Jawa Pos

Bila Dapat Beasiswa, Mau Jadi Mahasiswa

Usianya sudah 63 tahun. Namun, semangat bapak empat anak itu untuk belajar masih berkobar-kobar. Terdorong oleh tuntutan tempatnya bekerja, tiga tahun terakhir dia mengikuti kejar paket C.

- JOS RIZAL

JAM menunjukka­n pukul 07.45. Puluhan orang dewasa serentak masuk ke sejumlah ruang kelas di SDN Sumberejo II, Wonoayu, kemarin (16/4). Mereka berpakaian rapi dan formal. Yakni, mengenakan kemeja dan celana kain. Tak ketinggala­n, sepatu pantofel berwarna hitam yang bersih dan mengilat.

Jangan salah sangka. Mereka bukan sedang menghadiri rapat wali murid, melainkan hendak mengikuti ujian untuk mendapatka­n ijazah paket C setara SMA. Ya, mereka adalah warga yang belajar di Pusat Kelompok Belajar Masyarakat (PKBM) Rabel Wonoayu. Setelah tiga tahun menempuh pendidikan nonreguler, mereka akhirnya mendapatka­n kesempatan mengikuti ujian nasional (unas) pendidikan kesetaraan.

Salah seorang yang tampak bergegas masuk ke kelas pagi itu adalah Abdul Ajis

Dia menuju ruang kelas di sudut utara sekolah. Rambutnya yang hitam dan bergelomba­ng disisir rapi ke belakang. Sesekali dia membenarka­n bingkai kacamatany­a sembari terus melangkah. Rupanya, dia kebagian tempat duduk di bangku urutan paling depan kelas tersebut. Posisinya berhadapan langsung dengan pengawas.

Setelah menunggu beberapa saat, lembaran yang berisi 50 soal matematika plus lembar jawaban disodorkan kepadanya. Sejurus kemudian, bel berbunyi. Itu tanda bahwa dia dan para peserta unas lainnya harus segera mengerjaka­n soal-soal tersebut. Wajah mereka tertuju pada soal-soal di depannya. Mereka tampak serius.

Kemarin adalah hari kedua Ajis mengikuti ujian. Dia menjalani ujian hari pertama pada Sabtu (15/4) dan serangkaia­n ujian lainnya minggu depan. Yaitu, pada Sabtu (22/4) dan Minggu (23/4) di tempat yang sama.

Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 09.30, bel kembali berbunyi, tanda ujian selesai dilaksanak­an. Para peserta diizinkan beristirah­at sekitar 20 menit. Beberapa di antara mereka tampak masih tegang dan lelah. Termasuk Ajis yang saat itu berjalan menuju pintu ruang kelas. ’’Lumayan angel (sulit, Red),’’ katanya, lantas membuang napas panjang. Tetapi, sejurus kemudian dia tersenyum.

Dia mengaku sudah berusaha keras mengerjaka­n puluhan soal matematika tersebut. Banyak sekali rumus yang harus dihafal apalagi ketika menghitung luas kubus. Karena dia susah mengingat rumusnya, mengerjaka­nnya juga terkendala. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya, dia tekun belajar. ’’ Akhire yo ngirongiro (akhirnya, saya cuma menebak jawabannya, Red),’’ tutur Ajis.

Selama tiga tahun belakangan, Ajis belajar di PKBM Rabel Wonoayu. Dia menempuh pendidikan di jurusan ilmu pengetahua­n sosial (IPS). Dia banyak berharap dapat mengantong­i ijazah paket C setara SMA.

Dalam seminggu, dia harus bersekolah dua kali di gedung SDN Sumberejo II, Wonoayu. Sehari-hari dia bekerja sebagai quality control di PT Charoen Phokpand Indonesia, Krian. Karena itu, bapak empat anak tersebut harus pandai membagi waktu. Jam kerjanya dimulai pukul 08.00 sampai 16.00.

Namun, dia harus mengeluark­an ’’tenaga ekstra’’ pada Selasa dan Jumat. Waktu istirahatn­ya berkurang karena dia harus bersekolah pada malamnya, yakni pukul 19.00–21.00. Rasa kantuk kerap kali menghingga­pi apalagi ketika dia harus berhitung dan menghafal rumus matematika. Rasa kantuk itu akan terasa dua kali lipat lebih berat. ’’ Untunge (untungnya, Red) temen-temen yang lain seneng guyon. Jadi, ngantuke (rasa kantuknya, Red) langsung ilang,’’ ungkapnya.

Meski sering dilanda rasa kantuk saat bersekolah pada malam hari, pria kelahiran Agustus 1954 tersebut mengaku sangat bersemanga­t ketika mengikuti pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan, itu adalah satusatuny­a pelajaran yang digemariny­a di antara berbagai mata pelajaran lain. Alasannya, hingga saat ini, dia merasa belum bisa berbicara menggunaka­n bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Terutama ketika rapat atau berbicara dengan atasan.

Mengetahui kata-kata yang baku dalam bahasa Indonesia dan sedang ngetren membuatnya jatuh cinta pada mata pelajaran itu. Salah satunya, kata ’’keripik’’. ’’ Siktas ngerti nek gondoruwo sing diiris-iris iku jenenge keripik (baru tahu kalau ketela pohon yang digoreng tipis itu namanya keripik, Red) pas lanjut sekolah,’’ ujarnya, lantas terkekeh.

Dia menceritak­an suatu ketika atasan pernah memintanya mengambil keripik di ruang kerja. Saat itu dia kebingunga­n. Daripada salah, Ajis akhirnya bertanya ulang kepada atasannya mengenai barang yang diminta. Sang atasan kemudian membawakan­nya keripik yang selama ini sering disebut Ajis sebagai gondoruwo (ketela pohon, Red) goreng atau gondoruwo diiris-iris. ’’ Takpikir klip atau alat,’’ katanya.

Mulai saat itu, dia bersemanga­t mempelajar­i bahasa Indonesia dan bahasa lain yang kerap diucapkan. ’’Nah, termasuk bahasa lo gue yo aku siktas ngerti,’’ ucapnya, lalu kembali tertawa lepas.

Ajis menjelaska­n, dia memutuskan menempuh pendidikan pada usia senja karena tuntutan pekerjaan. Dia mengaku begitu mencintai perusahaan­nya. Bahkan, sejak lulus dari SMP PGRI Dharma Wanita pada usia 15 tahun, dia sudah bekerja di sana. Sekitar empat tahun lalu, perusahaan mewajibkan karyawanny­a untuk menuntaska­n wajib belajar 12 tahun. Karena ijazah terakhirny­a hanya SMP, mau tidak mau, dia harus melanjutka­n sekolah. Keluarga pun mendukung penuh.

Penghobi ludruk itu menyadari pendidikan merupakan hal penting yang harus dimiliki setiap orang. Dia menyesal tidak bisa mengeyam pendidikan setinggi-tingginya saat masih muda. Bahkan, bila mendapat kesempatan dan beasiswa untuk kuliah, Ajis mengaku siap mengemban status sebagai mahasiswa. ’’ Dadi wong pinter iku akeh gunane (menjadi orang pintar itu banyak manfaatnya, Red),’’ tuturnya.

Dia sadar bahwa usianya sudah berkepala enam. Namun, dia merasa harus terus bekerja ekstra agar anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. Terlebih, dalam perusahaan tempatnya bekerja, tidak ada batasan umur. Para karyawan bisa bekerja hingga umur berapa pun.

Muh Gufron, anak pertamanya, memiliki nasib yang lebih baik darinya. Gufron lulus SMA enam tahun yang lalu dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Selain Gufron, dia juga memiliki tiga anak. Yaitu, Lailatul Zahra, Muh. Zudni, dan Razaq. Lailatul sekarang duduk di kelas VI SDN Sumberejo 1 Wonoayu. Sementara itu, Muh. Zudni merupakan siswa kelas IV di sekolah yang sama. Putra bungsunya, Razaq, mengenyam pendidikan anak usia dini (paud).

Ajis bercita-cita menyekolah­kan anak-anaknya setinggi-tingginya. Dia berharap nasib mereka lebih baik daripada dirinya. ’’Saya akan sekolahkan sebisanya,’’ kata suami dari Jaselik tersebut.

Ajis menuturkan, yang bisa dilakukann­ya saat ini adalah terus bekerja untuk menyekolah­kan anak-anaknya. Karena itu, tubuhnya harus tetap sehat. Dia rajin berolahrag­a, mengonsums­i sayur, dan menghindar­i obat-obatan ketika sakit. Dia cenderung menggunaka­n jamu untuk menjaga daya tahan tubuh.

Benar saja, meski dia sudah berkepala enam, rambutnya tidak memutih. Otot-otot di tangannya juga masih tampak padat. Orang-orang bahkan menyangka umurnya masih sekitar 40 tahun. Dia pun menambahka­n bahwa kunci agar tetap awet muda adalah selalu hidup senang dan rutin berolahrag­a. ’’ Urip nggak usah digowo susah (hidup jangan dibuat susah, Red),’’ jelasnya.

Ajis mengaku begitu tertarik dengan berbagai program beasiswa yang ditawarkan pemerintah. Dia ingin anak-anaknya mendapatka­n layanan itu agar nasibnya tidak serupa dengannya.

Sejurus kemudian, bel sekolah kembali berdering. Itu pertanda peserta ujian harus kembali masuk ke kelas dan mengerjaka­n soal sosial. Ajis pun melangkah masuk kembali ke mejanya. Pada sesi kedua ujian siang itu, dia mendapatka­n soal sosiologi yang menunggu untuk dikerjakan. Dia mengernyit­kan dahi. Kemudian, dia kembali menggoresk­an pensilnya di lembar jawaban itu. Dia berharap mendapat nilai maksimal. (*/c20/pri)

 ?? JOS RIZAL/JAWA POS ?? BERUSAHA MAKSIMAL: Abdul Ajis mengisi identitas dirinya di lembar jawaban sebelum menjalani ujian matematika di SDN Sumberejo II, Wonoayu, kemarin.
JOS RIZAL/JAWA POS BERUSAHA MAKSIMAL: Abdul Ajis mengisi identitas dirinya di lembar jawaban sebelum menjalani ujian matematika di SDN Sumberejo II, Wonoayu, kemarin.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia