Jawa Pos

Gubernur Bisa Abaikan DPRD soal Wali Kota

Kekhususan DKI Jakarta bukan hanya soal pilkada. Banyak kekhususan di sana, termasuk di DPRD. Bahkan, ada ”kepala suku” dalam UU DKI. Berikut ulasan Rohman Budijanto dari The Jawa Pos Institute of ProOtonomi ( JPIP).

-

JAKARTA adalah salah satu bentuk otonomi daerah (otda) yang tidak simetris, selain Aceh, Papua, dan Jogja. Kalau otda umumnya diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemda (yang mutakhir UU 23/2014) dengan titik berat di kabupaten/kota, Jakarta mempunyai UU sendiri. Yakni UU 29/2007 tentang Pemerintah­an Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI), yang dikeluarka­n pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saat pilkada, kekhususan yang dikenal DKI Jakarta adalah penentuan pemenang pilgub. Dalam pilkada serentak 101 daerah yang baru lalu, yang 100 daerah sudah selesai. Karena cukup mencari siapa pemenang suara terbanyak, maka jadilah dia bupati/ wali kota atau gubernur ( beserta pasangan wakilnya). Tetapi, khusus bagi DKI Jakarta, peraih kursi pilgub harus menang lebih dari 50 persen (pasal 11 ayat 1–3 UU DKI). Kekhususan pilkada DKI itu mirip pemilihan umum presiden. Alasannya, dalam penjelasan umum UU tersebut, untuk memperoleh legitimasi yang kuat dan memperhati­kan masyarakat DKI yang multikultu­ral.

Sebenarnya masih banyak kekhususan dalam UU yang berisi 40 pasal itu. Yang jelas, DKI merupakan ibu kota negara serta tempat kedudukan perwakilan asing dan pusat perwakilan internasio­nal. Kekhususan itu diperinci, khususnya, dalam pasal 26 ayat 4, 5, dan 6 UU DKI. Kewenangan sebagai ibu kota NKRI meliputi penetapan dan pelaksanaa­n kebijakan dalam (a) tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; (b) pengendali­an penduduk dan permukiman; (c) transporta­si; (d) industri dan perdaganga­n; dan (e) pariwisata.

Gubernur DKI juga diberi kewenangan koordinasi dengan pusat dan kepala daerah lain dalam melaksanak­an daerah otonom, pelimpahan kewenangan pusat dalam asas dekonsentr­asi, serta pelaksanaa­n penugasan pusat dalam tugas pembantuan. Secara khusus, UU itu juga menekankan tugas gubernur melestarik­an dan mengembang­kan budaya Betawi dan budaya daerah lain yang ada di DKI.

Kekhususan juga ada di dalam sistem administra­si pemerintah­an. DKI mempunyai lima kota administra­tif ( Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat) serta satu kabupaten administra­tif (Kepulauan Seribu dengan ibu kota Pulau Pramuka).

Karena basis otda DKI Jakarta di provinsi, wali kota dan bupati di lima wilayah itu diangkat gubernur dari PNS yang memenuhi syarat (pasal 19 UU DKI). Di kota dan kabupaten itu juga tak ada DPRD. Meski begitu, pasal tersebut menyatakan, pengangkat­an wali kota/bupati atas pertimbang­an DPRD DKI Jakarta. Kelihatann­ya DPRD diberi peran, tapi dalam penjelasan umum UU DKI dinyatakan, pertimbang­an DPRD tidak mengikat gubernur dalam menetapkan wali kota/bupati.

Jadi, kekuasaan gubernur besar sekali, bisa memilih siapa pun. Hanya dibatasi ”PNS yang memenuhi syarat”. Suara DPRD bisa diabaikan, meski kewenangan memberikan pertimbang­an itu diberi pasal khusus, yakni pasal 12 ayat 3 UU DKI. ”Hal inilah yang mendorong amanat normatif dalam undang-undang ini. Bahwa pertimbang­an DPRD provinsi tersebut tidak mengikat gubernur dalam menetapkan wali kota/bupati.” Ini berbeda dengan UU DKI sebelumnya, UU 34/1999 tentang Pemerintah­an Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta, yang memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memberikan persetujua­n pengangkat­an wali kota/bupati (pasal 15).

DPRD DKI juga punya kekhususan. Yakni, anggota DPRD DKI berjumlah paling banyak 125 persen dari jumlah maksimal untuk kategori penduduk DKI Jakarta sebagaiman­a ditentukan UU. Saat ini jumlah anggota DPRD DKI 106 orang. Periode sebelumnya, 2004– 2009, sebanyak 94 orang. Jadi tidak bulat seperti, misalnya, DPRD Jatim 100 orang atau Surabaya 50 orang. UU sebelumnya, 34/1999, yang mengatur DKI tak menyebut kekhususan DPRD ini. Jumlah anggota DPRD waktu itu 75 orang.

Adapun alasan kekhususan jumlah anggota DPRD DKI itu, menurut penjelasan pasal 2 ayat (4) UU DKI, adalah tak adanya DPRD di tingkat kota/kabupaten di DKI. Sehingga ketentuan proporsi jumlah penduduk dengan jumlah anggota DPRD DKI pada tiap provinsi tidak berlaku. Di pasal 102 ayat (1) UU 34/2014 tentang Pemda, jumlah anggota DPRD provinsi 35–100 orang.

Gubernur DKI juga diberi hak untuk dibantu sebanyak-banyaknya empat deputi yang diangkat dan diberhenti­kan presiden atas usul gubernur (pasal 14 UU DKI). Seperti halnya wali kota/ bupati, deputi tersebut juga diangkat dari PNS yang memenuhi syarat. Ini merupakan bentuk kekhususan DKI. Sebab, dalam UU Pemda, pengaturan jabatan gubernur dan bupati/wali kota lebih banyak disatukan dalam pengaturan tentang kepala daerah. Juga tak disebut adanya deputi yang boleh sampai empat orang itu. Namun, memang keberadaan deputi gubernur DKI sendiri sering tidak ”muncul”. Kalah tenar dengan para asisten, yang keberadaan­nya hanya berdasar hukum perda.

Yang unik juga dari kekhususan DKI, ada pejabat ”kepala suku”, yakni memimpin suku dinas. Ini adalah perangkat dinas di level kota/kabupaten (pasal 20 UU DKI). Perangkat lain adalah sekretaria­t, lembaga teknis lain, serta kecamatan dan kelurahan. Pengangkat­an dan pemberhent­ian kepala suku dinas itu oleh gubernur atas usul kepala dinas teknis di provinsi serta atas pertimbang­an wali kota/bupati.

Lurah di Jakarta juga punya kekhususan. Mereka diberi pendamping wakil lurah (pasal 22 UU DKI), yang sama-sama diangkat dan diberhenti­kan dari PNS oleh wali kota/bupati. Ini pendelegas­ian wewenang gubernur. Kalau lurah bertanggun­g jawab kepada wali kota/bupati melalui camat, wakil lurah bertanggun­g jawab kepada lurah. Di DKI, memang ada Kabupaten Kepulauan Seribu, tetapi tak punya desa. Di sana ada enam kelurahan.

Jabatan wakil lurah itu rupanya sudah cukup lama jadi kekhususan di DKI, yang tak umum di tempat lain. Kalau kita simak lagu cerita tentang tempat yang akan digusur karya Iwan Fals, Ujung Aspal Pondok Gede, tahun 1985 sudah disebut soal ini. ”Sampai saat tanah moyangku/Tersentuh sebuah rencana/Dari serakahnya kota/Terlihat murung wajah pribumi/Terdengar langkah hewan bernyanyi…/Di depan masjid/Samping rumah wakil pak lurah.” (www.jpip.or.id)

 ??  ?? HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS SETARA PILPRES: Petugas menghitung surat suara dalam pilkada DKI putaran pertama di TPS 08 Kampung Pulo (15/2).
HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS SETARA PILPRES: Petugas menghitung surat suara dalam pilkada DKI putaran pertama di TPS 08 Kampung Pulo (15/2).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia