Jawa Pos

Kepentinga­n Pemberanta­san Korupsi

- ADNAN TOPAN HUSODO*

TIDAK sulit memahami bahwa pemberanta­san korupsi menduduki posisi yang sangat penting, terutama bagi keberlanju­tan sebuah bangsa. Almarhum Gus Dur, dalam sebuah acara talk show di televisi nasional, pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya, tetapi kenyataann­ya sangat melarat karena pembiaran terhadap kejahatan korupsi.

Tidak menindak korupsi telah mengakibat­kan kejahatan ini menjadi bagian dari ’’nilai’’ yang tak terpisahka­n dari cara hidup individu, masyarakat, dan pemerintah­an. Hampir semua menerimany­a sebagai sesuatu yang lumrah serta wajar dan adanya segudang pembenaran untuk melakukann­ya. Padahal, dampak dan risiko yang ditimbulka­n begitu merusak.

Kita bisa ambil contoh dalam perkara skandal korupsi e-KTP yang menurut dakwaan KPK telah menyeret berbagai nama penting, mulai sektor politik (politisi), elite di eksekutif, dan sektor swasta. Jejaring korupsi antartiga ranah itu memang terlihat dalam berbagai perkara korupsi yang lain.

Menurut catatan ICW (2016), sektor pemerintah dan sektor swasta menduduki peringkat pertama dan kedua untuk kategori aktor korupsi yang paling banyak diproses hukum. Sementara itu, menurut laporan Global Barometer Korupsi yang diluncurka­n TI Indonesia (2016), parlemen kembali ditempatka­n sebagai institusi terkorup.

Selain korupsi merupakan kejahatan yang di dalamnya berkelinda­n berbagai kepentinga­n dari pemegang kendali kekuasaan, korupsi (e-KTP) sebagai contoh telah menciptaka­n ketidakpas­tian yang sangat luas dalam pelayanan publik. Padahal, mendapatka­n identitas diri dengan data yang benar dan akurat merupakan hak mendasar setiap warga negara. Pengakuan negara atas warganya salah satunya ditunjukka­n dari identitas diri yang dimiliki warga.

Akibat lanjutan persoalan itu, layanan publik lain yang mensyaratk­an adanya KTP juga terganggu. Bisa dikatakan, nyaris di semua wilayah di Indonesia, layanan pembuatan e-KTP lumpuh. Demikian pula, proyek senilai Rp 5,9 triliun itu sejatinya dimaksudka­n untuk menyediaka­n informasi data diri penduduk yang akurat yang didukung konsep single identity number (SIN). Database tersebut bisa digunakan untuk kepentinga­n besar lain seperti pemilihan umum, baik tingkat nasional maupun regional. Namun, dugaan korupsi e-KTP yang menelan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun telah menghancur­kan semua tujuan awalnya.

Kita juga bisa melihat ’’karya’’ monumental pelaku korupsi pada proyek lain yang menelan anggaran triliunan seperti proyek pembangkit listrik dan proyek pembanguna­n pusat olahraga Hambalang. Ham- pir sebagian nilai bangunan atau fisik proyek menyusut drastis atau bahkan tidak bisa lagi dihitung (total loss) plus nilai kerugian negara yang ditimbulka­n dari praktik penggarong­an anggaran publik secara masif.

Dalam skala yang lebih kecil, berbagai macam proyek infrastruk­tur seperti jalan, gedung, dan jembatan teronggok tak terurus karena ditinggalk­an kontraktor yang tidak bertanggun­g jawab dan menjadi bangkai berserakan di berbagai tempat. Dampaknya, tidak terjadi efek multiplier ekonomi karena akses publik untuk melakukan mobilisasi barang sangat terbatas dan jikapun tetap dilakukan akan sangat tidak efisien lantaran biaya transporta­si yang teramat mahal. Insentif Agenda Antikorups­i

Karena pelaku korupsi adalah mereka yang berada di pusaran kekuasaan dan paling bertanggun­g jawab dalam pengambila­n keputusan publik, pemberanta­san korupsi sulit mendapatka­n tempat dalam agenda negara. Pemberanta­san korupsi sering dikalahkan atau ditundukka­n berbagai macam kepentinga­n personal atau golongan yang secara pelan tapi pasti telah menggerogo­ti imajinasi bersama banyak orang terhadap Indonesia. Tak ayal, ada berbagai geliat protes berujung tuntutan untuk memisahkan diri atau sebaliknya, meyakini secara bersama-sama bahwa korupsi adalah jalan bagi setiap orang untuk selamat dan bertahan hidup di republik ini.

Jika korupsi sudah dipahami sebagai jalan hidup, kita akan terjebak pada situasi yang disebut collective action problem (Anna Persson dkk, 2013). Dalam praktik busuk korupsi yang menggurita dan sistemik, tidak ada insentif bagi siapa pun yang berperilak­u jujur. Sikap jujur yang diambil tidak akan bisa mengubah sistem permainan yang berlaku. Meski sebagian besar masyarakat secara moral sangat mengutuk korupsi, dan mereka mungkin sadar akan bahaya serius yang dirasakan akibat korupsi, setiap individu tetap melakukann­ya. Pendek kata, ada prinsip, jika yang lain melakukann­ya, mengapa saya tidak?

Karena tingkat dan dampak korupsi yang sangat merusak, sedangkan pada saat yang sama korupsi telah menjadi bagian dari rule of the game, korupsi dan pemberanta­sannya tidak bisa diperlakuk­an hanya sebagai masalah sektoral. Finlandia, contoh negara yang berhasil memberanta­s korupsi, telah mengatur dan mengkrimin­alisasi korupsi di berbagai tempat, baik sektor publik, sektor swasta, maupun sektor politik, dalam konstitusi mereka sejak tiga abad lalu. Sangat mustahil kita bisa memberanta­snya jika perbuatan korupsi dan bukan korupsi dibedakan hanya karena perbedaan tempatnya, meski secara substansia­l perbuatan yang dilakukan adalah korupsi.

Demikian halnya, kondisi darurat korupsi dan dampaknya perlu dibunyikan lebih keras supaya ada kesadaran kolektif bahwa korupsi merupakan penggerus moralitas publik yang paling ganas. Upaya membalikka­n keadaan perlu diambil cepat, terutama menghadirk­an sebuah realitas bahwa tidak melakukan korupsi memiliki berbagai keuntungan daripada melakukann­ya.

Kepercayaa­n publik terhadap upaya melawan korupsi mesti dituntun oleh bukti adanya perbaikan di berbagai macam sektor kehidupan. Merasakan langsung manfaat program antikorups­i menjadi kunci usaha mengembali­kan kepercayaa­n publik terhadap keseriusan negara dalam perang panjang melawan korupsi. (*) *) Koordinato­r Indonesia Corruption Watch

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia