Pelihara Kumis agar Dipercaya Petani
Di era bisnis digital, generasi milenial semakin enggan menjamah sektor pertanian. Padahal, kebutuhan pangan yang sesuai pola hidup sehat terus meningkat. Situasi itu membuat Ahmed Tessario terjun ke bisnis beras organik.
BISNIS di sektor pertanian memang rumit. Sebab, banyak permasalahan yang harus diatasi. Antara lain, harga pokok penjualan (HPP) beras rendah, rantai pemasaran panjang, dan petani tercekik rentenir hingga harus rela menjual panenan secara ijon.
Permasalahan tersebut dihadapi Ahmed Tessario dan kawan-kawannya saat merintis bisnis itu pada 2011. Sebelum terjun ke bisnis beras organik, Tessa –sapaan akrab Ahmed Tessario– pernah berbisnis minyak nilam di Banyuwangi. Namun, bisnis tersebut gagal.
Menganggur dan memiliki utang membuat Saman mengajak Tessa menjalankan bisnis beras organik. ’’Waktu itu tidak tahu mau ngapain. Sejak rugi, setiap hari cuma bisa menangis. Kami langsung mau saat diajak berbisnis beras organik. Yang penting bisa untuk hidup dan bayar utang,’’ papar Tessa saat ditemui di lahan pertanian organik milik Sirtanio di Banyuwangi pekan lalu.
Sirtanio dirintis empat orang, yakni Ahmed Tessario, Shohib, A.R Jauhari, dan Samanhudi. Nama Sirtanio merupakan akronim sir dari kata ngesir (suka) dan tanio (bertanilah) yang jika digabung berarti ajakan untuk bertani. Modal awal bisnis itu Rp 28 juta, sisa dana bisnis minyak nilam.
Uang tersebut digunakan untuk membuat demplot pengembangan beras organik. Waktu itu Tessa melakukan edukasi kepada 17 petani di Banyuwangi untuk menanam beras organik. ’’Dulu kami harus pakai kumis, harus kelihatan tua sekali agar mereka percaya. Siapa petani yang mau percaya sama anak muda? Apalagi ngajarin mereka cara bertani organik, high margin, pengembangan usaha, sustainability,’’ papar Tessa.
Akhirnya, mereka memilih Saman untuk menjadi juru kampanye. Setiap petani diminta menyediakan 0,1 hektare lahan. Jika berhasil, hasil panen akan dibeli. Pada Agustus 2011, terkumpul 1,7 hektare lahan. ’’Waktu itu ada hama wereng di Banyuwangi. Lahan lain tidak bisa panen, hanya lahan kami yang bisa panen pada Desember 2011,’’ terang alumnus Teknik Kimia ITS tersebut.
Kejadian itu membuat minat petani untuk bertani secara organik meningkat signifikan. Lahan pertanian yang awalnya hanya 1,7 hektare berkembang menjadi 17 hektare, lantas 150 hektare. Permasalahan lain datang. Sirtanio kelebihan pasokan hingga 150 ton.
’’Padahal, kami hanya mampu jual 10 ton dalam setahun. Waktu itu petani ngamuk, pembayarannya juga terlambat,’’ kenang mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Manajemen Industri ITS tersebut.
Jalan kembali terbuka saat Sirtanio berhasil mendapatkan dana pinjaman Rp 500 juta dari Bank Jatim dengan jaminan tanah dari Sa- manhudi. Apalagi, penjualan Sirtanio setiap tahun terus meningkat.
Pada tahun kedua, Sirtanio berhasil menjual 40 ton, lantas naik menjadi 89 ton, hingga akhirnya 350 ton setahun. Penjualan naik berkat keberhasilan Tessa mengedukasi pasar. Beras itu tidak hanya dijual di pasar, tapi juga di apotek, salon, bahkan toko bangunan. Penjualan tak hanya di Banyuwangi, tapi sampai ke Bali, Tulungagung, Malang, Blitar, Surabaya, dan Jakarta.
Salah satu kunci keberhasilan usaha tersebut adalah konsistensi. Sejak 2011–2014, Ahmed dan teman-temannya hanya menggaji diri sendiri Rp 600 ribu per bulan. Sisanya digunakan untuk ekspansi. ’’Uangnya habis untuk pulang Surabaya–Banyuwangi,’’ terangnya.
Setelah bisnis berkembang di pasar domestik, Tessa mulai menggarap pasar ekspor. November nanti, mereka berencana mengekspor beras organik ke Australia.
Tak hanya mengandalkan bisnis beras organik, Sirtanio melebarkan sayapke ecotourism. Merekaberupaya menduplikasiteknikbertaniorganik ke daerah lain. (vir/c22/noe)