Jawa Pos

Pesta Halloween Pilkada Jakarta

-

PESTA demokrasi. Istilah yang satu itu cukup mentereng. Ia selalu hadir dalam perhelatan akbar pemilu. Mulai pilbup, pilwali, pilgub, sampai pilpres. Menilik namanya, seharusnya pesta demokrasi –mulai pilbup hingga pilpres– berjalan dengan suasana batin yang sangat menyenangk­an. Juga menenangka­n hati siapa pun. Baik yang terlibat langsung dalam pesta demokrasi maupun yang sama sekali tidak terlibat dalam hajatan tersebut. Seperti itulah sesungguhn­ya pesan kuat yang memancar dari kata ”pesta”.

Silakan tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Buka lema ”pesta”. Akan Anda dapati arti ”pesta” yang begitu gamblang: perjamuan makan minum, bersukaria, dsb. KBBI juga mengartika­n ”pesta” dengan ”perayaan”. Dari definisi itu bisa disimpulka­n, yang namanya pesta demokrasi (seharusnya) merupakan perayaan demokrasi. Dilaksanak­an dengan suasana sukacita. Diselingi perjamuan makan dan minum. Namun tidak sampai condong kepada kesan hura-hura. Apalagi huru-hara.

Sangat disayangka­n, pesta demokrasi yang kita lihat selama ini hanya indah di dalam kamus. Tidak indah di alam nyata. Semua gawe pemilihan umum di negara ini nyaris tak ada yang sepi dari pertentang­an dan ketegangan. Dari dulu sampai sekarang belum ada perjamuan makan-minum dalam pesta demokrasi kita. Yang ada adalah sikap kekanak-kanakan. Semangat untuk saling mengalahka­n lawan dengan bumbu-bumbu penuh kebencian.

Contoh paling mutakhir dan nyata adalah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Pemilihan DKI-1 itu sangat menegangka­n sejak putaran pertama. Situasinya pun makin menjadi-jadi menjelang putaran kedua yang dihelat hari ini.

Makin mendekati hari H, suasana kebatinan masyarakat semakin tidak keruan. Kedua kubu yang sedang bertarung berikut para pendukung dan penyokongn­ya menggunaka­n berbagai cara. Mereka menggunaka­n jurus sekali pukul terkena dua sasaran sekaligus: menarik simpati dengan menjatuhka­n lawan atau menjatuhka­n lawan untuk mencari simpati. Maka, sikap-sikap tak terpuji dan keji setiap hari tersaji. Mereka rajin menguarkan sesuatu yang menggempar­kan di semua lini media (cetak, elektronik, sampai medsos). Pokoknya, tiada hari tanpa aktivitas merisak dan merundung. Bahkan, entah disadari atau tidak, yang mereka lakukan sudah condong pada segregasi.

Yang paling menyeramka­n adalah berseliwer­annya fitnah. Fitnah berbalas fitnah. Kubu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) menuduh kubu Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi) telah membohongi rakyat Jakarta dalam kampanyeny­a. Sebaliknya, kubu Anies-Sandi menuding kubu Ahok-Djarot yang membohongi rakyat. Tuduhantud­uhan dan berbagai kampanye hitam lainnya sengaja tidak saya sajikan dalam tulisan ini. Terutama tuduhan-tuduhan yang provokatif. Pastinya, pilgub Jakarta telah melahirkan para pengacum. Secara masif mereka mengacum di medsos ( Twitter, Facebook, dan saudarasau­daranya). Saban hari. Dengan menu superkhusu­s: demagogi.

Mereka bekerja sangat liar. Seolah tidak mengenal adanya abar-abar. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) seperti kehilangan fungsi. Salah tingkah. Kerjanya kurang lajak. Seolah ia kehilangan kewaskitaa­nnya. Padahal, yang dilakukan kedua kubu sangat terang benderang. Polisi juga terkesan tak kuasa mengelak dari daya sedot pusaran pilkada DKI Jakarta yang sudah ”murtad” dari istilah pesta demokrasi. Kalau Bawaslu dan polisi bertindak semajasnya, saya yakin eskalasi politik di Jakarta tidak akan semendidih saat ini.

*** Suasana yang melingkupi pilgub Jakarta juga memengaruh­i suasana kebangsaan. Harus diakui, kini rakyat Indonesia jadi terkotakko­tak. Maka, muncul pertanyaan besar: masih laikkah pilgub Jakarta dengan prosesnya yang begitu menegangka­n disebut sebagai sebuah pesta demokrasi? Rasa-rasanya, pembaca kompak dengan saya untuk menjawab: ”tidak!”. Seperti cuitan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) 2008–2013 Mahfud MD: Pilgub adalah pesta demokrasi, harusnya berjalan menyenangk­an. Pilgub sekarang kok menegangka­n ya? Tak ada pesta mencekam kecuali pesta jailangkun­g.

Saya sepakat dengan Prof Mahfud. Situasi dan kondisi terkini pilgub Jakarta memang mencekam. Hanya, saya tidak melihat adanya pesta jelangkung di sana. Yang tampak di depan mata saya malah pesta Halloween. Perayaan Halloween Day diperingat­i setiap malam tanggal 31 Oktober. Di era kekinian, Halloween dimaknai sebagai pesta yang ditandai dengan kostum hantu. Semua undangan yang hadir dalam pesta Halloween mengenakan pakaian hantu.

Tentu saja setiap undangan menjadi ”hantu” sesuai seleranya. Kostumnya bisa sama atau beda dengan ”hantu” yang lain. Yang pasti tidak ada undangan yang lari terbirit-birit karena melihat undangan yang lain. Masak hantu takut sama hantu? Yang takut justru orang yang tidak ikut pesta. Mereka yang berada di luar arena pesta.

Sama halnya dengan pilgub Jakarta. Ketika kubu kedua paslon saling melancarka­n teror dan intimidasi, pasti di antara mereka tidak ada yang ketakutan. Bahkan sampai ciut nyali. Sebaliknya, mungkin, mereka sangat menikmati. Adrenalin mereka makin bergelora untuk saling membalas teror lawannya. Justru yang mengalami ketakutan hebat adalah rakyat di luar Ibu Kota Jakarta. Mereka dibuat adem panas mengikuti ketegangan yang terjadi di ibu kota negara. Terutama ketika para kubu yang sedang bertarung kompak mengenakan topeng SARA dalam pesta Halloween pilgub Jakarta. (*)

*) Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi

 ?? SAMSUDIN ADLAWI* ??
SAMSUDIN ADLAWI*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia