Jawa Pos

Jaga Cinta di Balik Asrama

Mereka adalah para Bonek yang beruntung mendapat beasiswa dari Pemkot Surabaya lantaran punya prestasi. Kemarin mereka diwisuda dari Akademi Teknik dan Keselamata­n Penerbanga­n (ATKP) Surabaya. Sekolah yang penuh nuansa kedisiplin­an jagat aviasi.

-

GUNTUR Manuaba Sando memang Bonek. Sejumlah bentuk kenekatan pernah dia lakukan demi mendukung Persebaya, klub yang dicintainy­a. Nggandol truk secara estafet sudah biasa, ngamen cari makan sudah biasa

Digelandan­g pihak berwajib juga sudah pernah.

Tapi, semua ”kebengalan” itu ditebusnya dalam wisuda taruna Akademi Teknik Keselamata­n Penerbanga­n (ATKP) Surabaya kemarin (17/4).

Selain Guntur, ada 11 Bonek lainnya yang disekolahk­an oleh Pemkot Surabaya. Bersama dengan 44 taruna lainnya, mereka melempar topi kemenangan ke langit yang mendung di tengah rintik-rintik hujan.

Ibu Guntur, Nani Feni Faridha, menonton dari kejauhan dengan tatapan nanar. Terbayar sudah energi bertahun-tahun yang dihabiskan untuk meluluhkan si anak.

Setahun di asrama, Guntur harus berpuasa menonton pertanding­an. Dahulu dia paling tidak bisa diam kalau mendengar ada jadwal pertanding­an Persebaya. Sejak masuk ATKP pada 2016, dia benarbenar berkomitme­n untuk serius sekolah. Tidak ingin lagi menggores hati sang ibu. Dan, Persebaya pun masih vakum selama empat tahun dalam kancah kompetisi resmi sepak bola nasional.

Namun, awal 2017, sayup-sayup gema kebangkita­n Green Force terdengar dari balik tembok asrama. Bonek sedang berjuang agar klub kesayangan mereka bisa kembali berlaga. Dari sudut-sudut Surabaya, Bonek bergerak bersama. Persebaya akhirnya bangkit dengan mana- jemen dan semangat yang anyar. Green Force akan berlaga dalam kompetisi Liga 2.

Di kamar asramanya, Guntur dengan kawan-kawan Bonek tidak pernah berhenti membicarak­an Persebaya. Terutama menjelang laga homecoming Persebaya di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Maret lalu.

”Katanya diliput JTV,” kata seorang kawan.

”Wah, sayang nggak isok ndelok,” cerita Guntur menirukan pembicaraa­n kawan-kawannya.

ATKP memang ketat. Urusan penerbanga­n memang tidak boleh sembaranga­n. Para taruna disiplin layaknya para tentara. Guntur dan para wisudawan selalu berdiri tegak dan memberi hormat jika berpapasan dengan dosen, senior, maupun pejabat ATKP.

Di asrama, mereka tidak diperboleh­kan membawa HP. Jadwal melihat televisi pun dibatasi sehabis salat Magrib hingga sekitar pukul 20.00. Setelah itu, mereka bersiap untuk kegiatan esoknya.

Tapi, namanya juga Bonek. Selalu menemukan cara untuk menyalurka­n kerinduan pada tim kesayangan. Guntur bercerita bahwa dirinya dan kawan-kawan Bonek lain sering mencuri-curi waktu di sela-sela tugas kuliah. Sekadar browsing perkembang­an terakhir klub, cuplikan, maupunhasi­lpe rtandingan. Itu pun dilakukan sembun yisembunyi di lab komputer.

Mereka akan ribut dengan rasan-rasan begitu Persebaya melakoni pertanding­an, merekrut pemain anyar, atau informasi semacam jersey anyar. ”He, Persebaya mari iki entuk pemain rek,” kata Guntur.

Darah Bonek Guntur dimulai sejak SMP. Bersama anak-anak Bonek Simo Gunung, dia tidak pernah mau kehilangan momen bersama Persebaya. Guntur aktif di Bonek Student Club (BSC) binaan Bonek Tribun Utara (Green Nord).

Guntur juga menyaksika­n episode berdarah saat kereta yang membawa Bonek melintas di daerah Deket, Lamongan. Saat itu, Maret 2012, Bonek baru saja pulang menonton Persebaya melakoni laga menghadapi Persibo Bojonegoro. Guntur tengah bergelantu­ngan di tangga besi di pinggir gerbong. Ruang dalam hingga atap gerbong sudah sesak.

Guntur ingat betul saat itu tiba-tiba batu melayang ke arah mereka. Entah dari mana. Ketika tiba di Surabaya, tahu-tahu Guntur mendengar bahwa rekan satu gerbongnya terjatuh saat insiden pelemparan. ”Yang meninggal salah satunya dari Simo Gunung barat tol. Katanya sih satu gerbong sama saya,” cerita Guntur.

Berangkat ke Bojonegoro, Guntur bersama kawan-kawannya nggandol truk dari Surabaya sampai Lamongan. Caranya estafet. Ketika satu truk tak mampu mengantark­an lebih jauh atau berubah arah, mereka berganti melompat ke truk lainnya.

Mereka tidak membawa uang sepeser pun. Hanya sebuah gitar ukulele kecil yang menjadi andalan. Mereka mengamen di jalan-jalan Bojonegoro sambil menunggu waktu pertanding­an.

Saat pertanding­an dimulai, sial menimpa. Si gitar tidak boleh dibawa masuk ke stadion. Khawatir beralih fungsi dari alat musik menjadi alat pentung. ” Kan tidak mungkin juga kita tinggal di luar. Itu sandang pangan kita,” katanya. Mereka akhirnya berurusan dengan pihak berwajib demi mbelani si gitar.

Nani, sang ibu, mengakui bahwa anak keduanya itu paling nakal dan susah diatur. Guntur pernah beberapa kali minggat dari rumah karena menolak dimasukkan ke pondok pesantren. Dia bersembuny­i di atas genting rumah temannya saat orang tuanya mencari. ”Makan hati terus kalau urusan sama dia,” kata Nani sambil meletakkan tangan di dada.

Bertahun-tahun sejak SMP hingga SMA, Nani berusaha sabar menghadapi Guntur. Dia selalu berupaya mengajak bicara dari hati ke hati. Tapi, Guntur selalu punya alasan untuk membantah. Katanya, anak yang nakal belum tentu tidak bisa sukses. ”Dia sebut nama-nama kiai besar yang masa mudanya nakal,” katanya.

Ketika Jawa Pos bertanya siapa para kiai tersebut, Guntur cuma cengar-cengir. ” Akeh Mas, wis seda kabeh (sudah meninggal semua, Red),” sambarnya enteng. (Taufiqurra­hman/c6/dos)

 ?? DITE SURENDRA/JAWA POS ??
DITE SURENDRA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia