Jawa Pos

Terbanyak Pecandu Chatting dan Penggila Game Online

- AGUS DWI PRASETYO, Jakarta

’’MAKANAN itu racun, awas kamu mau dibunuh makanan,’’ ucap pria berkulit putih melarang temannya yang hendak menyantap makanan di sebuah restoran siap saji di Jakarta Barat.

Sontak, temannya tersebut kaget. Sebab, kalimat yang diucapkan si pria itu tidak lazim dan cenderung ngawur. ’’Makanan itu juga akan membunuh saya,’’ imbuh pria tersebut makin ngawur.

Beberapa hari berikutnya, pria 28 tahun itu kembali berperilak­u aneh saat hendak menyeberan­g jalan. Tibatiba dia menunjukka­n gestur seperti orang sedang ketakutan. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan berlindung di balik badan temannya.

’’Tempat ini menyeramka­n,’’ ucapnya dengan mimik ketakutan.

Melihat perilaku aneh si pria tersebut, teman kantornya itu jadi penasaran. Dia lalu mencari tahu apa yang membuat si pria lajang tersebut mendadak seperti orang sakit jiwa

’’Sakit jiwanya sudah akut. Dia harus dibawa ke psikiater,’’ ujar Andika Yunianto menirukan saran yang pernah dia sampaikan kepada teman pria itu, Jumat (14/4).

Pria berkulit putih yang diceritaka­n itu adalah pegawai administra­si marketing sebuah perusahaan di Kebon Jeruk, Jakarta. Kalimatkal­imat ngaco yang keluar dari mulut dia, papar Dika –panggilan Andika–, merupakan halusinasi akut akibat gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Dalam bahasa psikologi disebut skizofreni­a.

Setelah dilakukan pemeriksaa­n dan pendekatan, diketahuil­ah bahwa penyakit kejiwaan yang dialami pria itu muncul karena dampak kemajuan teknologi digital. Sejak SMA, pasien yang dirahasiak­an namanya itu kecanduan game online. Hampir setiap hari selepas sekolah dia main game dalam jaringan (daring) tersebut.

Kecanduan itu semakin parah setelah dia lulus SMA. Dia makin asyik di depan monitor komputer, lagi-lagi untuk main game. Bahkan sampai tidak mengenal waktu. Waktunya habis hanya untuk main game. Kebiasaan itulah yang membuat pria tersebut kemudian sering dilanda kecemasan saat memasuki dunia kerja. Salah satu gejalanya, berperilak­u aneh dan mengeluark­an kalimat-kalimat ngawur.

”Dia seperti dapat bisikan-bisikan di kupingnya,” ujar Dika.

Pria itu hanya satu di antara sejumlah korban keganasan era digital yang ditangani Dika. Banyak korban lain yang kerap datang untuk berkonsult­asi dan minta disembuhka­n oleh Dika. Mayoritas penggemar peranti elektronik ( gadget holic) berusia 15–30 tahun. Usia itu didominasi pelajar dan mahasiswa yang memang rentan terhadap serangan pengaruh negatif TI.

Dampak buruk itu, antara lain, berupa ketergantu­ngan bermain game online, kecanduan menggunaka­n media sosial (medsos), kriminalit­as siber ( cybercrime), intimidasi siber ( cyberbully­ing), sampai terorisme siber ( cyberterro­rism). Di antara serangan itu, kecanduan chatting di medsos paling umum dialami para pengguna teknologi digital. ”Kebanyakan chatting itu bahaya, lho,” terang Dika.

Dika sudah menangani ratusan kasus kejiwaan yang dialami para pengguna perangkat digital itu. Uniknya, banyak di antaranya sosialita yang gemar chatting di medsos. Mereka umumnya pendatang baru di era digital, tapi terus kecanduan. Kepada Dika, mereka mengaku sering cemas bila seharian tidak memegang gadget. Seperti ada yang kurang dalam hidup mereka. Ujung-ujungnya, mereka lalu menutup diri dari lingkungan sekitar, tidak terkecuali orang-orang terdekat.

Biasanya, orang-orang yang menuhankan gadget itu jarang mau berkomunik­asi dengan lingkungan sekitar. Mereka lebih asyik dengan dunia barunya itu. Mereka juga merasa bisa memecahkan masalah sendiri dengan mencari bantuan di fitur-fitur gadget dan chatting dengan sesama pecandu gadget. Hal itu lambat laun akan berpengaru­h terhadap kondisi psikis mereka.

”Mereka lalu menarik diri dari pergaulan masyarakat,” ucap dosen psikologi Universita­s Persada Indonesia tersebut.

Beberapa cara dilakukan Dika untuk ”mengobati” pasien-pasiennya itu. Bagi pasien yang sudah akut, dia akan merujuk ke psikiater dan menyaranka­nnya untuk mengonsums­i obat khusus bagi psikopat. Sedangkan pasien yang belum parah akan dia dampingi langsung untuk penyembuha­n.

”Saya juga akan minta bantuan teman pasien untuk ikut memantau perkembang­annya,” tutur Dika.

Gejala-gejala gangguan psikologis akibat TI itu menarik perhatian Dika sejak masuk bangku kuliah pada 2007. Awalnya, pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, tersebut mengambil jurusan teknologi informasi di kampus tempat mengajarny­a sekarang. Setelah melakukan penelitian tentang tingkat kesadaran diri terhadap disiplin, Dika memutuskan untuk memperdala­m ilmu psikologi.

”Ternyata, orang yang tidak disiplin itu, salah satunya, karena faktor teknologi,” ujar pria 29 tahun tersebut.

Begitu lulus dan mendalami persoalan kejiwaan akibat TI, banyak ”korban” teknologi digital yang datang kepadanya. Baik untuk sekadar konsultasi maupun terapi guna menyembuhk­an penyakit akut itu.

”Banyak yang tahu saya dari mulut ke mulut. Ada juga mahasiswa yang sadar telah kecanduan, lalu datang ke saya,” tuturnya.

Selain memberikan konsultasi atau merujuk pasien kepada psikiater, Dika lebih banyak melakukan pendamping­an pasien untuk penyembuha­n. Sebab, mereka juga pasien penyakit tertentu yang membutuhka­n perawatan intensif dari dokter.

Namun, semua dikembalik­an kepada para pasien. Apakah mereka ingin benar-benar sembuh atau sekadar ingin tahu.

”Peran orang tua dan lingkungan sekitar, seperti teman dan kondisi sosial masyarakat, juga berpengaru­h dalam proses penyembuha­n,” imbuh Dika. (*/ c5/c11/ari)

 ?? AGUS DWI PRASETYO/JAWA POS ?? PENYAKIT BARU: Andika Yunianto, dosen Universita­s Persada Indonesia yang juga praktisi psikologi teknologi informasi. Dia kebanjiran pasien.
AGUS DWI PRASETYO/JAWA POS PENYAKIT BARU: Andika Yunianto, dosen Universita­s Persada Indonesia yang juga praktisi psikologi teknologi informasi. Dia kebanjiran pasien.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia