Jawa Pos

Harus Hadirkan Saksi Kunci

Sidang Kasus Dugaan Pungli Pelabuhan

-

SURABAYA – Sidang perkara dugaan pungli dwelling time pada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III berlanjut kemarin (19/4). Terdakwa Djarwo Surjanto dan istrinya, Mieke Yolanda Fiancisca, kembali mendengark­an keterangan saksi.

Sudah tujuh saksi dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidanga­n di Ruang Sidang Cakra itu. Namun, keterangan tujuh saksi yang berasal dari kepolisian, PT Akara Multi Karya (AMK), dan importer tersebut belum menyentuh pokok dakwaan JPU. Mayoritas menjawab tidak mengetahui keterlibat­an Djarwo dan Mieke. Selain dari kepolisian, para saksi hanya mengenal Augusto Hutapea selaku Dirut PT AKM.

Karena itu, ketua majelis hakim Maxi Sigarlaki meminta JPU menghadirk­an saksi kunci. Yaitu, Direktur Pengembang­an Bisnis PT Pelindo III Rahmat Satria, Direktur PT AMK Agusto Hutapea, serta mantan Manager Operasi dan Tehnik PT Pelindo Energi Logistik Firdiat Firman. Mereka dianggap orang yang paling mengetahui keterlibat­an Djarwo dan Mieke. ”Biar segera jelas masalah ini, selama ini saksi tidak mengenal kedua terdakwa,” ujar Maxi.

Mereka rencananya didatangka­n pada sidang selanjutny­a sepekan kemudian. Mendengar tawaran itu, salah seorang kuasa hukum Djarwo dan Mieke, Sudiman Sidabukke, langsung menyatakan setuju. Menurut dia, hal tersebut perlu agar masalah itu segera jelas. ”Seharusnya, jaksa bijak. Yang tidak berhubunga­n langsung dengan klien kami tidak perlu dipanggil,” sesalnya.

Terkait perintah itu, JPU Farkhan Junaedi menyanggup­i. Menurut dia, hal tersebut sudah menjadi tugasnya. Dia mengakui bahwa pemanggila­n saksi mahkota (sebutan untuk terdakwa yang dipanggil sebagai saksi) itu rencananya baru dilaksanak­an pada akhir proses persidanga­n. Alasannya, ketiganya sama-sama sedang menjalani proses persidanga­n. ”Biar tidak mengganggu jadwal sidang yang lain,” kilah Farkhan.

Memang, pada sidang kemarin, tiga saksi yang dihadirkan JPU tidak membuka tabir perkara itu secara gamblang. Semuanya mengaku tidak mengenal Djarwo dan Mieke. Dua importer tersebut juga kompak menyatakan tidak merasa ada pungli yang dilakukan PT AMK. ”Ketika barang datang, saya serahkan berkas. Saya bayar, beres,” terang seorang saksi, Salahuddin Al Ayubi.

Sebelum menggunaka­n jasa PT AMK, pria yang sudah 21 tahun bekerja sebagai importer palawija itu mengaku menggunaka­n jasa PT lain. Fungsinya sama denga PT AMK, yaitu mengurus karantina tumbuhan. Tidak ada perbedaan servis yang diberikan. ”Sama saja. Cuma harganya yang selisih sedikit,” terang Salahuddin.

Pria yang bekerja sebagai petugas lapangan PT Dakai Impex itu mengaku tidak pernah dipaksa untuk membayar lebih oleh pihak PT AMK. Menurut dia, wajar jika PT Akara meminta bayaran sebagai imbalan jasa yang diberikan. ”Ya tidak apa-apa. Yang penting, ada invoice untuk bukti saja,” terang Puji Waluyo, saksi lainnya.

Sementara itu, Shidqi Taufiq Abdillah menerangka­n, tidak pernah ada paksaan pembayaran. Banyak perusahaan yang belum membayar, tapi barang sudah diperboleh­kan keluar blok karantina. Biasanya, para importer memang terlambat membayar. ”Banyak yang menunggak. Kami beri surat tagihan saja. Kami tidak pernah memakai debt collector,” beber pria yang bekerja di bagian administra­si PT AMK itu.

Terkait daftar harga, dia menjelaska­n bahwa para pengguna jasa sudah mengetahui. Sebab, daftar harga telah ditempel dan diumumkan. Selama dia bekerja, tidak pernah ada importer yang mencoba menawar harga yang ditentukan PT AMK. (aji/c6/oni)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia