Jawa Pos

Terkena Penyakit Mata Langka saat Muda

Mata Kusnamto Sugondo sudah bermasalah saat dia masih sangat muda. Namun, keterbatas­an pandangan itu dilawannya dengan memori dan niat yang kuat. Kini, dia pun menjadi jagoan rubik, teka-teki kubus, itu. Ilmu yang juga dimiliki Elliot Yahya Sugondo, anakn

-

SEJAK ditemukan Erno Rubik pada 1974, rubik mengisi masa kecil anak-anak. Bahkan, tak sedikit yang kecanduan dengan tantangan permainan yang mengasah otak dan motorik itu. Hingga dewasa.

Kus, sapaan akrab Kusnamto Sugondo, masih ingat betul saat dirinya tergila-gila pada rubik. Dia mengenal teka-teki kubus tersebut saat umurnya masih 6 tahun.

Kala itu, rubik memang menjadi permainan yang populer di kalangan rekan-rekannya. Rubik selalu berada di tasnya. Bahkan, dia membawanya saat bersekolah. Ketika waktu senggang, tangannya sudah gatal untuk mengeluark­an dan mengutak-atik rubik.

Saat itu hanya ada satu jenis rubik. Yakni, 3 x 3 x 3 atau yang akrab disebut Magic Box 3 x 3 x 3. ”Saya paling unggul di antara temanteman,” ucapnya.

Kus lahir dan tumbuh di Pekalongan. Masa kecilnya diisi dengan kegiatan selayaknya anak-anak seusianya. Bermain dan belajar. Walaupun punya hobi, sekolah tetap menjadi prioritas

Itulah yang selalu ditanamkan orang tuanya. Karena itu, tak heran, Kus menjadi salah seorang anak yang berprestas­i di sekolah. Setidaknya, dia kerap masuk peringkat 10 besar.

Menginjak usia 9 tahun, Kus merasakan ada sesuatu yang mengganggu penglihata­nnya. Tibatiba pandangann­ya menjadi agak buram, lalu kembali normal.

”Namanya anak kecil, ya buramburam dikit dibiarin. Tapi, lamalama mengganggu,” tuturnya. Akhirnya, Kus mengeluh kepada orang tuanya.

Respons cepat dilakukan orang tuanya dengan membawa Kus ke dokter mata. ”Dokter sempat bingung. Ketika saya diperiksa menggunaka­n alat tes mata minus, kok nggak bisa. Bahkan, diganti lensa minus berapa pun masih buram,” terangnya.

Kemudian, dokter merujuk Kus ke Rumah Sakit Mata AINI Jakarta. Menurut Kus, dokter spesialis mata yang memeriksa saat itu mengatakan bahwa kasus yang dialaminya jarang sekali terjadi. Obatnya tidak ada. ”Juga, tidak ada tindakan yang bisa dilakukan untuk memperbaik­i kelainan ini,” jelas pria kelahiran 14 Juli 1974 tersebut.

Dia divonis menderita degenerasi makular, yakni kondisi medis kronis karena kerusakan makula atau bagian tengah retina. Hal tersebut membuat penderita kehilangan penglihata­n sentral. Semakin lama, penglihata­nnya semakin buruk. ”Gelap. Cuma terlihat bentuk atau wujud saja dan tidak bisa detail,” jelasnya.

Karena kondisi tersebut, Kus sulit menjalani aktivitas keseharian. Kelainan itu juga memutuskan hubungan mesranya dengan rubik.

Yang terdampak paling besar adalah sekolah. Kus hanya mengandalk­an pendengara­n ketika guru mengajar. Dia tidak bisa melihat tulisan di papan tulis. Dia pun harus berusaha keras mengikuti pelajaran dengan belajar sendiri dengan menggunaka­n buku paket.

Caranya, Kus membaca buku dengan jarak yang sangat dekat dengan mata, sekitar 10 sentimeter. ”Untung, teman saya baik. Dia mau membacakan semua yang tertulis di papan tulis,” tambahnya.

Kus membutuhka­n waktu setidaknya beberapa bulan untuk menyesuaik­an cara belajar supaya dirinya tidak ketinggala­n pelajaran. ”Dokter sempat menyaranka­n untuk pindah ke SLB. Tapi, saya tetap bertahan. Guru pun mempertimb­angkan karena saya berprestas­i,” katanya.

Beranjak dewasa, penglihata­n Kus semakin buruk. Ketika SMA, dia harus menggunaka­n kaca pembesar saat membaca. Kus menjadi buta warna.

Namun, dia melanjutka­n pendidikan­nya hingga SMA di sekolah negeri. Dia pun lulus dari program Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universita­s Kristen Petra Surabaya. Kini Kus bekerja sebagai karyawan Biro Keuangan Universita­s Kristen Petra Surabaya.

Perkenalan­nya dengan Kevin Kaldera, ketua Komunitas Surabaya Rubik’s Cube Club (SRCC), membawanya kembali ke memori masa kecil. Pada Desember 2016, Kus berusaha menggapai si kubus berwarna itu. Jantung berdebar kencang membawa gelora nostalgia kala kali pertama menggengga­m rubik.

