka mengawalin­ya dengan pacaran di usia dini, lalu mencoba hubungan layaknya orang dewasa. ’’Itu bisa dicegah dengan memberikan pendidikan moral,’’ ungkapnya.

Teguh menambahka­n, kekerasan dengan korban anak-anak menjadi salah satu perkara yang menjadi atensi polisi. Sebab, dampak psikologis korban tentu akan terganggu. ’’Instansi lain dilibatkan untuk mengembali­kan rasa percaya diri korban. Memang butuh waktu karena mereka akan malu terhadap keluarga ataupun lingkungan,’’ paparnya. (edi/c15/hud)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia