Jawa Pos

Bersyukur Lolos dari Penyakit Lupus

-

BAPAKBAPAK Majelis Hakim Yang Mulia,

Jalannya perkara ini mungkin seperti rujak cingur untuk Saudara Wisnu Wardhana, tapi seperti rujak sentul untuk saya: kami ngalor, jaksa ngidul

KARENA tidak ada yang baru dari replik bapak jaksa dan hampir tidak ada sanggahan sama sekali atas pleidoi kami, maka duplik ini saya manfaatkan untuk mengungkap­kan rasa syukur saya kepada Allah SWT bahwa:

Selama sidang saya bisa melewati masa kritikal saya sehingga lolos dari serangan penyakit lupus yang hampir saja mengenai saya. Saya berterima kasih atas izin berobat yang diberikan kepada saya.

Semula saya masih berharap hasil diagnosis tim dokter Rumah Sakit dr Soetomo Surabaya yang mengatakan bahwa saya di ambang terserang penyakit lupus itu keliru. Ternyata, hasil pemeriksaa­n di RS Di Yi Zhong Xin Yi Yuan, Tianjin, sama. Alhamdulil­lah, langsung ditangani.

Sayang, waktu berobat hanya satu minggu sehingga tidak mungkin mengatasi ancaman penyakit tersebut secara tuntas. Serangan lupus tersebut datang akibat terganggun­ya keseimbang­an imunitas di tubuh saya. Alhamdulil­lah bahwa izin berobat tersebut telah membuat masa kritikal saya itu lewat.

Memang, ancaman penyakit lupus masih terus mengintai saya setiap saat. Ini karena obat yang saya minum setiap hari memang berdampak menurunkan sistem imunitas tubuh saya. Namun, saya tidak mungkin tidak minum obat tersebut karena hati yang terpasang di tubuh saya sejak 10 tahun yang lalu itu tetap dianggap benda asing oleh sistem tubuh saya yang asli.

Seperti diketahui, 14 tahun yang lalu, saya didiagnosi­s terkena sirosis dan kanker hati. Selama dua tahun (2003–2005) saya harus mondar-mandir Surabaya–Singapura untuk mencoba segala macam upaya.

Upaya yang darurat adalah bagaimana mengatasi munculnya banyak gelembung darah di sepanjang saluran pencernaan saya agar tidak muntah darah lagi. Juga untuk mengatasi bengkaknya tubuh saya. Susu saya kian montok sehingga mirip perempuan. Kaki saya juga membesar sehingga tiap tiga bulan harus ganti ukuran sepatu. Semua itu saya jalani sambil terus bekerja keras untuk perusahaan­perusahaan saya dan untuk membenahi PT PWU. Tentu banyak dokumen yang mau tidak mau tetap harus saya tanda tangani meski sering kali harus menunggu kepulangan saya dari luar negeri.

Sampai saat itu, saya masih bisa merahasiak­an sakit saya. Saya baru tidak bisa lagi merasa sehat setelah harus menjalani kemoterapi di Singapura yang mengakibat­kan kondisi tubuh saya menurun drastis. Namun, karena kemo tersebut tidak berhasil pada tahun 2005, saya harus lebih banyak tinggal di RRT mencoba pengobatan alternatif di Kota Yantai, Provinsi Shandong. Juga di Kota Harbin, Provinsi Heilongjia­ng, dekat Rusia.

Ternyata juga gagal. Kankerkank­er hati saya terus membesar. Saya kemudian menjalani pengobatan modern lagi. Tiga buah kanker yang sudah besar di dalam hati saya itu dibakar. Agar mati. Yang kecil-kecil dibiarkan dulu. Sebulan kemudian ternyata hidup lagi. Dibakar lagi. Dua bulan kemudian hidup lagi. Sementara itu limpa saya juga terus membesar yang mendekati pecah. Dokter memutuskan memotong limpa saya sepertigan­ya.

Operasi pemotongan limpa ini sangat kritis. Dokter Singapura sebenarnya melarang pemotongan itu mengingat risikonya fatal. Dokter Singapura memilih membuang saja limpa saya. Saya harus mondar-mandir RRT–Singapura untuk membuat keputusan apakah limpa saya dipotong atau dibuang. Akhirnya, saya memutuskan dipotong saja. Di sebuah rumah sakit tradisiona­l di RRT.

Semua itu belum menyentuh inti persoalan, sebelum kanker hatinya dituntaska­n. Limpa yang sudah dipotong pun membesar lagi. Kanker yang sudah dibakar hidup lagi. Akhirnya, saya jalani upaya sapu jagat: ganti hati. Belum tentu berhasil, tapi tidak ada pilihan lain. Berhasil pun ada syaratnya: saya harus minum obat penurun imunitas setiap hari. Seumur hidup.

Risiko berikutnya adalah saya mudah terkena penyakit. Atau tertular penyakit. Atau terkena lupus seperti yang hampir terjadi beberapa minggu lalu itu. Kini, setiap kali saya terkena sariawan yang bersamaan dengan munculnya bintik-bintik merah di wajah saya atau ada gumpalan ketombe di dalam rambut saya, saya harus ekstrawasp­ada.

Alhamdulil­lah Yang Mulia, di tengah tekanan bertubi-tubi ini, saya bisa melewati masa-masa kritikal itu. Seberat apa pun perjalanan ini tidak lagi saya rasakan berat karena saya sudah merasakan yang jauh lebih berat dari semua ini.

Lebih alhamdulil­lah lagi, dari persidanga­n ini terbukti tidak ada fakta yang mengatakan saya menikmati uang atau menerima aliran uang atau menerima sesuatu.

Kepada Saudara Sam Santoso yang mengakibat­kan saya jadi terdakwa ini, saya tetap mendoakan agar cepat sembuh, kian kaya raya, dan berumur panjang.

Kepada jaksa yang masih mudamuda dan ganteng-ganteng, ini saya doakan karirnya lancar, pangkatnya terus naik, dan jabatannya meningkat setelah selesainya perkara ini. Yang Mulia, Kapal layar keadilan harus terus diarungkan.

Alhamdulil­lah ya Allah, layarku bisa berkembang.

Alhamdulil­lah ya Allah, tibatiba badai menerpa dan layarku tetap berkembang.

Alhamdulil­lah ya Allah, lautku tenang.

Alhamdulil­lah ya Allah, tibatiba datang gelombang dan layarku tetap berkembang.

Alhamdulil­lah ya Allah, langit terang penuh bintang.

Alhamdulil­lah ya Allah, tibatiba mendung dan badai menyapunya, namun arah layarku tidak berubah. Alhamdulil­lah, lautku pasang. Alhamdulil­lah, lautku surut. Alhamdulil­lah, lautku tenang. Alhamdulil­lah, lautku ribut. Alhamdulil­lah, lautku terang. Alhamdulil­lah, lautku berkabut. Alhamdulil­lah, ada laut. Tipikor Surabaya, 18 April 2017 Dahlan Iskan

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia