Akuntabilitas Perencanaan Pemda Kurang Fokus
Akibatkan Serapan Tak Sesuai Target
JAKARTA – Akuntabilitas perencanaan yang dilakukan pemerintah daerah (pemda) tengah menjadi sorotan. Sebab, berdasar evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) Maret lalu, ada ratusan pemda yang mendapat nilai kurang memuaskan dalam penerapan akuntabilitas perencanaan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, hasil evaluasi Kemen PAN-RB menjadi perhatian jajarannya. Sebab, masih banyaknya daerah dengan akuntabilitas buruk adalah potret dari perencanaan pembangun daerah yang tidak fokus.
’’Perencanaan anggarannya kurang bagus karena fokus perencanaan tidak jelas. (Sehingga) penyerapannya tidak mencapai target,” kata dia setelah menghadiri Musrenbang Kalimantan di Jakarta kemarin (18/4).
Untuk itu, Tjahjo meminta pemda bisa membuat program kerja yang jelas dan manfaatnya terukur. Nah, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah perencanaan yang detail dan disesuaikan dengan kondisi daerah. Dengan demikian, dapat dipastikan anggaran ataupun target pelaksanaannya. ”Misalnya, di Kalbar ada perbatasan. Itu bisa jadi fokus. Kotanya tidak punya jembatan layang. Jadi, dibangun jembatan layang,” imbuhnya.
Seperti diketahui, berdasar hasil penilaian sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) pada 2016, masih banyak daerah yang memperoleh nilai C ke bawah. Untuk kategori provinsi misalnya, hanya 3 provinsi yang mendapat nilai A, 7 provinsi mendapat nilai BB, 12 provinsi mendapat nilai B, dan 10 provinsi mendapat nilai CC, serta 2 provinsi mendapat nilai C.
Adapun untuk kategori pemerintah kabupaten/kota, hanya ada dua kabupaten/kota yang mendapatkan nilai A. Sementara itu, 10 kabupaten/kota mendapatkan nilai BB, 57 kabupaten/ kota mendapatkan nilai B, dan 199 mendapatkan nilai CC. Adapun yang mendapatkan nilai C sebanyak 193 kabupaten/kota dan nilai D diperoleh 14 kabupaten/kota.
Untuk itu, pada April ini, pemerintah pusat terus melakukan pendampingan terhadap pemda. Kebetulan, bulan ini adalah momen bagi pemda melaksanakan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). ’’Kita pendampingan di musrenbang. Di musrenbang provinsi, kami hadir. Baru nanti tanggal 26 kita musrenbang nasional dipimpin Bapak Presiden. Supaya skala prioritas daerah ada penyelarasan,” tuturnya. (far/c6/agm)
– Satu per satu poin krusial dalam draf revisi UndangUndang Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu) akhirnya disepakati. Yang terbaru, panitia khusus (pansus) satu suara soal ambang batas parlemen ( parliamentary threshold) sebesar 5 persen. Sedangkan isu penting lainnya masih alot. Lobi ketua-ketua partai pun dilaksanakan untuk mencapai kata sepakat.
Ketua Pansus Revisi UU Pemilu Lukman Edy menyatakan, pihaknya bekerja keras menuntaskan pembahasan UU baru yang akan menjadi payung hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2019 itu. Panitia kerja (panja) melakukan rapat de ngan pemerintah secara maraton.
Menurut Lukman, sudah banyak yang dihasilkan. Poin krusial juga mulai disepakati. Fraksi sudah satu suara dalam beberapa poin penting. Salah satunya terkait dengan ambang batas parlemen. Semua pihak sepakat bahwa partai politik bisa duduk di parlemen (DPR) jika meraih 5 persen perolehan suara nasional. Kalau suara yang diraih tidak sampai 5 persen, partai tidak bisa mengutus wakilnya untuk duduk di DPR.
Sebelumnya, ungkap Lukman, ada partai yang ngotot mengusulkan 7 persen suara. Setelah dilakukan lobi-lobi, akhirnya partai itu melunak dan sepakat dengan angka 5 persen. ”Ambang batas parlemen sudah final,” ujarnya kemarin (18/4).
Politikus PKB tersebut menambahkan, angka itu lebih tinggi daripada ambang batas parlemen pada Pemilu 2014. Saat itu parliamentary threshold hanya 3,5 persen. Dalam draf revisi UU Pemilu, pemerintah mengusulkan angka yang sama. ”Setelah pembahasan panjang, akhirnya disepakati angka 5 persen,” ucap dia. Dengan penerapan ambang batas parlemen 5 persen, praktis syarat penempatan wakil parpol di DPR makin berat dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Bagaimana poin krusial lainnya