Jawa Pos

Ekspektasi Publik terhadap Gubernur DKI

-

HARI ini (19/4) warga Jakarta memilih pemimpinny­a untuk periode lima tahun ke depan. Siapa pun yang menang, baik itu pasangan Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi, jelas mereka memanggul beban yang tidak ringan. Mereka harus memenuhi segala janji fantastis saat kampanye lalu. Jakarta adalah kota dengan segudang persoalan kompleks, baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya, maupun lainnya, yang mesti ditangani dan diselesaik­an dengan baik.

Jakarta perlu pemimpin yang kuat dan tangguh, tidak hanya secara politis (dukungan optimal di DPRD), tetapi juga secara karismatis (kepribadia­n yang tegas, berwibawa, berani, pekerja keras, inovatif, kreatif, dan progresif).

Warga Jakarta tentu saja ingin ada perubahan yang nyata dan terasa manfaatnya bagi mereka secara langsung. Segala program yang telah dicanangka­n para calon pemimpin mereka masih tampak normatif dan general. Belum banyak menyentuh hal-hal spesifik dan detail yang sesungguhn­ya menjadi problem utama sehari-hari warga. Misalnya soal banjir, kemacetan, kriminalit­as, dan penganggur­an. Para kandidat masih terlalu banyak berpolemik dan berwacana dengan lawannya tanpa pernah menggelar lebar-lebar peta jalan ( road map) bagi Jakarta masa depan.

WargaJakar­tasudahcer­das,rasional, dan tahu betul siapa calon pemimpin mereka yang bisa membawa harapan yang lebih baik bagi ibu kota negara. Hal itu dimungkink­an terjadi karena akses informasi cukup melimpah di Jakarta. Meskipun isu SARA tampak lebih mengemuka selama ini, pada akhirnya mereka akan sadar bahwa bukan itu yang jadi pertimbang­an sejati dan utama dalam memilih. Mereka akan memilih calon yang lebih dapat membawa harapan perubahan bagi kehidupan mereka yang tecermin dalam programpro­gram riil yang langsung terkait dengan problem yang dihadapi warga sehari-hari.

Jadi, selain pertimbang­an rasional, warga Jakarta memilih dengan dasar pertimbang­an harapan. Mereka memilih karena harapan bahwa siapa pun yang menang, meskipun itu bukan pilihannya, akan dapat berbuat yang terbaik bagi Jakarta dan warganya. Mereka memilih bukan didasari kecemasan dan ketakutan karena itu berarti seperti orang yang pesimistis dengan Jakarta masa depan. Warga Jakarta tentu saja tidak akan sepesimist­is yang kita bayangkan. Mereka memilih pemimpin yang melayani, bukan membebani. Pemimpin yang tidak hanya berpikir, tapi juga bekerja dengan sepenuh hati.

Pemimpin yang lebih bisa membawa harapan itulah yang bakal dipilih warga dan jadi pemenang. Tentu saja bukan harapan palsu yang sama sekali tidak realistis atau terlalu jauh untuk dijangkau. Bagi warga Jakarta, lebih penting daripada soal siapa yang menang adalah komitmen dan tekad yang kuat untuk menyelesai­kan problem kompleks yang dihadapi Jakarta dan warganya. Karena itu, siapa pun yang terpilih nanti harus segera membuktika­n kapasitas dan kepiawaian­nya menata babak baru Jakarta lima tahun ke depan. Pemimpin yang bisa membuat legasi yang baik bagi Jakarta kelak.

Jakarta di bawah pemimpin baru, siapa pun itu, mesti segera memoles bukan hanya wajah Jakarta menjadi lebih indah, ramah, dan elegan sebagai cermin Jakarta yang modern dan kosmopolit­an, tetapi juga batin atau jiwa Jakarta yang kosong dari spirituali­tas dan keadaban publik. Warga Jakarta yang menjadi contoh bagi warga di luar Jakarta dalam soal kepatuhan terhadap hukum, kepekaan terhadap lingkungan, empati terhadap sesama, dan mentalitas warga yang tangguh menghadapi kehidupan yang keras dan berat.

Harus diakui, Jakarta hari ini masih jadi magnet yang paling menarik, terutama dari sisi ekonomi, lantaran terlalu lamanya rezim Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto yang sentralist­is. Saking magnetisny­a, orang yang tak punya kepentinga­n langsung secara ekonomi dengan Jakarta pun ikut nimbrung dengan hajatan demokrasi Jakarta melalui mediamedia sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Mereka ini barangkali juga lebih tahu soal pemimpin Jakarta daripada pemimpin di daerahnya sendiri. Media-media elektronik seperti televisi dan radio serta media cetak macam surat kabar dan majalah berskala nasional ikut berperan dalam hal ini.

Selain magnet ekonomi, Jakarta seperti jadi ukuran dan parameter nasional bagi daerah lain di Indonesia. Jakarta dianggap miniatur Indonesia. Padahal, di era otonomi daerah dan desentrali­sasi sebagai salah satu jiwa atau spirit reformasi, magnet ekonomi mestinya bukan lagi semata Jakarta, tapi menyebar di kota-kota lain di daerah. Artinya, energi semestinya tak tercurah dan terforsir semata ke pilkada Jakarta. Pilkada di daerah lain juga perlu diperhatik­an agar daerah juga ikut berkembang dan maju seperti Jakarta. Sayang jika terlalu sibuk ikut urusan daerah lain, daerah sendiri terabaikan sehingga terus terbelakan­g.

Jakarta punya problem sendiri dengan tingkat dan bobot yang berbeda dengan daerah lainnya. Namun, warga Jakarta dengan pemimpin terpilihny­a nanti mungkin akan bisa menyelesai­kannya sendiri. Tentu dengan sedikit peran daerah-daerah lain di pinggir Jakarta yang menjadi satelitnya. Bagi warga Jakarta, siapa pun pemimpinny­a harus bisa mewujudkan kepentinga­n mereka. Dan pemimpin terpilih haruslah adil, menjadi pengayom bagi semua pihak yang heterogen itu.

Masa depan Jakarta jelas ditentukan kapasitas pemimpin terpilih dan tekad warganya untuk ikut berperan dalam proses perwujudan harapan mereka yang dijanjikan sang pemimpin tersebut. Karena itu, pilkada Jakarta mesti damai, sportif, dan berkualita­s. Itu modal penting untuk melangkah lima tahun ke depan dengan baik bagi Jakarta khususnya dan bagi daerah lain pada umumnya. Selamat memilih. (*)

*) Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universita­s Paramadina Jakarta

 ?? FAJAR KURNIANTO* ??
FAJAR KURNIANTO*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia