Sepak Bola Jadi Magnet Kumpulkan Ekspatriat
Tinggal dan menetap sebagai orang asing bukan perkara gampang. Karena itu, sejumlah ekspatriat di Surabaya membikin gagasan untuk bisa bertemu. Dengan rutin bermain sepak bola, mereka bisa saling mengakrabkan diri.
SORE menjadi waktu yang pas untuk rehat dari segala rutinitas, kemudian memainkan si kulit bundar. Agenda mingguan itu tidak pernah dilewatkan para kaum ekspatriat di Surabaya yang selama ini tergabung dalam klub bola Sexpats. Itu adalah kependekan dari Surabaya Expats.
Seperti biasa, saban Sabtu para kaum ekspatriat itu berkumpul di lapangan Surabaya International School. Ajang tersebut sekaligus tempat bagi para ekspatriat dari berbagai negara untuk bersua. Keberagaman akan langsung tampak kala mereka turun ke lapangan. Mulai variasi postur, raut muka, aksen bicara, hingga warna kulit. Seolah variasi warga dunia tergambar di sana
Maklum saja, mereka yang bermain bola itu datang dari berbagai negara. Mulai Inggris, Portugal, Brasil, Jepang, sampai Kamerun.
Sebelum bertanding dengan Metafootball Academy, lawan hari itu (15/4), seluruh pemain lebih dahulu berkumpul di tengah lapangan.
Jorge Pinho, sang kapten yang merangkap kiper, harus mengatur para pemainnya. Jangan salah, dia tidak mengatur strategi layaknya permainan bola profesional. Warga negara Portugal itu hanya mengatur posisi pemain. Polanya juga tidak kaku. ” Yang penting main. Strategi kami pokoknya harus menang,” tutur Peter Crosby, salah seorang pemain Sexpats asal Inggris, sore itu.
Meski sudah kenyang meladeni lawan saban pekan, Sexpats tetap bersemangat kala bermain. Walau hanya untuk olahraga senangsenang, para pemain Sexpats tidak pernah asal tendang. Buktinya, dalam game itu, mereka memenangi pertandingan.
Bagi para pemain Sexpats, mengerahkan kemampuan 100 persen saat di lapangan adalah hal wajib. Tidak peduli berasal dari latar belakang apa, semua punya kesempatan yang sama untuk memberikan permainan terbaik. Itulah aturan yang selalu dipegang pemain yang diturunkan dari para pendiri dan pemain Sexpats yang terdahulu.
Sejak awal dibentuk pada 1998, Sexpats memang menjadi klub bola sekaligus komunitas. Tadinya Sexpats dibentuk oleh sekelompok ekspatriat dari Inggris yang bekerja di Surabaya.
Bukan rahasia lagi, Inggris memang tempatnya klub sepak bola hebat bertengger. Karena itulah, para ekspatriat dari Inggris tersebut lantas mendirikan klub bola di tempat nan jauh dari negaranya.
Rupanya, Sexpats menjadikan sepak bola sebagai alat pemersatu. Bukan sekadar olahraga rutin karena hobi semata. Terbukti, sepak bola lantas menjadi magnet untuk mengumpulkan ekspatriat lainnya. Lambat laun, semakin banyak warga negara asing di Surabaya yang terus bergabung. Perasaan senasib tinggal di negeri orang juga menjadi alasan bergabung.
Dalam perjalanannya, anggota Sexpats tidak pernah bersifat tetap. Maklum, banyak yang keluar masuk. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Karena itu, gonta-ganti formasi menjadi hal yang wajar ketika mereka berlatih.
Bahkan, saat ini seluruh pendiri Sexpats sudah tidak lagi di Surabaya. Yang terakhir kembali ke negaranya adalah Andy King, pria berkebangsaan Inggris. Baru sekitar setahun lalu, Andy kembali. Meski begitu, kiprah Sexpats tidak lantas terhenti. Kegiatan yang sejak dahulu dibudayakan oleh pendiri tetap dijalankan hingga sekarang. Tidak hanya beranggota para ekspatriat, Sexpats juga memiliki banyak anggota orang Indonesia. ” Yang penting komitmen kalau mau gabung. Tidak peduli walaupun bukan ekspatriat,” ujar Ivan Gustaf, salah seorang pemain Sexpats dari Indonesia.
Mereka tidak melulu bermain sepak bola. Namun, juga bagaimana caranya bisa berbaur dengan warga dari negara-negara lain. Sebab, yang terpenting adalah bisa berkumpul dan menciptakan keluarga di tempat yang jauh dari kampung halaman.
Benar saja, momen kala bertanding rupanya bukan hal yang paling ditonjolkan. Justru, saat para anggota Sexpats berkumpul dan duduk bersama seusai pertandinganlah yang paling utama. Nongkrong bareng istilahnya. Tapi, bukan sekadar nongkrong untuk para pemain, melainkan juga mengajak seluruh anggota keluarga. Itulah yang menjadi momen memupuk keakraban dan saling mengenal antarkeluarga sesama ekspatriat.
Obrolannya juga masih berbau bola. Biasanya, ada penentuan pemenang pada beberapa kategori selama jalannya pertandingan. Misalnya, momen terbaik selama pertandingan. Nah, seluruh pemain akan berdiskusi sampai voting untuk menentukan siapa pemenang kategori itu. ”Kejadian unik selama di lapangan juga kami diskusikan,” kata Ivan.
Ada pula man of the match. Memang setiap Minggu harus ditentukan siapa pemain terbaik dalam pertandingan. Satu lagi, kategori red helmet atau si helm merah. Itu predikat bagi pemain yang paling agresif. ”Nah, kategori ini biasanya jatuh ke pemain yang kena kartu kuning atau bahkan kartu merah, ” terang Ian Goodman, pemain berkewarganegaraan Inggris.
Setiap tahun ada juga perayaan Sexpats. Perayaan itu dikemas dalam acara pesta dengan mengajak seluruh anggota keluarga. Kadang juga diadakan games seru untuk para anak dan istri pemain Sexpats. Lomba adu penalti misalnya. Momen itu sekaligus mempererat persaudaraan satu sama lain. Bukan semata antarpemain, melainkan juga para istri dan anak mereka.
Acara itu juga meriah. Banyak hadiah yang diperebutkan. Biasanya, hadiah yang bisa dibawa pulang adalah voucher liburan hingga menginap di hotel. Atau bahkan tiket pelesir ke Bali. Hadiah itu biasanya disponsori beberapa anggota Sexpats yang memang bekerja di manajemen perhotelan.
Lebih jauh, acara itu sebetulnya adalah penyemangat bagi para anggota untuk bermain yang terbaik setiap Minggu. Pasalnya, ada gelar kebanggaan yang bisa saja mereka dapatkan di pengujung tahun. Itulah tradisi yang kemudian membuat para pemain menampilkan yang terbaik dalam setiap pertandingan. Walaupun tidak semua jago bermain bola, Sexpats tetap menjadi wadah untuk saling belajar bersama dengan orang-orang dari berbagai negara. (*/c6/git)