Saatnya Bekerja untuk Jakarta
PILKADA DKI Jakarta putaran kedua sudah usai. Warga ibu kota telah menunaikan hak konstitusionalnya, menentukan pilihan atas dasar keyakinan dan nalar sehat bahwa yang dipilihnya memihak kepada kesejahteraan rakyat. Hasil hitung cepat ( quick count) dari sejumlah lembaga survei dengan terang merujuk pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (AniesSandi) sebagai pemenang. Itulah pilihan mayoritas warga Jakarta. Tidak mengakui kemenangan sama dengan menuduh sebagian besar warga Jakarta telah salah memilih pemimpin.
Politik merupakan siasat mengelola kemungkinan untuk kebaikan bersama. Dalam kontestasi pilkada, kemungkinan itu mewujud dalam bentuk terpilih atau tidak terpilih, menang atau kalah. Maka, dibutuhkan keluwesan, kearifan, dan kelapangan memaknai ”kemungkinan” agar yang menang tidak merendahkan, yang kalah tidak menyulut dendam. Pertarungan politik sejatinya bukan untuk saling menegasikan lewat permainan zero sum game, tetapi untuk mencari win-win solution agar menguntungkan semuanya.
Karena itu, kita berharap segera tercipta konsensus-konsensus baru yang lebih maju, menanggalkan politik buruk rupa yang memanggungkan konflik, sengketa, fitnah, propaganda, dan sentimen-sentimen SARA, muasal runtuhnya bangunan soliditas kewargaan kita. Pascapilkada, keterbelahan preferensi, afiliasi, ketajaman friksi, dan fragmentasi sosial-politik harus ditutup dengan rekonsiliasi bersama agar kehidupan kembali berjalan normal, agar pilkada memberikan keuntungan bagi seluruh warga Jakarta.
Tersisanya dua paslon (Ahok-Djarot dan Anies-Sandi) di putaran kedua memang mempertajam rivalitas dan eskalasi konflik politik, baik di level elite maupun grassroots. Ketidakdewasaan berkompetisi menjebak ke dalam penghalalan segala cara; black campaign, fitnah, politik uang, dan cara-cara kotor lainnya untuk saling menjatuhkan. Padahal, cara-cara seperti itu merendahkan derajat politik ke level paling destruktif, memasung demokrasi ke dalam kepengecutan, yang tidak memberikan manfaat apa-apa, kecuali kerugian demi kerugian.
John C. Maxwell (2008) menggambarkan, kualitas pemimpin bisa dilihat dari kekuatan karakter, komitmen, dan komunikasi. Kekuatan karakter dan komitmen ditandai dengan menyatunya perkataan dan tindakan. Komunikasi dapat dilihat dari personal branding komunikasi yang apa adanya, otentik, tidak dibuat-buat, dan tidak menipu publik. Kepemimpinan DKI Jakarta bukan terletak pada kecakapan memobilisasi massa, pandai memoles citra, atau sekadar piawai berkata-kata retorik yang tidak kongruen dengan tindakan nyata.
Jakarta membutuhkan pemimpin yang punya kemampuan meng- identifikasi masalah-masalah faktual. Ia benar-benar memahami detail persoalan riil untuk dibahas, diurai, dianalisis, dan dipecahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bentangan problem empiris di Jakarta memerlukan deklarasi komitmen seorang pemimpin untuk melakukan hal-hal terbaik berbasis pemecahan masalah ( problem solving) secara konkret dan terukur. Otto von Bismarck (1815–1898) pernah menga- takan bahwa politik adalah seni memilih agar apa (dan siapa) yang dipilih itu bisa mengolah/mengelola sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kepemimpinan menggambarkan kemampuan dalam mengkonstruksi gagasan dan imajinasi yang kuat untuk mentransformasikan harapan masyarakat menjadi kenyataan, me wujudkan daerah tempat tinggal mereka menjadi situs pengharapan, semaian kemakmuran dan kesejah teraan. Meski sulit diwujudkan, idealisasi kesejahteraan wajib diupayakan.
Keterpilihan Anies-Sandi adalah mandat puncak yang harus diturunkan dalam kerja ( labor), karya ( work), tindakan ( action) di lapangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Vita activa dari Hannah Arendt itu menyiratkan pesan bahwa segala aktivitas pemimpin tidak boleh diorientasikan untuk kepentingan pribadi (juga kelompoknya), tetapi kepentingan bersama dalam kehidupan yang plural. Memimpin ibu kota dengan silang sengkarutnya persoalan, kapasitas baik saja tidak cukup. Perlu keberanian untuk turun ke bawah, berkorban, cepat, dan tegas mengambil keputusan, bukan lambat dan peragu.
Seluruh visi, misi, dan program yang pernah dijanjikan saat kampanye harus dapat dijabarkan secara tuntas di hadapan warga. Terpilihnya gubernur DKI dengan ketinggian akal budi harus mampu menginjeksikan harapan, menegakkan mandat, tanggung jawab, dan keterwakilan politik rakyat. Jika platform ideologi sulit dijadikan pijakan, paling tidak ada nilai-nilai dasar ( core value) yang akan diperjuangkan untuk mengubah wajah ibu kota yang, meminjam istilah Yudi Latif (1994), heterogenetik (penuh ambiguitas, anarki, tragedi, dilematis, disorientasi) menjadi kota ortogenetik (mengekspresikan tatanan keindahan, kemajuan, keadilan, dan keadaban).
Keterpilihannya harus memberikan ekspektasi positif bagi DKI Jakarta masa depan yang lebih gemilang. Semuanya itu akan tercapai manakala kehadiran seorang pemimpin diejawantahkan dengan bekerja sebagai wujud eksistensialnya. Bukan sekadar kaya retorika tetapi miskin tindakan, visioner tapi lemah dalam eksekusi. Namun, pemimpin yang intim bekerja dengan sepenuh jiwa bersandarkan pada kejujuran, ketulusan, kebenaran, dan antikorupsi sebagai nilai-nilai keteladanan yang paling fundamental.
Bekarja adalah memastikan bahwa program-program yang telah dijanjikan terejawantahkan, visi dan misi yang dicanangkan benar-benar terbukti mengemansipasi tatanan sosial-politik dari riwayat kesengsaraan dan pesimisme yang berkepanjangan. (*) *Analis politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram Jogjakarta
Kepemimpinan DKI Jakarta bukan terletak pada kecakapan memobilisasi massa, pandai memoles citra, atau sekadar piawai berkata-kata retorik.”