Saat Jadi Kapolsek, Korbankan Waktu Keluarga
Emansipasi wanita yang digelorakan RA Kartini telah menginspirasi banyak orang. Jejak perjuangannya begitu dikagumi kaum hawa. Kompol Darti Setiyowati menjadi salah satunya.
SEJUMLAH berkas di map berwarna-warni tertumpuk di atas meja. Dengan telaten, perempuan yang berada di depan map itu memeriksa satu per satu. Sesekali, dia membubuhkan tulisan di berkas yang baru saja dibaca. ”Banyak kegiatan akhir-akhir ini,” ujar Kompol Darti Setiyowati kepada Jawa Pos di ruang kerjanya kemarin.
Dia menyatakan, berkas-berkas tersebut adalah laporan penggunaan anggaran dalam kegiatan-kegiatan anggota Polresta Sidoarjo. Sebagai kepala bagian perencanaan (Kabagren), dia bertanggung jawab atas pengeluaran yang digunakan. ”Jadi, anggaran yang ada harus benar-benar dioptimalkan,” lanjutnya.
Darti sangat familier di lingkungan Mapolresta Sidoarjo. Hampir semua personel mengenalnya. Bukan hanya karena jabatan strategis yang diemban. Namun, dia juga merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi Kabag. Jabatan dua Kabag lainnya saat ini diduduki pria. Yakni, Kabagops Kompol Edi Santoso dan Kabagsumda Kompol Hanis Subiyono.
Meskipun memiliki karir yang cukup cemerlang, ibu dua anak tersebut mengaku tidak memiliki cita-cita menjadi anggota polisi saat kecil. Dulu dia justru berkeinginan menjadi pekerja kantoran. ”Setelah lulus sekolah pada 1988, saya sempat ikut les komputer,” kata alumnus SMA PGRI 18 Surabaya itu.
Darti menekuni les tersebut. Dia ingin keahlian mengoperasikan komputer menjadi salah satu bekal untuk mencari pekerjaan. Dia ingin segera memperoleh pekerjaan untuk meringankan beban ekonomi orang tua. Kala dia mencari pekerjaan, salah seorang tetangga yang menjadi anggota polisi memberikan kabar tentang pendaftaran polisi di Mapolda Jatim
’’Seharusnya angka anak tidak bersekolah kecil. Ini kok besar?’’ ujarnya sambil menunjukkan data APM tersebut.
Ketua Fraksi PAN itu menyatakan, data yang diberikan pemkab juga tidak jelas. Misalnya, jumlah siswa SMA yang bersekolah 56 persen. Nah, yang tidak sekolah atau yang 44 persen semestinya juga dijelaskan. ’’Apa pindah ke kota lain atau masuk ke pondok pesantren. Di dalam LKPj ini tidak ada penjelasan terperinci,’’ katanya.
Di bidang kesehatan, lanjut Bangun, juga harus ada pembenahan. Ternyata, penyerapan biaya langsung pada tahun anggaran 2016 hanya sekitar 78,38 persen. Artinya, yang tidak terserap 21,62 persen. Jumlah serapan dari OPD dinas kesehatan (dinkes) itu pun terkecil dibandingkan dengan OPD lain yang menjadi mitra komisinya. ’’Dinkes tidak menjelaskan mengapa anggaran tidak terserap semua atau 100 persen,’’ jelasnya.
Selain dinas pendidikan dan dinas pendidikan, bidang infra- struktur ikut menjadi sorotan. Anggota Komisi C DPRD Sidoarjo Aditya Nindyatman mengatakan, ada tiga poin yang belum bisa dipenuhi pemkab. Pertama, masalah persampahan. Pemkab belum bisa menangani sampah dengan optimal. Kedua, layanan air bersih. Sejauh ini cakupan layanan air bersih masih pada angka 36 persen. Begitu juga program Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (Hippam) yang baru berjalan sekitar 0,54 persen dari target 10 persen.
Ketiga, lanjut Aditya, masalah sanitasi yang sehat untuk warga Sidoarjo. Dia menyebutkan, saat ini masih banyak dijumpai perkampungan yang kumuh. ’’ Target yang sudah ditetapkan setahun lalu belum bisa diwujudkan,’’ jelasnya.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Tirto Adi menuturkan, pihaknya belum mengetahui LKPj tersebut. Dia juga mengatakan tidak hafal data-data yang disampaikan dalam laporan. ’’Saya cek data dulu ya,’’ ucapnya.
Wabup Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin menjelaskan, pemkab menghormati masukan dan kritik dari dewan. Apa yang disampaikan DPRD tentu sudah dari telaah LKPj. Namun, pembahasan LKPj saat ini belum berlangsung. Pada saat pembahasan, Dia berjanji eksekutif menjelaskan dengan detail apa yang sudah tertulis dalam LKPj. ’’Kami sampaikan pada saat rapat antara dewan dan pemkab,’’ paparnya.
Nur menerangkan, jika masukan itu memang sesuai dengan kodisi riil, pemkab akan menerimanya sebagai masukan. Yang jelas, masukan dewan akan dijadikan perbaikan kinerja pemkab ke depan.
Sementara itu, serapan anggaran di beberapa instansi lingkungan Pemkab Sidoarjo pada triwulan pertama ( Januari–Maret) tahun ini juga rata-rata terungkap masih rendah. Namun, Sekda Sidoarjo Djoko Sartono sudah memanggil para pimpinan OPD bersangkutan pada Senin (17/4).
Idealnya, pada triwulan pertama serapan anggaran paling tidak 25 persen. Namun, banyak OPD yang serapan anggarannya di bawah 10 persen. Anggaran yang terserap rata-rata untuk gaji dan operasional. Program kemasyarakatan atau proyek-proyek fisik rata-rata belum jalan alias mandek.
Ada sejumlah penyebab mengapa serapan anggaran tersebut rendah. Berdasar informasi yang dihimpun Jawa Pos, salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran tersangkut masalah hukum. Sebab, kini banyak pejabat di daerahdaerah yang berurusan dengan aparat hukum karena sangkaan korupsi dalam proses lelang, pelaksanaan proyek fisik, maupun pungutan liar (pungli).
Menurut Djoko, ada beberapa penyebab serapan anggaran pada triwulan pertama lalu masih rendah. Salah satunya, sejumlah program kerja OPD masih dalam tahap lelang. Banyak program fisik yang nilai anggarannya di atas Rp 200 juta. ’’Sehingga harus dilelang terlebih dulu,’’ paparnya saat ditemui setelah rapat kala itu.
Pejabat alumnus Unair tersebut mengatakan, proses lelang membutuhkan waktu yang cukup lama. Mulai melakukan penawaran hingga menetapkan pemenang lelang. Dampaknya, anggaran di setiap OPD hingga kini belum terserap. ’’Itu yang membuat sera- pan anggaran minim,’’ tuturnya.
Ke depan, menurut Djoko, pihaknya meminta OPD untuk bekerja lebih maksimal. Serapan anggaran harus dinaikkan secepatnya. ’’Saya minta penyerapan anggaran dimaksimalkan. Lebih cepat lebih baik,’’ tegasnya.
Sebagaimana diberitakan, masih rendahnya serapan anggaran tersebut diketahui saat Komisi D DPRD Sidoarjo mengadakan rapat evaluasi kinerja OPD. Dinkes, misalnya. Di APBD 2017, total alokasi anggaran di dinkes mencapai Rp 192,72 miliar. Namun, hingga kini realisasinya hanya Rp 3,34 miliar atau 3 persen. Begitu pula dinas pendidikan dan kebudayaan (dikbud). Dari alokasi dana yang mencapai Rp 1,3 triliun, yang terserap baru sekitar Rp 2 miliar atau kurang dari 5 persen.
Tidak jauh beda dengan dinas pemberdayaan masyarakat desa, pemberdayaan perempuan dan anak, keluarga berencana (DPMDPPA-KB). Dari jumlah pagu anggaran Rp 10,2 miliar, yang terserap baru Rp 765,6 juta atau 7,5 persen. (aph/c15/hud)