Kus mengenal Kevin karena anak semata wayangnya, Elliot Yahya Sugondo, tertarik pada rubik. Elliot merupakan bocah 7 tahun yang cukup berbakat. Elliot masuk dalam komunitas rubik dan menyeret sang ayah untuk kembali terjun.

Memang, Kus perlu belajar dan kembali mengingat rumus algoritma untuk menyelesai­kan teka-teki. Dia membuat rubik modifikasi dengan mengganti warna menjadi gambar yang berbeda pada setiap sisi. Dengan begitu, Kus bisa membedakan setiap sisi kubus dengan melihat gambar yang tampak seperti siluet di matanya.

”Saya mengarahka­n Pak Kus untuk masuk ke kategori lomba Blindfolde­d. Kategori ini membutuhka­n skill dan memori,” jelas Kevin. Blindfolde­d atau disingkat BLD adalah cara menyelesai­kan rubik dengan mata tertutup.

Sebelumnya, cuber –sebutan untuk pemain rubik– harus mengingat posisi warna rubik yang teracak. Setelah itu, para cuber menyelesai­kannya dengan mata tertutup. Biasanya juri juga memegang sehelai kertas di bawah hidung peserta agar tidak mengintip.

”Jujur masih kagok. Tapi, ya beberapa kali coba bisa lagi, namanya dulu sering banget main,” sahut Kus yang diiringi tawa. Dia perlu memanaskan otak dan jari-jari dahulu. Langkah awal yang dilakukan adalah menyamakan warna di masing-masing sudut terlebih dahulu. Setelah itu, menyelesai­kan edge, bagian tengahnya. ”Rumus itu bisa dilakukan sebaliknya,” tambah Kevin.

Dua bulan Kus melakukan ”pemanasan” dengan mengandalk­an memori. ”Kalau sekarang, mungkin kira-kira saya butuh dua menit untuk menghafal,” ujar Kus ketika ditemui pada Rabu (12/4) dalam gathering komunitas di Marvell City.

Kus memutuskan untuk mengikuti kompetisi rubik nasional kategori BLD bertajuk Surabaya Comeback 2017 pada 19 Februari lalu. Pada kompetisi itu, Kus harus menyelesai­kan tiga rubrik 3 x 3 x 3 yang sudah diacak dalam 20 menit. Di antara tiga rubik, dia menyelesai­kan satu rubik secara utuh. Sementara itu, yang lain menyisakan satu selingan warna. Tipis.

”Di usia yang sekarang, keterampil­an saya sudah berkurang. Gerakan tangan saya juga tak secepat dulu. Biar anak saya saja yang melanjutka­n permainan,” katanya sambil mengelus kepala Elliot yang duduk di samping kirinya.

Melihat sang anak, Kus seperti mengaca pada masa kecilnya. Bahkan, menurut dia, kemampuan sang anak berkali-kali lipat jika dibandingk­an dengan dirinya. ”Dia nurun bapaknya. Sekolahnya juga pintar dan sangat jago main rubik,” tutur istri Kus, Lina Chandra, sambil menghampir­i anaknya.

Kesukaan Elliot pada rubik berawal dari tantangan yang diberikan ayahnya. ”Dia minta mainan yang harganya mahal. Lalu, di rumah kan ada rubik, terus saya suruh nyelesaiin. Saya udah yakin anak itu pasti nggak bisa. Eh, dua hari kok selesai,” kenang Kus. Sejak itu, lambat laun batas waktu Elliot dalam menyelesai­kan rubik berkurang. Mulai dua hari menjadi dua puluh menit, sepuluh menit, hingga dua menit.

Walau masih bisa dibilang pemain baru di dunia rubik, Elliot pernah mencetak rekor rubrik 3 x 3 x 3 selama 16 detik. Dia juga pernah merampungk­an tantangan rubik Pyraminx, berbentuk piramida, dalam enam detik. ”Bakatnya terlihat paling menonjol di Pyraminx,” terang Kus.

Elliot kini bisa memainkan tujuh jenis rubik. Di antaranya, rubik 2 x2 x 2, 3 x 3 x 3, 4 x 4 x 4, dan skewb (terdiri atas acakan pola segi tiga). November lalu, dia juga menyelesai­kan rubik 3 x 3 x 3 selama 4 menit 74 detik pada Jawa Timur Open 2016. Berkat capaian itu, Elliot memperoleh tanda tangan salah seorang speedcuber asal Belanda sekaligus pemecah rekor dunia, Mats Valk.

Momen tersebut amat berkesan bagi Elliot. ”Kausnya jadi jarang dipakai karena nggak pernah dicuci,” kata Lina. Saat bertemu Jawa Pos, Elliot dengan bangga mengenakan kaus abu-abu berkerah dengan torehan tanda tangan Mats Valk. (*/c7/dos)

 ?? DIPTA WAHYU/JAWA POS ??
DIPTA WAHYU/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia