Besok Pilgub, Jaga Ucapan
BESOK petang kita sudah bisa melihat siapa gubernur DKI Jakarta. Tentu, setelah pencoblosan usai, harapannya, segala ketegangan mereda. Siapa pun yang terpilih bisa diterima. Kalau tidak terima, salurkan ke wadahnya, seperti pengadilan. Lalu, kita kembali kerja… kerja… kerja… tanpa diwarnai perang kata-kata dan gambar, terutama di medsos. Sudah setahun lebih banyak perhatian publik tersita oleh urusan hajatan orang Jakarta itu.
Kita layak belajar banyak dari persaingan kecut di ajang demokrasi yang riuh ini. Kita perlu mengembangkan toleransi sekaligus sikap menahan diri. Jaga mulut. Dalam berbagai manifestasinya. Terutama di medsos yang dalam masa pilgub DKI ini menyampahkan begitu banyak pertengkaran dan berpuluh laporan kepada polisi dari pihak sana-sini. Ini gara-gara ada yang tidak bisa mengendalikan ucapan, yang biasa mencerca. Kata yang melukai seperti pisau tertancap di kayu. Meski dicabut dengan permintaan maaf, bekasnya tak hilang.
Perlu juga dikedepankan sikap fair. Terutama kepada pemegang institusi yang secara asasi seharusnya netral. Jangan memperagakan ikut berpolitik layaknya timses. Percayalah, satu– dua orang bisa dibodohi, tapi tidak semua orang. Kali ini pemegang kekuasaan terkesan abai terhadap sikap netral, tak seperti dalam dua pilgub DKI sebelumnya. Sikap emban
cindhe emban siladan alias pilih kasih dalam momen seterbuka pilgub tak akan membawa ke mana-mana, kecuali ke pertentangan yang makin tajam.
Jangan heran bila berjuta orang yang tak puas, baik di DKI maupun luar DKI, mencari jalan sendiri untuk mengoreksinya. Dan, kadang koreksi-koreksi itu, tak terelakkan, bisa mempertajam ketegangan. Apalagi bila akalakalan oleh pemangku kekuasaan tak berhenti. Sikap-sikap yang tak mengedepankan kene garawanan ( termasuk keselamatan negara) seperti itu wajib dirombak oleh ” revo lusi mental” sebelum merevolusi mental orang lain.
Politisasi agama juga dikritik terlalu kental dalam pilgub yang gaduh ini. Situasi itu memang sering membuat kita tak nyaman. Herannya, situasi seperti itu tak terdengar di pilkada-pilkada lain dengan calon yang plural. Pelajarannya, memang tak selayaknya agama dipolitisasi. Karena itu, jangan ”diundang” lewat ungkapan-ungkapan yang membuat umat serentak membela. Dan, memilih berdasar kesamaan agama jelas halal secara konstitusi, baik di sini maupun di dunia luar. Namun, lebih baik dan bermanfaat praktis lagi bila ditambah dengan melihat karakter, kejujuran, dan rekam jejak para calon serta programnya untuk rakyat segala lapisan.