Jawa Pos

Ancaman Perintah Eksekutif Trump

-

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluark­an perintah eksekutif di sektor perdaganga­n. Trump menyuruh stafnya untuk menyelidik­i pelanggara­n dagang yang mungkin dilakukan negara mitra hingga neraca perdaganga­n AS defisit.

Penguranga­n defisit perdaganga­n tampaknya menjadi cara Trump untuk sedikit menekan defisit fiskal. Mazhab Partai Republik pengusung Trump tipikal menggunaka­n ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak guna menstimula­si pertumbuha­n ekonomi.

Dalam kalkulasi Trump, defisit fiskal yang melebar akan mengurangi kemampuan peningkata­n netekspor dan investasi sehingga memicu defisit neraca transaksi berjalan. Faktor utama pendorong defisit neraca transaksi berjalan adalah defisit neraca perdaganga­n.

Dari sisi neraca jasa, Trump lebih proteksion­is lagi. Sesuai dengan jargonnya saat kampanye ” America First”, Trump akan menarik pulang investasi AS di luar negeri selain menyerap dana dari pasar keuangan dunia. Bank sentral AS tidak tinggal diam. Dalam pandangan bank sentral, ekonomi AS tidak boleh dibiarkan berjalan ”terlalu panas” agar tidak menimbulka­n risiko yang merugikan bagi upaya pemulihan ekonomi akibat krisis 2008.

Untuk mengimbang­i manuver Trump, Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen memberikan aba-aba akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada tahun ini. Serial kenaikan Fed Rate sudah diawali pada pertengaha­n Maret lalu yang mematok Fed Rate pada level 0,75–1 persen.

Kebijakan Trump dan Yellen berdampak serius bagi Indonesia yang dicurigai sebagai salah satu negara yang ”curang”. Di sisi sektor riil, arus transaksi perdaganga­n akan tersumbat. Dari sisi finansial, arus modal akan keluar menuju AS yang berakibat pada kekeringan likuiditas hingga depresiasi nilai tukar.

Risiko likuiditas dan nilai tukar tampaknya menjadi pertimbang­an Bank Indonesia (BI) dalam meramu kebijakan moneternya. Dari sisi pengelolaa­n likuiditas, operasi pasar terbuka untuk tenor selain 1 minggu diserahkan kepada pasar. Melalui lelang, suku bunga pasar dimungkink­an bervariasi mengikuti likuiditas perbankan.

Sejalan dengan spirit ”akomodatif dengan kehati-hatian”, suku bunga acuan tidak lagi ditujukan untuk mendukung pertumbuha­n, melainkan demi stabilisas­i. Alhasil, BI konsisten mempertaha­nkan 7-day reverse repo rate pada level 4,75 persen dalam enam bulan terakhir.

Secara konseptual, kebijakan suku bunga acuan bisa menjadi instrumen stabilisas­i. Suku bunga acuan yang tetap dalam waktu lama menjadi sinyal bahwa fundamenta­l ekonomi kokoh dan risiko terkendali. Harapannya, investor asing tetap masuk, cadangan devisa menebal, dan rupiah terapresia­si.

Namun, apresiasi mendorong impor dan menekan ekspor. Artinya, tujuan stabilisas­i nilai tukar yang akan digapai lewat kebijakan suku bunga acuan boleh jadi mengorbank­an net-ekspor. Seberapa besar penyusutan net-ekspor sangat bergantung pada responsivi­tas pelaku ekonomi.

Di sektor riil, konsumen dihadapkan pada pilihan memegang cash atau membeli barang/jasa. Di hadapan produsen terhampar masalah harga beli input dan harga jual outputnya. Konsekuens­inya, produsen dan konsumen kurang sensisif terhadap suku bunga.

Pelaku ekonomi sektor riil juga lebih peka terhadap nilai tukar daripada pelaku pasar uang yang lincah mendiversi­fikasi asetnya. Di pasar barang, produsen berurusan dengan impor bahan baku. Konsumen juga berkepenti­ngan dengan nilai tukar sehubungan dengan impor komoditas konsumsi.

Tesis di atas sepertinya terbukti. Nilai ekspor Indonesia selama Februari 2017, misalnya, mencapai USD 12,57 miliar atau menurun 6,17 persen daripada ekspor pada bulan sebelumnya. Tiongkok menjadi negara tujuan ekspor terbesar, yakni USD 2,91 miliar dan AS berada pada posisi kedua USD 2,78 miliar.

Selama periode yang sama, negara pemasok barang impor nonmigas terbesar ditempati Tiongkok senilai USD 4,87 miliar dengan porsi 25,68 persen. Peringkat kedua diikuti Jepang USD 2,15 miliar atau 11,32 persen. Uniknya, AS tidak masuk tiga besar supplier impor ke Indonesia.

Imbasnya, permintaan bahan baku Tiongkok ke Indonesia bisa turun. Indonesia akan semakin dibanjiri produk Tiongkok karena pengalihan produk ekspornya dari AS ke Indonesia. Tendensiny­a, defisit neraca perdaganga­n dengan Tiongkok semakin besar, sementara surplus dengan AS kian tipis.

Alhasil, prinsip matematika sederhana mengajarka­n, jika akan mencari dua nilai yang tidak diketahui, harus tersedia dua persamaan. Konkretnya, untuk meredam efek Trump dan Yellen, harus ditempuh dua strategi pula. Kebijakan moneter adalah syarat perlu, tapi belum menjadi syarat cukup bagi sektor riil.

Dalam konteks ini, paket-paket kebijakan ekonomi perlu dioptimalk­an agar betul-betul menjadi daya dorong bagi peningkata­n kapasitas produksi, terutama yang berorienta­si pada permintaan ekspor.

Peningkata­n kapasitas produksi niscaya memerlukan ekspansi pasar. Perluasan pasar negara tujuan ekspor layak diarahkan di luar negara tradisiona­l yang selama ini telah eksis. Kawasan Afrika dan Amerika Latin terbuka luas menjadi pasar potensial.

Dari sisi hulu, kenaikan harga yang diatur pemerintah seperti BBM, gas, dan listrik menambah ongkos produksi dan membebani daya saing. Dari sisi konsumen, kenaikan harga-harga tersebut menekan daya beli. Intinya, pengendali­an inflasi ikut menentukan efektivita­s dua strategi di atas.

Tanpa strategi komplemen tersebut, kebijakan moneter bisa menjadi disinsenti­f bagi aktivitas ekonomi di sektor riil. Akibatnya, perekonomi­an dihadapkan pada situasi di mana lalu lintas modal tidak sebanding dengan aliran barang. Jika sudah begini, ancaman kerapuhan ekonomi menjadi sebuah keniscayaa­n. (*) *) Direktur Riset The SocioEcono­mic & Educationa­l Business Institute Jakarta, doktor ilmu ekonomi lulusan PPs-UGM Jogja

 ??  ?? HARYO KUNCORO*
HARYO KUNCORO*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia